"Seperti yang bapak katakan kemarin, sedikitnya untuk menguji bagaimana kekompakan kalian untuk bisa berdiskusi demi menentukan susunan kelas. Sekarang saya ingin tahu hasilnya."
Pak Anton- wali kelas X Ips 1 mulai menunjukkan kewenangannya, berdiri tegap di depan kelas dengan dagu di angkat tinggi sembari mata berkantung tebalnya yang memicing. Tak ada satu pun yang minat untuk berkkutik, terkecuali Fahmi yang mulai mengenakan kacamata minusnya dan berjalan gagah dengan secarik kertas di tangan.
Pak Anton yang mulai menilai Fahmi yang mulai berjalan mendekatinya pun mulai mengangguk-angguk penuh keyakinan. "Wah, bagus sekali. Terlihat sangat tanggap dan berwibawa," ujarnya sembari menepuk bahu Fahmi setelah keduanya berdiri bersisihan.
"Terimakasih, pak." Yang di balas malu-malu oleh Fahmi. Bibirnya bahkan sampai berkedut, tak sekali pun mempedulikan siswa lain yang sirik menuduhnya cari muka.
Pak Anton mengambil kertas yang diansurkan oleh Fahmi, sejenak berdecak kagum dengan ukiran abjad indah yang di rangkai dengan bagan garis yang rapi, lantas mulai membaca judul "Susunan organisasi kelas" itu.
"Arkana Ardian Putra," sebut Pak Anton di bagian nama teratas dengan gelar ketua kelas.
"Hoam! Ya, hadir!"
Garis senyum di kedua ujung bibir pria paruh baya itu perlahan mulai luntur, meski keriput usia yang tak bisa menipu tentang bagaimana Pak Anton yang saat ini bereaksi. Matanya sedikit membelalak, saat jiwa kesempurnaannya mulai mendeteksi sosok yang menyahuti.
Sosok siswa yang duduk meringkuk di ujung belakang kelas. Dengan wajah lesu dan mati-matian menegakkan punggungnya yang melengkung layu.
Arka di sana, yang masih setengah sadar dengan mulut menguap lebar dan punggung tangan mengucek mata memerahnya.
Hari masih terlalu dini untuk melanjutkan kisah seharian nanti. Arka yang memanfaatkan sebaik mungkin jeda waktu senggang yang ada untuk mengistirahatkan tubuh, namun tak menjadi harapannya untuk menjadi objek yang menyita perhatian dan sasaran pergunjingan.
"Yakin, sosok berandal malas seperti itu bisa mengatur kelas?"
Jangan tanyakan mental Arka setelahnya, lebih dari pada tak suka menerima kritikan, ia lebih suka membalikkan keadaan menjadi posisi kemenangannya, bertarung bacot karena jelas tak memungkinkan untuknya menunjukkan otot pada pria paruh baya.
"Wah, rupanya bapak adalah tipikal orang yang suka menilai dari awal pandangan pertama. Sabar dulu, pak... Anda masih belum mengenal saya. Meski tampilan tak meyakinkan seperti ini, poin utamanya adalah disegani hingga bisa membuat kelas menjadi lebih tertib, kan?"
"Juga menciptakan citra disiplin dan tampilan rapi, bukannya macam preman seperti kamu. Apa pula dasi di lilit ke kepala, lagi puyeng karena nggak dapet palakan, ya?"
"Woy ilah, Bri! Dua kali gue di kira cowok kere, mang keliatan melas banget muka gue?"
"Bwuaahhaa..." Dan seperti biasanya, Brian menjadi yang paling keras menyemburkan tawa. Sialnya suara memelas Arka terlalu kencang untuk bisa menjadi bahan ledekan siswa lain.
.
.
.
Maju terus pantang mundur, meski wali kelas bersikeras untuk menyuruhnya hengkang dari posisi ketua kelas, Arka masih tetap ngeyel mempertahankan diri.
Lagi pula harapan sosok seperti apa yang di inginkan Pak Anton untuk menjadi ketua di kelasnya? Berwibawa, rapi, pintar, penurut, dan rentetan sifat baik lainnya?
