Pikiranku terus berputar pada ucapan pria itu semalaman, sampai aku tidak bisa tidur. Aku mulai mencelupkan tubuhku di air sungai. Meskipun segar, namun pikiranku masih saja kalut. Tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel. Yang benar saja?
Aku sudah mengamati seluruh tubuhku tapi tidak kutemukan tanda lahir itu. Aku yakin sekali kalau tubuhku bersih dari yang namanya tanda lahir, bahkan aku sudah mengecek punggungku dan ternyata bersih. Apa mungkin di kepala dan tertutup rambutku? Haruskah aku memotong rambutku sampai botak untuk mengeceknya?
Hari ini aku akan pulang ke rumah dan aku harus menemukan petunjuk itu. Mungkin—aku perlu menggeledah kamar ayah.
Seusai mandi, aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah sementara mereka bertiga sudah menyewa kuda untuk perjalanan kami. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu penasaran dengan keluargaku, apa—mereka juga mengetahui sesuatu?
"Berhentilah melamun." Zealda menjitak kepalaku. "Dari semalam kau seperti memikirkan sesuatu. Apa yang mengganggumu?"
Aku mengusap-usap kepalaku dan menatap Zealda yang—tampak berbeda dari sebelumnya. Ia tampak lebih ramah meskipun masih dengan cara yang menyebalkan. Bukan hanya itu, Velian juga mulai berubah sikapnya. Apa—mereka benar-benar sudah menerimaku sebagai anggota dari kelompok ini sepenuhnya?
"Ada yang ingin kutanyakan padamu," sahutku pada Zealda. "Apa—kau tahu mengenai ritual kerajaan dua puluh tahun yang lalu?"
"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?" Zealda memiringkan kepala sambil menatapku heran. "Sebenarnya itulah yang sedang kami selidiki."
"Tidak apa-apa, aku hanya penasaran. Aku mendapatkan informasi kalau keluargaku di bunuh karena ada kaitannya dengan ritual itu."
Kini tiga pasang mata menatapku tajam dengan jawabanku.
"Kau mendapat informasi itu dari mana?"
"Awalnya Aleea yang memberi tahuku, kemungkinan besar keluargaku di bunuh atas perintah raja. Tapi setelah aku menanyakan pada pelakunya langsung, peristiwa itu memang ada kaitanya dengan ritual kerajaan." Aku menatap mereka satu persatu.
"Kita harus menyelidiki rumahmu secepatnya," ujar Velian sambil menaiki kuda.
Kami semua mulai menaiki kuda dan memacunya. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam dan hanyut pada pemikiran masing-masing. Pikiranku masih di penuhi dengan tanda lahirku yang tak pernah kutahu.
Tak lama, kami sampai di distrik Drys. Seperti biasa, aktifitas di distrik ini sangat padat. Pemandangan yang ada di sini membangkitkan kenangan masa kecilku, tapi semua berubah dari waktu ke waktu. Perjalanan masih berlanjut menuju rumahku yang berdiri tak jauh dari padang rumput di tepi hutan.
Perasaanku semakin gusar ketika aku hampir sampai di sana. Suasana sepi membuat rumahku mencekam dari kejauhan. Kutatap tiga pemuda di sebelahku bergantian dan mereka memasang wajah serius, menambah suasana tegang di sekitarku.
Aku menuruni kuda dan segera berlari ke dalam rumah. Pintu terbuka begitu saja ketika aku mendorongnya. Aku mengedarkan pandangan dan rumah ini begitu kosong, hanya meninggalkan bercak darah yang sudah mengering di lantai. Jasad ayah, ibu dan bibi sudah tidak ada entah siapa yang membawanya pergi.
Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke kamarku untuk mengambil pakaianku kemudian masuk ke kamar ayah dan membuka lemari besar yang terkunci. Kuambil pisauku untuk mencongkel pintu lemari sekuat tenaga dan tak lama pintu terbuka, hanya setumpuk pakaian yang menggantung rapi ketika aku melihatnya.
Aku membuka laci lemari dan sebuah buku tebal terpampang, membuatku terpaku sejenak dengan rasa penaran yang melanda. Aku meraih buku itu dan membukanya perlahan. Pikiranku berputar sejenak ketika melihat tulisan yang tak ku kenal, tapi aku sering melihat tulisan-tulisan ini dalam beberapa buku sihir.
Aku membuka halaman berikutnya dan terdapat sebuah gambar seorang perempuan dengan tangan menengadah ke langit dan di kelilingi banyak orang yang sedang bertekuk lutut. Kemudian aku membuka halaman berikutnya yang ternyata adalah sebuah peta Axylon. Sebenarnya buku apa ini? Bagaimana ayah bisa memiliki buku ini?
