Velian menyerahkan pakaiannya padaku. Meskipun basah, setidaknya aku memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhku. Kini ia hanya memakai celana pendek dengan bertelanjang dada. Sepanjang perjalanan menuju goa, aku memalingkan wajahku sambil menahan tawa. Aku hanya bisa terbahak-bahak dalam hati atas keberhasilanku memberi pelajaran pada dua iblis ini. Pertama, aku berhasil melukai Zealda dan sekarang aku berhasil membuat Velian melucuti pakaiannya.
"Hahah rasakan!" sorakku dalam hati.
Tak butuh waktu lama kami sampai di depan goa dan di sana sudah ada Aleea dan Zealda. Sesuai dugaanku, mereka berdua tertawa terbahak-bahak begitu melihat Velian. Aku membekap mulutku agar tidak ikut terbahak-bahak meskipun bahuku sedikit terguncang karena tawa. Aku benar-benar puas mendengar tawa mereka yang terkesan mempermalukan Velian.
"Velian, kau benar-benar tidak tahu malu," ujar Zealda dan kembali tertawa.
"Kalian pikir ini lucu?!" teriaknya menggelegar.
Kami bertiga terkaput bisu seketika dari tawa. Ternyata Velian dalam keadaan marah lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Aku menatapnya tegang ketika ia menatapku.
"Ini semua karenamu, jadi kau tidak berhak tertawa," ujarnya tajam.
"Kau sendiri yang membuang pakaianku, jadi kau tidak berhak menyalahkanku," balasku.
"Kau bahkan berani membalikkan ucapanku."
"Kau pikir hanya kau saja yang bisa berbicara seperti itu?" sahutku dingin.
Velian menatapku tajam namun sedetik kemudian ia tersenyum miring dan aku mendapat firasat buruk seketika.
"Kau boleh memakai pakaianku itu kalau kau mau," ujarnya kemudian melengos pergi.
Keningku berkerut heran, namun aku tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik seringainya. Dan benar saja, ia keluar goa sudah bergantian pakaian sementara aku masih menggunakan pakaiannya yang basah. Sial!
Semakin lama aku mulai menggigil dan aku terpaksa duduk di perapian sekaligus mengeringkan pakaian yang kukenakan. Aku sengaja menghindar dari mereka untuk menenangkan diri. Lukaku kembali terasa nyeri karena lembab oleh kain basah. Kuraih obat herbal di dekatku dan mengoleskannya. Aku mengernyit kesakitan karena pedih dan membiarkan lukaku terbuka.
"Valen."
Aku menoleh ketika Aleea sudah berdiri di pintu goa. Ia mendekatiku dan langsung mengecek lukaku, lalu kembali berdiri dan membuka sebuah buntalan kain besar dan mengambil beberapa kain dan memilahnya.
"Kau bisa memakai pakaianku." Aleea menyodorkan sepasang pakaiannya. "Di antara kami, tubuhku yang paling kecil karena aku yang paling muda. Setidaknya ukuran pakaianku lebih baik di tubuhmu, meskipun sedikit besar tapi tidak terlalu longgar untuk kau pakai."
Aku menerima pakaian itu dengan senang hati. "Aku tidak mengerti kenapa orang baik sepertimu bisa bergabung dengan mereka?"
"Karena mereka juga orang baik, tapi mereka tidak pandai mengekspresikannya."
Aku mengerutkan kening sejenak sambil berpikir. "Mereka memang baik tapi—sikap menyebalkannya membuat kebaikannya tidak terlihat. Di tambah, mereka suka main tangan seenaknya," gumamku membatin.
"Aku cukup mengerti dengan keadaanmu," ujarnya lagi membuyarkan lamunanku. "Sebenarnya mereka sendiri melakukan itu juga karena heran padamu. Terutama Velian, ia tidak menyangka kalau gadis yang ditolongnya bukan gadis feminim."
"Kalau aku bukan gadis feminim lalu kenapa tidak membiarkanku pergi saja?" gerutuku.