Oh ayolah... Lagipula sebagai seorang yang lebih dewasa dan berperanan amat penting dalam mendidik moral, beliau juga tak seharusnya mengharapkan yang terlalu istimewa jika dirinya sendiri seringkali membelot dari peraturan, kan?
Lihat saja setelah pagi penuh protesnya hari itu, Pak Anton menjadi semakin jarang lagi terlihat di ruang guru. Kelas yang di bimbing olehnya tak lebih dari lima belas menit di masuki, selebihnya menghilang.
Entahlah, Arka juga tak mau ambil pusing tentang masalah itu, justru akan lebih bagus jika setidaknya satu jam mata pelajaran kosong, jam istirahatnya bisa di pastikan aman.
Kuasa sudah di dapat, jelas bukan atas hak pemilih yang di gunakan dengan semestinya. Bukan pula atas jalur paksaan yang memenangkannya, malah tanpa usaha sedikit pun untuk membujuk siswa lain, Arka maju sebagai ketua kelas dengan pintu yang terbuka lebar, sambutan mempersilahkan. Bahkan jika butuh, sepertinya mereka yang ingin menikmati masa sma dengan pemikiran lenggang tanpa beban mengatur orang lain.
Tak ada sedikit pun perubahan yang berarti. Jabatan tinggi sebagai ketua kelas nyatanya sama saja dengan perlakuan gelar utamanya sebagai ketua geng onani meper. Tak ada sebungkus roti atau pun sebotol minuman berperisa buah yang di harapkan dapat menyambutnya di pagi hari. Salah satu dari mereka harus di mintai tolong dengan wajah datar dan sedikit delikan tajam supaya dapat bergerak memenuhi keinginannya.
Lagi pula Arka juga belum merasakan keuntungan lainnya, rapat antar ketua kelas yang di harapkannya dapat menjadi alasan pertemuannya dengan Nino- sang pujaan hati masih belum terlihat hilalnya. Arka jadi sedikit dongkol.
Bukan sepenuhnya karena ketidaksabaran menikmati jabatan, melainkan sosok belagak sempurna lain yang sering kali mendatangi bangkunya dan mengusik ketenangan dengan berbagai aduan.
"Ar, Sari sama Mita ghibah terus, tuh. Brisik, suruh diem, gih!"
"Ar, Aldi buang sampah sembarangan, tegur gih!"
"Ar, papan tulis gebol karena di tendang Brian."
"Ar, ada kucing liar yang tau-tau berak persis di depan kelas kita, tuh!"
Brak
Arka yang jengah pun menggebrak meja, menyentak siswa lain yang membuat kegaduhan sampai sedetik lalu. Yang begitu senyap setelahnya, Arka yang di paksa bangun dari tidur meringkuknya begitu terlihat bengis, Fahmi saja sampai gemetaran di posisi berdirinya.
"Bangkek! Lo punya mulut kan, peringatin mereka sendiri, handel semua masalah sesuai ama yang lo pikir bener. Lagi pula lo sebagai wakil gue, seenggaknya tanggep dikit jadi orang, kek!"
Fahmi mengangguk kaku, yang setelahnya putar badan dengan langkah terseok kembali ke bangkunya.
Sejujurnya bukan gaya Arka meluapkan emosi yang keterlaluan hanya karena pikirannya yang tengah kalut. Fahmi hanya mengganggu bukan bermasalah dengannya.
Tapi Arka juga bukan orang yang bisa dengan terang-terangan meminta maaf, yang di lakukan hanya mengubah suasana canggung Fahmi terhadapnya, seperti saat telapak tangannya yang menepuk pelan teman sekelasnya itu sembari menarik satu sudut bibirnya seinch. Terlalu tak ingin ambil pusing masalah anggapan orang lain terhadapnya, karena yang ada di benaknya saat ini hanya Nino. Pria yang semakin menggetarkan sekujurnya dengan tampilan gagah saat berkeringat merebut bola di lapangan basket.
Kapan Arka bisa membelah lautan wanita yang berebut menyeka keringat Nino? Bersikap posesif dan memaksa pria itu untuk mengenakan dalaman kaos untuk menutup bulu ketek hitam rimbun yang begitu menggetarkan iman? Kapan Arka bisa mengklaim pria itu menjadi miliknya seorang? Karena Arka begitu yakin hari itu akan tiba.