Aku kembali menutup buku tebal di tanganku dan memasukannya ke dalam tas lalu menggendongnya. Kubuka lemari yang lain dengan hati-hati. Tatapanku tertuju pada secarik kertas yang terjatuh. Aku memungut kertas yang tampak lusuh itu dengan kening berkerut.
Kulihat sebuah corak sambung dan jika di perhatikan secara keseluruhan menjadi sebuah angka, yaitu angka empat. Pikiranku di penuhi tanya seketika, apa ayah mengetahui sesuatu?
"Valen kita harus pergi sekarang juga!" Aleea sudah melompat dan menarikku. "Orang-orang itu ternyata menyamar sebagai warga biasa dan sekarang sedang mengawasi rumah ini."
Aku segera memasukkan kertas itu di dalam tas dan segera berlari bersama Aleea. Namun, Aleea mengajakku kabur lewat pintu belakang.
"Kenapa Velian dan Zealda tidak bersama kita?" tanyaku di tengah lari.
"Velian memintaku untuk membawamu pergi karena sepertinya mereka mengincarmu."
Aku terdiam sejenak, mereka mengincarku. Itu berarti yang dikatakan orang waktu itu benar, mungkin aku memang ada kaitannya dengan ritual itu.
"Mereka—apa terlihat seperti orang suruhan dari istana?"
"Entahlah, tapi—"
"Aku harus memastikannya."
Aku menarik tanganku dari Aleea dan berlari kembali menuju rumahku.
"Hei!"
Aku berlari sekuat tenaga, dalam benakku saat ini aku harus mendapatkan banyak informasi tentang ritual yang melibatkan keluargaku yang tak kutahu.
"Valen!"
Aku terus berlari tanpa mengindahkan panggilan Aleea. Kulompati pagar dengan sekali loncatan ketika terdengar suara dentingan. Aku mencabut pedangku dan melompat ke arah mereka dan Kulihat Zealda sudah terdesak dengan luka di lengannya.
Aku bergerak memutar dan menghunuskan pedangku tepat di jantungnya dari belakang. Kemudian bergerak memutar lagi dengan merebut pedang Zealda dan menebas dua orang sekaligus. Awalnya Velian dan Zealda menatapku nanar, namun sedetik kemudian mereka kembali bersiaga.
Aleea yang berlari di belakangku langsung melompat sambil melemparkan sebuah belati dan tepat mengenai leher salah satu di antara mereka.
"Kita pergi dari sini."
Kami berempat menaiki kuda dan memacunya dengan cepat namun sebagian dari mereka mengejar kami. Kami mulai memasuki hutan dan mulai berpencar. Aku melaju bersama Zealda sementara Velian bersama Aleea.
Aku mengeluarkan pedangku sementara Zealda sudah mengeluarkan Hidden Blade di pergelangan tangannya. Ia melambatkan lajunya kemudian merunduk dengan tangan terbentang. Mata pisau dari Hidden Bladenya berhasil mengenai mereka. Aku mulai memutar pedangku sambil menghindari serangan mereka.
Mereka akhirnya tumbang satu persatu meskipun aku juga terluka. Kulihat luka zealda kembali terbuka hingga ia sulit untuk bergerak.
"Hei kau baik-baik saja?"
Zealda terdiam sambil memegangi lukanya. Kulihat ada goresan di bahunya dan setelah aku mengeceknya, ternyata mereka menggunakan senjata beracun. Aku merobek kain yang menutupi bahunya dan segera menghisapnya untuk mengeluarkan racun. Aku segera memapahnya untuk naik ke kudaku ketika kesadarannya mulai berkurang.
Aku mengikat tangan Zealda di pinggangku agar tidak jatuh dan kubiarkan kepalanya terkulai di bahuku, kemudian membawa kuda Zealda lari bersama kudaku.
"Zealda bertahanlah!" gumamku.
Aku memacu kudaku semakin cepat menuju goa tempat persembunyian kami. Kekhawatiranku semakin berlipat ketika aku memikirkan Aleea dan Velian. Aku tidak tahu bagaimana dengan mereka saat ini, tapi kuharap mereka baik baik saja.
"Sepertinya—kau memang cocok menjadi ksatria," gumam Zelada lemah. "Pertahananmu jauh lebih kuat meskipun daya serangmu kurang mematikan."
Aku menarik napas panjang agar tidak kesal mendengar sindirannya. "Ya, aku tahu aku tidak sekuat kalian," sergahku dengan sedikit penekanan. "Tapi setidaknya aku tahu cara bertahan dengan baik. Jadi kesimpulannya, terimakasih sudah memujiku."
Aku bisa merasakan Zealda mendengus tertawa di bahuku. "Kau itu sangat sensitif. Baru di sindir sudah kesal, sama sekali tidak ada selera humor sedikitpun."
"Zealda, mungkin kau harus tahu satu hal. Kau benar, aku memang tidak memiliki selera humor karena aku dilatih untuk selalu serius. Aku tidak keberatan kau menyindirku semaumu, tapi kuharap kau juga tidak keberatan dengan tanggapanku atas sindiranmu."
