Chereads / Shirea / Chapter 1 - Part 1

Shirea

🇮🇩Irie77
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Part 1

"Sudah kubilang berapa kali, kau harus belajar merangkai bunga. Ingat! Kau ini perempuan. Cobalah untuk bersikap manis."

Aku hanya garuk-garuk kepala ketika bibi Alya kembali mengoceh untuk kesekian kalinya. Aku menarik napas panjang sambil menatap sekeranjang bunga berwarna-warni yang tampak segar baru dipetik.

"Tanganku sudah terbiasa memegang pedang. Aku tidak tahu cara merangkai bunga dengan bagus bibi. Aku bahkan tidak tahu bunga apa saja yang ada di depanku kecuali—" Aku meraih setangkai bunga merah merekah sempurna. "Mawar."

"Kalau kau terus seperti itu, mana ada pria yang tertarik padamu." Bibi Alya meraih seikat bunga berwarna ungu. "Selain itu, kau jangan terlalu dekat dengan kudamu. Tubuh yang wangi adalah aset berharga untuk perempuan. Pria mana yang mau dengan gadis bau kuda."

Aku langsung mengendus aroma tubuhku yang tak terasa bau apapun. "Mana ada seperti itu. Lagi pula bau badanku baik-baik saja."

"Tetap saja, kau itu terlalu sembarangan. Kau harus rajin-rajin menata rambutmu, pakailah korset agar tubuhmu terlihat lebih menarik, kau juga perlu pita di bajumu dan—"

"Aku sudah tidak tertarik," sahutku meraih Apel di piring kemudian mengigitnya. "Lagi pula jika aku berdandan, ayah pasti akan menghukumku."

"Ah, ayahmu itu sudah tidak waras." Bibi Alya melepas ikatan bunga berikutnya dengan sedikit kasar. "Meskipun ia ingin memiliki anak laki-laki tapi setidaknya jangan perlakukan anak perempuan seperti anak laki-laki."

Aku hanya mengendikan bahu mendengar gerutunya. Tidak ada yang bisa menentang keinginan ayah jika sudah berkehendak. Jujur, aku sendiripun tak jarang dihukum jika sesekali aku menyentuh sesuatu yang berbau feminim seperti memetik bunga, memasak dan sebagainya.

Ya, itu juga yang membuat ayah bersikap acuh tak acuh padaku. Sejak kecil aku sudah diminta untuk latihan bermain pedang, memanjat pohon, melompati pagar, berkuda dengan kecepatan tinggi atau—yang lebih parahnya, aku pernah di suruh untuk melompati sungai deras selebar lima meter dan aku hampir mati karena tenggalam dan terseret arus. Semua kulakukan demi agar ayah tidak membenciku hanya karena aku terlahir sebagai perempuan.

Tapi sikap ayah padaku mulai menuai banyak keributan, tak jarang aku melihat ayah dan ibu berdebat hanya karena aku di didik layaknya anak laki-laki. Selain itu, penduduk sekitar juga menganggapku gadis aneh pasalnya, wanita dan anak gadis di distrik tempatku tinggal adalah wanita tulen yang anggun dan sangat memperhatikan penampilan terutama gaya rambut dan pita-pita mereka.

Ketika aku kecil, aku pernah menginginkan gaun atau dress dan ibu membelikannya dan dia bilang—aku cantik. Namun ayah menjadi dingin setelah melihatku dan seketika itu, ayah memintaku untuk bermain pedang melawannya dengan dress yang ku kenakan. Akupun sadar bahwa bertarung menggunakan dress sangatlah sulit karena tubuhku tidak bisa bergerak bebas.

Semakin lama, aku mulai tidak perduli dengan semua itu. Aku hanya menyimpan dress ku di lemari tanpa pernah kusentuh lagi. Hingga saat ini, aku lebih nyaman dengan setelan celana casual dan kaos ataupun rompi pria yang berlengan pendek dan tentunya—menyesuaikan tubuhku .