Aleea mendengus tertawa. "Tentu saja kami tidak akan melepaskanmu."
"Alasannya?"
"Tanyakan saja pada mereka. Aku hanya mengikuti kemauan mereka."
Aku menarik napas panjang. "Aku tidak yakin mendapat jawaban yang benar dari mereka."
"Tidak perlu dipikirkan, sekarang kau ganti pakaianmu. Aku akan keluar."
Aku mengangguk dan Aleea melangkah pergi. Mataku mengawasi pintu goa sejenak lalu segera mengganti pakaianku setelah kupastikan bahwa mereka tidak akan masuk. Ternyata memang benar, pakaian Aleea lebih baik ukurannya di tubuhku dari pada punya Velian. Aku merasa lega karena ada Aleea yang selalu membantuku di saat kesulitan.
Kujemur pakaian Velian di dekat perapian supaya kering kemudian kembali duduk. Lambungku berderu karena kosong, aku benar-benar lapar. Aku menarik napas sejenak kemudian mengambil pisauku lagi.
Mereka menatapku ketika aku melangkahkan kaki keluar goa, dan sedetik kemudian Velian dan Zealda menatap Aleea dengan tatapan tajam sementara yang ditatap hanya meringis. Mereka sama sekali tak berkomentar dengan penampilanku.
"Mau kemana kau?" tanya Zealda.
"Tentu saja berburu," sahutku acuh.
"Jangan bilang kau ingin berburu buaya lagi." Kali ini Velian yang bersuara dengan nada menyindir.
Aku mendengus terawa. "Kau pikir aku sebodoh itu sampai-sampai tidak tahu bahwa sungai itu tidak ada buayanya. Ingat, jangan menyusahkan dirimu untuk memburu sesuatu yang tidak ada." Aku tersenyum menang kemudian melengos pergi.
Aku kembali mematahkan ranting dan meruncingkan ujungnya untuk dijadikan tombak. Kali ini aku masuk ke hutan lebih dalam lagi dan beberapa saat kemudian aku melihat seekor kelinci hutan yang gemuk.
Aku mengendap-endap sambil menggenggam tombakku erat. Kuambil posisi siap untuk menembak kemudian melemparkan tombakku sekuat tenaga dan—yap, lemparanku berhasil mengenai kakinya.
Aku mencabut tombakku dan menangkap kelinci itu. Kutatap kelinci itu sekali lagi namun sejenak hatiku sedikit teriris. Dia—sangat imut sampai-sampai aku tidak tega untuk membunuhnya.
Aku memekakan telinga ketika mendengar suara geraman dari semak-semak. Kelinci di tangan kuletakkan di bawah pohon kemudian meraih pisauku dan memasang posisi siaga.
Kutatap semak-semak itu dan mataku melihat sekumpulan rumput liar di sana bergerak. Aku masih terdiam sambil memicingkan mata.
Tubuhku mengerjap kaget ketika sosok binatang buas melompat kearahku. Butuh waktu untuk menyadari bahwa binatang itu adalah Harimau kelaparan. Ia menggigit bahuku dan mengoyaknya. Aku menggenggam pisauku dan menyerang matanya.
Ia meringkik kesakitan kemudian melompat pergi, namun ia mengaum keras dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, aku langsung membawa Kelinci itu lari.
Aku menarik napas lega karena sudah keluar dari batas wilayahnya, kemudian terduduk di bawah pohon sambil meringis kesakitan. Luka di pinggangku kembali terasa nyeri di tambah bahuku juga terluka.
Aku berjalan dengan langkah gontai menuju goa sambil membawa si kelinci. Rasa bersalah mulai menylimutiku ketika menyadari bahwa pakaian Aleea koyak dan ternoda oleh darahku. Sesuai dugaanku, mereka terpana melihatku.
"Valen kau terluka!" Aleea langsung bangun dari duduknya dan menatap bahuku dengan nanar.