Tak ada hari tanpa pedang dalam hidupku, latihan demi latihan kujalani setiap hari dibawah pengawasan ayah dan aku mulai akrab dengan pedangku. Aku sudah menganggapnya sebagai teman yang tangguh dan aku menyayanginya. Sejak saat itu pula, aku mulai merangkai sebuah mimpi. Melindungi orang-orang yang lemah dengan pedangku. Menjadi Ksatria adalah impian terbesarku.

Tubuhku langsung menegang ketika mendengar suara dari ruang utama, suara derap kaki disusul dengan jeritan ibu. Aku langsung melompat meraih pedangku sebelum kearah pintu. Bibi mengikutiku dari belakang.

Ruangan utama begitu gelap, aku segera menyalakan lentera besar dan kulihat lantai sudah banjir darah. Aku menatap sekeliling dengan nanar dan aku melihat dua tubuh sudah tergeletak.

"Ibu!"

Aku segera berlari menghampiri tubuhnya yang sudah tergeletak di sudut ruangan. Aku menatap tanganku yang sudah berlumuran darah dan kulihat bekas tusukan dan sayatan di lehernya. Mataku berkaca-kaca dan tanganku mengepal agar tidak menetes.

"Ayah!"

Aku menghampiri tubuh ayah yang juga tergeletak di dekat kursi. Tubuh ayah sudah berlumuran darah dengan belati menancap di jantungnya. Tubuhnya sudah tak bernyawa.

"Agghhh!!!"

Aku segera melesat ketika mendengar suara bibi Alya mengerang, namun terlambat, ia sudah tersungkur di lantai dengan kepala berlumuran darah bersama bunga-bunga di keranjang yang berserakan di lantai.

"Valen, pergilah!" ujarnya ketika aku menghampirinya. "Cepat lari!"

Aku meraih pedangku ketika aku mendengar pergerakan di belakangku. Dan benar saja, dua orang sudah bersiap menyerangku. Aku segera menangkis serangan mereka dan bergerak memutar untuk menghidari serangan berikutnya.

"Siapa yang memberimu perintah untuk membunuh keluargaku?"

Pria bertudung itu hanya terdiam namun aku bisa melihat matanya dan ia sedang menyeringai meskipun mulutnya tertutup cadar. Mereka melompat dan menyerangku lagi. Aku menggenggam pedangku semakin erat dan kembali menangkis serangan mereka. Suara dentingan pedang kami cukup membuat telingaku berdengung.

"Katakan padaku siapa kalian!"

"Kau tidak perlu tahu soal kami, yang penting adalah kau dan seluruh keluargamu harus mati malam ini."

Pria itu kembali menyerangku dan aku melompat mundur hingga akhirnya punggungku membentur dinding. Aku menahan dua pedang sekaligus dengan pedangku, dan disaat itu satu orang lagi menyerangku dari sisi lain dengan panah.

Aku mengerang ketika panahnya berhasil menghujam pinggangku. Aku menendang mereka berdua dan aku menebaskan pedangku ke tubuh mereka. Namun seranganku yang buruk hanya melukai mereka tanpa membunuhnya.

"Sial!"

Aku melompat melalui jendela dan segera melepaskan kudaku. Kupacu dengan cepat ketika mereka mengejarku. Guncangan membuat pinggangku semakin nyeri dengan anak panah yang masih menancap.

Rasa sakit yang mendera membuatku semakin lemas. Keseimbanganku mulai berkurang karena pandanganku yang semakin buram. Aku terjatuh dari kudaku dan berguling kedalam jurang. Aku mengerang kesakitan ketika anak panah yang menancap di pinggangku semakin menusukku.

Ternyata mereka tak berhenti sampai disitu. Aku berusaha untuk bangun ketika derap kaki menuruni jurang . Aku menahan sakit luar biasa sambil berlarian menyusuri hutan gelap. Jantungku berdegup kencang dengan kecemasan luar biasa di tambah, napasku sudah tak beraturan.

Di tengah kepanikanku, seseorang tiba-tiba membekap mulutku dari balik pohon besar dan menarikku untuk bersembunyi. Aku berusaha memberontak sambil melawan bekapannya, namun ia mendesis sambil meletakan telunjuk di bibirnya pertanda aku harus diam.

Aku terdiam dan patuh ketika suara derap kaki mendekat dan melintas di sekitar kami. Aku bisa mencium aroma mint yang maskulin di tubuhnya. Tangan kekarnya sudah mendekapku sambil menatap waspada akan derap langkah kaki yang masih terdengar.

"Sial! Gadis itu lolos!" umpatnya sebelum kembali berlari untuk mencariku.

Aku memberontak dari tangannya setelah keadaan sudah cukup aman. Namun tangannya terlalu kuat dan terasa berat, aku tidak bisa melepaskan diri darinya.

"Lepaskan aku!"

"Kau pikir kau bisa pergi begitu saja setelah aku menolongmu?"

Aku kembali mengerang ketika anak panah yang masih menancap perlahan bergerak. Pemuda itu menyadari lukaku dan kembali membekap mulutku.

"Tahanlah, mungkin ini sedikit sakit." Ia mencabut anak panah di pinggagku perlahan sementara tanganku sudah mencengkeram lengannya karena menahan sakit.

Tubuhku mengerjap ketika panah itu berhasil terlepas. Tak lama aku mulai melemas dan pemuda itu langsung membopongku, kemudian melesat membawaku entah kemana. Kesadaranku semakin menipis karena kehilangan banyak darah dan aku terkulai di bahunya yang nyaman.

* * *

Aku membuka mata perlahan. Aroma batu dan tanah menyelimuti penciumanku dan udara terasa dingin. Aku terduduk dan mendapatiku berada di atas tumpukan jerami dengan kain yang hangat. Kusentuh lukaku yang sudah diobati dan akupun sadar bahwa aku berada di sebuah goa.

Sebuah perapian cukup membuat tempat ini sedikit hangat di tengah hawa yang sedingin es. Aku mendekati perapian dan kulihat ada sepotong daging masih tergeletak di atas batu.

Aku mengedarkan pandangan sebelum akhirnya aku meraih daging itu dan memakannya. Pikiranku berputar seketika dan sejenak, aku teringat pada pemuda yang menolongku. Siapa dia? Apa dia yang membawaku kemari?

Aku kembali menyentuh bekas lukaku yang masih terasa nyeri namun sudah sedikit membaik. Meskipun begitu, aku masih sulit untuk bergerak aktif.

Tak lama, aku mendengar suara derap langkah mendekat, langkah itu terdengar seperti banyak orang. Buluku meremang seketika dan aku segera meraih kayu yang belum terbakar. Aku segera menghabiskan daging di tanganku dan memasang tubuh dengan waspada.

Aku mengangkat kayu itu dengan posisi siap menyerang, namun kembali terdiam ketika tiga sosok pemuda muncul dari balik pintu goa yang tertutup sulur tanaman.

"Oh, kau sudah sadar rupanya?"

Aku kenal suara ini. Kupandangi pria jangkung berambut hitam dengan panjang sebahu, disusul dua pria di belakangnya. Yang satu hampir sumuran dengannya dan yang satunya tampak lebih muda. Mereka mengelilingiku dengan tatapan intens, sama halnya denganku yang menatap mereka tajam.

"Siapa kalian?" tanyaku dingin.

"Hey tenanglah!" sahut pria asing berambut hitam pendek. "Turunkan senjatamu dan mari kita bicara baik-baik."

Aku terdiam sejenak dan menatap pria berambut panjang yang tampak tak acuh itu, kemudian aku kembali menatap pria yang barusan mengajakku bicara. Aku menurunkan tongkat kayuku perlahan dan berdiri menjaga jarak dengan mereka.

"Kau memakan dagingku?"

Kini pria berambut panjang itu kembali bersuara hanya untuk menanyakan daging?

"Ya, aku yang memakannya," jawabku jujur. "Apa itu masalah untukmu?"

"Aku membawamu dan menyelamatkanmu," tuturnya. "Tapi kau malah memakan dagingku."

Keningku berkerut melihat reaksinya. "Maaf, tadi aku lapar sekali. Tapi jika kau mau, aku akan berburu untuk mengganti jatah makan malammu."

Pria itu menyeringai sambil melemparkan sebuah belati berdarah ke batu datar. "Dengan luka seperti itu kau pikir bisa berburu?"