Aku melangkah mundur ketika ia hendak menyentuh bahuku karena sudah membayangkan sakitnya ketika bahuku disentuh.
Velian menatap kelinci dalam gendonganku dan bahuku bergantian. "Apa kau rebutan Kelinci dengan Harimau?"
Tebakannya menyadarkanku akan satu hal. Mungkin Harimau itu memang sedang mengincar kelinci ini ketika aku memburunya.
"Menurutmu?"
"Sepertinya dugaanku benar."
Aku melengos pergi dan masuk ke dalam goa. Pedih dan pegal begitu terasa di bahuku. Aku menurunkan kelinci itu dan kulihat ia masih menggeliat mencoba untuk melarikan diri. Kuciduk sedikit air untuk membasuh lukaku, kemudian mengoleskan obat herbal ke bahuku.
Kutatap kelinci itu lagi sambil menghela iba. Aku benar-benar tidak tega membunuhnya, dia imut sekali. Kuelus bulunya dan ia jinak seketika, membuat hatiku luluh dalam sekejap dan berniat untuk melepaskannya.
Lambungku kembali bergetar namun kali ini lebih terasa perih. Haruskah aku berburu lagi? Aku duduk dan bersandar sambil menahan lapar. Mungkin jika kubawa tidur laparku jadi hilang.
* * *
Aku membuka mata dan kulihat mereka bertiga sudah duduk mengelilingi perapian di dalam goa. Kulihat dari pintu goa, ternyata hari sudah menjelang petang. Aku mengedarkan pandangan dan—yah, kelinciku tidak ada.
"Lelap sekali tidurmu." Zealda menggelengkan kepala dengan heran.
"Kalian lihat kelinci di sini?"
"Maksudmu—ini?" Velian mengangkat sepotong paha yang sudah di panggang.
Mataku melebar dan emosiku memuncak dalam sekejap ketika wajah imut itu terbayang dimataku. Aku meraih pisau dan melompat kearahnya. Aku menjepit lehernya dari belakang dengan lengan sambil menempelkan pisau di pipinya.
"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhnya?" desisku.
Aleea dan Zealda terkesiap melihat aksiku.
"Sebenarnya kau memburu kelinci itu untuk dimakan atau dipelihara?"
"Bukan urusanmu!"
Velian mencengkeram bahuku yang terluka agar aku melepaskan lehernya. Sial, dia selalu menyerang titik kelemahanku.
"Rupanya kau ingin bertarung lagi denganku." Velian bangkit dengan kesal kemudian menyerangku.
Aku mundur dan menghindari serangannya.
"Velian hentikan!" Aleea ikut berdiri dan hendak melerai kami namun Zealda sudah mencegahnya.
Aku menatap Aleea yang juga ribut dengan Zealda. Sebenarnya perkumpulan macam apa ini?
"Kau bahkan berani mengalihkan pandanganmu ketika melawanku?"
Tubuhku mengerjap dan Velian sudah melancarkan serangannya. Aku terpelanting karena lengah. Velian kembali melesat kearahku tanpa memberiku waktu untuk melawan. Ia membekap mulutku kemudian memutar tubuhku dengan tali. Butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku sudah terikat. Bahuku kembali terasa nyeri dan tenagaku seperti terkuras.
Zealda membawa Aleea keluar dan meninggalkanku berdua bersama Velian. Ia menatapku tajam sambil mengambil sepiring daging panggang. Ia melepas ikatan di tanganku dan meletakan piring itu dengan kasar.
"Makan!"
Aku terdiam sambil menatapnya tak suka. "Aku tidak mau."
"Jangan sampai aku memaksamu."
"Kau tidak berhak memaksaku."
Velian terdiam sejenak namun rahangnya mengencang. "Baiklah jika kau tidak mau makan. Jangan salahkan aku jika aku melakukan hal ini padamu."