Aku terdiam sejenak. Lukanya memang masih sakit dan sulit di gerakan, mana mungkin aku bisa berburu dengan kondisi tubuh teperti ini.

"Kalau begitu aku akan mencari makanan lain untukmu."

"Kau tidak perlu terburu-buru seperti itu, nona." Si pria lainnya mendekatiku dan merebut tongkat kayu yang kugenggam. Awalnya aku tidak melepaskannya namun ia menariknya paksa hingga tanganku tergores.

"Zealda, bersikaplah sedikit lembut padanya. Kau akan melukainya." Kini pria muda berambut perak yang bersuara.

"Ah Aleea, kau juga jangan terlalu baik padanya. Itu akan membuatmu lemah."

"Tapi aku tidak lemah!"

Pria di hadapanku mengendikan bahu dan tersenyum miring. "Lalu apa sebutannya bagi orang yang tidak berani menghunuskan sejatanya?"

"Aku bukannya tidak berani, sasaranku hanya meleset," sahutnya dingin.

"Bisakah kalian diam?" Pria berambut panjang menatapku tajam setelah melerai kedua temannya.

Aku menatap pemuda yang barusan bersuara. Kini ia menatapku dingin namun sedikit santai. Dua pemuda lainnya saling memunggungi dan duduk dengan jarak yang terpisah. Pria yang tadi menggodaku kini menenggak minuman dari bambu.

Aku kembali meraih kayu lainnya dan langsung mengambil posisi siaga ketika pemuda berambut panjang mendekatiku perlahan. Kakiku berjalan mundur seiring langkahnya yang mendekatiku.

"Kau juga Velian, jangan menatapnya seperti itu. Itu akan membuatnya ketakutan," ujar si rambut perak lagi.

Pria di hadapanku meliriknya tajam kemudian kembali menatapku. "Kau ketakutan hanya karena aku menatapmu?"

"Aku tahu kau telah menyelamatkanku. Terimakasih, berkat dirimu aku berhasil lolos dari mereka. Tapi, meskipun begitu aku tidak mengenalmu dan kau juga terlihat seperti bukan orang baik-baik."

Pria di hadapanku bergerak begitu cepat tanpa memberiku kesempatan untuk menyadarinya. Ia sudah memelintir tanganku ke belakang dan mengunci pergerakanku. Napasku tercekat ketika sebuah belati tajam sudah siap menghujam leherku.

"Katakan padaku, kenapa orang-orang itu mengejarmu?"

"Apa untungnya bagiku jika memberitahumu?"

Aku mengerang ketika tanganku dipelintir semakin kuat hingga tulangku terasa mau patah.

"Dengarkan aku baik-baik nona," ujarnya di telingaku. "Aku bukanlah pria yang bisa bersikap lembut pada wanita. Aku bisa membunuhmu kapan saja."

"Kalau begitu kenapa kau menyelamatkanku jika kau juga ingin membunuhku?"

Ia terdiam cukup lama namun akhirnya ia menjawab, "bukan urusanmu."

"Kalau begitu, kau bisa membunuhku sekarang."

Aku kembali mengerang ketika ia mencengkeram tanganku semakin keras.

"Kau bahkan berani menyuruhku?" desisnya. "Ini untuk terakhir kalinya aku bertanya nona. Kenapa mereka mengejarmu?"

Ujung belati di tangannya berhasil menggores leherku meskipun belum menancap sepenuhnya. Disaat seperti ini, terpaksa aku harus menjawabnya.

"Aku sendiri juga tidak tahu," jawabku jujur. "Tapi sebelum itu, mereka membunuh semua keluargaku dan aku hanya berusaha menyelamatkan diri dari tragedi pembunuhan itu. Aku berhasil lolos dan mereka mengejarku."

Setelah mendapat jawaban, pria itu melepaskanku dengan kasar hingga aku terjerembab ke tanah.

"Aleea, kau urus gadis ini."

Pria itu melangkah keluar menembus gelapnya malam entah kemana, disusul pria satunya yang menyeringai kearahku dan turut pergi. Kini hanya aku dan si perak muda yang masih tinggal.

"Kau baik-baik saja?" Si perak membantuku berdiri. "Ngomong-ngomong siapa namamu?"