Velian menggigit sepotong daging di piring dan merobeknya kemudian menjepitkanya di bibir. Ia menatapku lagi namun kali ini dengan mata redup. Ia mendekatkan wajahnya perlahan dan tangannya menahan kepalaku. Pikiranku kosong seketika saat ia menekan bibirku lembut dan mendorong daging kelinci yang terjepit di bibirnya agar masuk ke mulutku.
"Aku tidak mengerti kenapa kau begitu menbenciku," bisiknya lembut. "Meskipun begitu, makanlah sesuatu agar kau bisa hidup."
Aku masih terdiam sambil mengunyah daging itu perlahan. Butuh waktu untuk menata pikiranku kembali. Apa-apaan yang tadi itu?
"Aku memanggangnya untukmu. Setidaknya rasanya lebih baik dari masakanmu." Velian mengigit daging itu lagi dan menjepitnya di bibir.
Ia mendekatkan wajahnya lagi namun kali ini aku menahan tubuhnya.
"Baiklah, aku akan makan," sergahku. Aku bisa merasakan jantungku berdegup lebih kencang tanpa kutahu sebabnya.
Velian terdiam sejenak, kemudian ia menarik diri dan mengambil pisau di sebelahnya. Ia melepas ikatan di tubuhku dan meletakan sepiring daging itu di hadapanku sementara ia duduk di sampingku. Aku meraih sepotong paha lalu memakannya, dan sialnya rasanya memang lezat. Aku makan dengan lahap, pipiku bersemu saking enaknya dan suasana hatiku kembali membaik.
"Bagaimana kau bisa membuat makanan seenak ini? Sama seperti masakan ibuku," gumamku.
"Apa ibumu tidak pernah mengajarimu memasak?"
Aku menelan makanan di mulutku sebelum menjawab. "Ayah yang melarangku. Dia akan menghukumku jika aku ketahuan belajar memasak. Bukan hanya itu, semua yang berbau feminim selalu di jauhkan dariku."
Velian mengerutkan kening. "Apa ayahmu memiliki alasan kenapa melakukan hal itu?"
Aku mengendikkan bahu sambil menggigit daging di tanganku. "Entahlah. Setiap hari ia selalu memaksaku untuk bermain pedang. Setahuku ia melakukan hal itu karena ia mendambakan anak anak laki-laki tapi ternyata aku terlahir perempuan. Aku berpikir bahwa ayah membenciku, karena itu aku melakukan apapun yang dia inginkan meskipun sebenarnya aku tidak mau termasuk—berlatih pedang."
Velian termanggut-manggut. "Kau bilang keluargamu dibantai waktu itu dan kau berhasil lolos," gumamnya sambil berpikir. "Apa ayahmu merahasiakan sesuatu?"
Aku terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya aku berbicara pada Velian secara baik-baik tanpa pisau ataupun pertarungan. Dan yang membuatku heran, ia terlihat seperti sedang menyelidiki sesuatu, aku bisa membaca keseriusannya ketika menanyakan kematian keluargaku.
"Entahlah. Jangankan memberitahuku rahasia, bahkan berbicara padaku pun hanya sesuatu yang perlu saja."
Velian menarik naPas. "Kasihan sekali. Tapi—sepertinya kau harus menyelidiki lagi keluargamu. Aku merasa sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi di sana."
Aku berhenti mengunyah sejenak. "Maksudmu?"
"Besok pagi kita ke rumahmu."
Aku termanggut-manggut setuju. "Baiklah."
"Namaku Velian Grey," ujarnya. "Dari awal bertemu kita belum berkenalan secara resmi."
"Aku sudah tahu," sahutku. "Dan kupikir kau juga sudah tahu namaku."
"Valen Trish." Velian tersenyum miring. "Dan sekarang aku perlu tahu kenapa kau membenciku."
"Karena kau pria yang kejam, dingin dan menyebalkan. Selain itu, kau membuat lukaku tak kunjung sembuh," jawabku jujur.
Velian mendengus tertawa. "Ada hal lain?"
"Matikan semua perapian!"
Zealda melompat masuk bersama Aleea. Aku dan Velian terkesima dan segera bangkit.
"Ada apa?" tanyaku sedikit khawatir.
"Kau akan tahu nanti."
Aku mengambil air untuk cuci tangan dan sisanya kusiramkan di perapian. Aku ikut merapatkan diri ke dinding goa yang gelap. Tak lama, aku mendengar derap kaki mendekat dan memasuki tempat ini. Kulihat ada lima orang menggeledah tempat ini. Velian menyelipkan dagger di tanganku dan aku menggenggamnya erat. Aku mengamati pergerakan mereka dan memicingkan mata ketika aku merasa seperti tidak asing dengan orang itu.
Dia—yang waktu itu bertarung denganku malam itu. Rasa kesal kembali melandaku, jika saja aku tidak tertembak panah, mungkin dia sudah mati di tanganku. Aku menarik dagger ku dan bersiap menyerangnya.
"Hey apa yang kau lakukan?" bisik Zealda.
"Aku akan membereskannya dengan cepat."
Prinsip Assassin adalah menyerang titik kelemahan lawan agar bisa membunuh dengan cepat. Aku melompat dan langsung menyayat leher mereka satu persatu. Satu berusaha kabur namun aku segera melempar pisauku dan mengenai kepalanya.
Aku bergerak memutar untuk menghindari serangan yang lain dan aku kembali melompat untuk meraih pedang kesayanganku yang tak jauh dari jerami tempat tidurku.
Untung saja aku pernah berlatih di tempat gelap jadi aku bisa bertarung tanpa harus ada cahaya. Aku terdiam ketika sebuah serangan mendekat kearahku dan aku membalikkan tubuh seketika sambil mengacungkan pedangku kearah depan. Pedangku menancap tepat di jantungnya.
Tinggal satu lagi, dia pria yang waktu itu bertarung denganku. Aku mengejarnya ketika ia berlari keluar goa. Aku meraih tombakku yang kugunakan untuk berburu, kemudian melemparkannya dan tepat mengenai tumitnya. Ia tersungkur ke tanah dan aku segera melompat ke arahnya.
"Katakan padaku siapa yang mengirimmu untuk membunuh keluargaku?" desisku sambil menempelkan dagger di lehernya.
"Baiklah, baiklah." Tubuhnya bergetar ketakutan. "Aku hanya diutus untuk membunuh ayahmu dan seluruh keluargamu termasuk dirimu."
"Siapa yang mengutusmu dan apa alasannya?"
"Kepala militer dari kerajaan yang menyuruhku. Dia bilang aku harus membunuhnya dan semua anggota keluarganya termasuk dirimu, karena setelah putri mereka berusia delapan belas tahun yang mulia raja akan mengalami bahaya besar."
"Aku tidak mengerti kenapa yang mulia raja berpikir bahwa keluargaku akan membahayakan nyawanya. Kau tahu kami hanyalah rakyat biasa!"
"Ka-kami hanya menjalankan perintah. Dan—kudengar itu berkaitan dengan ritual kerajaan dua puluh tahun yang lalu."
"Ritual?" Keningku berkerut. "Ritual apa yang mereka lakukan? Apa hubungannya dengan keluargaku?"
"A-aku tidak tahu, ta-tapi kudengar kau memiliki tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel—aggrhh!"
Pria di hadapanku ambruk dan kulihat seonggok anak panah sudah menancap di lehernya. Aku menatap kearah datangnya panah itu dan kulihat semak belukar di sana bergerak, yang berarti dia sudah kabur.
"Sial!" Aku meninju pohon di sebelahku.
Ada banyak sekali pertanyaan dalam benakku. Aku yakin sekali kalau aku terlahir dari keluarga biasa, tapi bagaimana bisa aku memiliki tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu? Siapa tadi namanya? Pangeran—Vel? Ah sial, kenapa paman ini mati sebelum mengucapkan kalimatnya secara tuntas. Dan sebenarnya ritual apa yang melibatkan keluargaku?
_______To be Continued_______