"Namaku Valen."

"Aku Aleea, maaf atas sikap kedua temanku. Mereka—memang seperti itu, tapi sebenarnya mereka sangat baik."

"Aku tidak perduli," sergahku sambil melengos pergi menuju bebatuan dan terduduk dengan kesal.

"Aku tahu mereka sudah kasar padamu. Aku benar-benar minta maaf atas mereka." Aleea turut duduk di sebelahku. "Valen, aku turut prihatin atas apa yang menimpa keluargamu. Kami bertiga juga pernah mengalaminya. Aku juga tidak tahu apa tujuan mereka membunuh seluruh keluarga kami tanpa sisa. Tapi akhirnya kami tahu bahwa—itu ada kaitannya dengan perintah raja."

Aku menatapnya tak percaya. "Jika itu perintah raja, apa untungnya bagi kerajaan membunuh rakyat biasa seperti kami?"

Aleea menggeleng. "Entahlah. Tapi—sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan di kerajaan ini. Dan aku yakin, mereka tidak akan membunuh rakyat biasa jika tidak memiliki pengaruh bagi kerajaan. Mungkin—bisa saja keluargamu memiliki sesuatu yang membuat tahtanya terancam."

Aku mengerutkan kening sembari berpikir. Selama ini aku tidak pernah tahu jika keluargaku berkaitan dengan raja. Aku juga tidak pernah melihat ayah, ibu ataupun bibi Alya berhubungan dengan para petinggi kerajaan. Lalu—apa yang menjadi ancaman kami terhadap raja?

"Jika memang keluargaku merupakan ancaman, sepertinya mereka salah besar. Kami tidak pernah terlibat apapun dalam masalah kerajaan ataupun bersekutu dengan kerajaan lain."

"Ya, aku tahu itu. Awalnya aku juga berpikir seperti itu, aku merasa bahwa keluargaku bukanlah ancaman. Bukan hanya aku, Velian dan Zealda juga berpikiran sama. Bagaimana rakyat biasa seperti kami bisa menjadi ancaman bagi kerajaan? Kami bukanlah bangsawan ataupun seseorang yang memiliki jabatan tinggi. Tapi—kenyataan mengatakan sebaliknya. Keluarga kami di bunuh tanpa sisa, jika aku tidak bisa lolos waktu itu, mungkin aku juga mati bersama mereka." Aleea menatapku lekat dengan tatapan sedikit geram akan masa lalunya. "Menurutmu—apa yang membuat keluarga kami dibunuh?"

Aku terdiam sejenak dan menggeleng pada akhirnya.

"Kami pernah mendengar bahwa raja baru kita memiliki seorang peramal. Itulah yang sedang kami selidiki. Ramalan apa yang sudah terlontar sampai yang mulia raja membunuh keluarga tertentu."

Aku masih terdiam dan berpikir dengan serius. Kurasa ini bukan hal yang sembarangan. Sebuah misteri terselubung di kerajaan membuatku sedikit penasaran dengan isi ramalan itu. Itu menjadi sebuah pertanyaan besar layaknya batu yang harus dipecah.

"Bergabunglah dengan kami."

Aku kembali menatap Aleea dengan bingung, namun ia sudah memberiku dua buah dagger.

"Kami adalah kelompok Assassin dan kau adalah anggota baru kami."

"Tapi aku belum memberi persetujuan, bagaimana bisa kau menyebutku sebagai anggota baru?"

"Seseorang yang sudah menginjakkan kaki ditempat ini, berarti dia anggota baru kami. Jika kau sampai kabur, dengar terpaksa aku yang akan mengejarmu dan membunuhmu dengan tanganku sendiri."

Aleea. Pemuda yang kupikir paling baik ternyata sama seperti dua pemuda lainnya. Ia bahkan mengancam untuk membunuhku dengan tangannya sendiri. Aku merasa terjebak seketika, layaknya terperosok ke dalam lubang parit dan tak bisa keluar darinya.

Aku menatap dagger di tangannya, berkilat tajam dengan ujung yang runcing. Haruskah aku menerima tawarannya?

_______To be Continued_______