Zealda tertawa lemah. "Baiklah nona."
Meskipun terkadang aku suka menanggapinya sedikit sinis, tapi hatiku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum.
* * *
Aku membaringkan Zealda setelah mengoles ramuan herbal yang telah di campur obat penawar racun di bahunya. Segera kuraih pedangku dan kupakai Hidden Blade milik Zealda yang terlihat mematikan. Aku memandang langit yang tampak gelap dengan sedikit rintik hujan.
"Baiklah, mungkin ini saatnya aku membunuh ala Assassin."
Aku meraih jubah ber-hoodie di dalam tas ku, kemudian memacukan kudaku dan meninggalkan Zealda dalam kondisi aman. Pikiranku kembali di penuhi Aleea dan Velian yang entah di mana mereka. Tapi seharusnya tidak jauh dari distrik Drysh.
Setelah berjam-jam mencari, tak lama aku masih mendengar dentingan pedang. Entah kenapa leher belakangku terasa panas seperti terbakar, sepertinya—penyakitku kambuh lagi. Aku tidak tahu kenapa tengkukku selalu terasa terbakar di saat-saat tertentu dan itu sudah terjadi sejak aku masih kecil. Meskipun rasanya sedikit sakit tapi aku sudah terbiasa.
Di tengah pertempuran itu, aku melihat Aleea sudah tergeletak sementara Velian masih melawan dengan tubuh bersimbah darah. Aku menarik pedangku dan mengeluarkan belati dari Hidden Blade di tanganku. Aroma anyir dan hujan bercampur menjadi satu, aku melihat wajah lelah mereka berdua.
Aku merunduk sambil memutar pedangku dan menebas mereka dengan mata pisau yang mencuat dari Hidden Blade. Assassin hanya memiliki skill membunuh yang mematikan tapi untuk kemampuan bertarung, sepertinya mereka masih jauh di bawah rata-rata, mungkin karena prinsip mereka adalah membunuh tanpa bertarung alias diam-diam.
Aku bisa memaklumi hal itu atas kekalahan mereka berdua. Tapi—sekarang aku ada di sini, dan aku siap bertarung untuk mereka. Aku turun dari kudaku dan kulihat lawanku lebih dari satu.
"Kalian pergilah! Aku yang akan menangani mereka."
"Jangan berlagak pahlawan—"
"Bertarungmu payah!" timpalku sebelum ucapannya selesai.
Aku segera berlari sambil mengangkat pedangku sebelum Velian bicara lebih banyak. Aku merunduk untuk menghindari serangan mereka, kemudian mencari celah untuk menyerangnya. Untung saja aku sudah memakai baju zirah di bagian tertentu agar terhindar dari serangan fatal.
Setelah menemukan celah, aku menyerang mereka satu persatu sambil menghindar dari serangan yang datang. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku bertarung dan tenagaku semakin terkuras. Tapi setidaknya masih ada sisa empat orang lagi dan aku harus membereskan semuanya.
Tanah yang kupijaki kini semerah darah dengan onggokan tubuh tak bernyawa di sekitarnya. Tanganku mulai gemetar dan lelah namun aku tak boleh menyerah. Kulihat wajah mereka satu persatu yang juga tampak kelelahan.
Aku kembali melesat sambil memutar pedangku untuk mendapat serangan maksimal. Tak butuh waktu lama untuk menumbangkan dua di antaranya. Aku kembali mengayunkan pedangku sekuat tenaga dengan segala celah yang telah kudapatkan.
Velian bertepuk tangan setelah mereka tumbang semua. "Wow! Hebat, hebat."
Aku segera menghampirinya dengan segala kecemasanku. "Kau baik-baik saja?" Kulihat tubuhnya sudah duduk terkulai di bawah pohon dengan penuh luka.
"Kau bawa Aleea terlebih dahulu, aku akan baik-baik saja di sini," ucapnya.
Aku mengangguk. "Kau harus bertahan sampai aku kembali."
Velian mengangguk. "Cepatlah kembali."
Aku segera memapah tubuh Aleea di bantu oleh Velian untuk menaiki kudaku. Aku mengikat tangan Aleea di pinggangku dan membiarkan kepalanya terkulai di bahuku. Kutatap Velian sebelum akhirnya kudaku melaju untuk meninggalkannya, berharap ia akan baik-baik saja sampai aku kembali.
Setelah sampai di goa, aku segera membaringkan Aleea dan mengobati lukanya. Untung saja, ia tidak terkena racun tapi luka sayatannya begitu dalam sampai ia kehabisan banyak darah. Aku berusaha menghentikan pendarahannya sebisa mungkin.
Aku mengacak-acak kotak ramuan dan beruntungnya ada sebotol obat untuk menghentikan pendarahannya. Kulihat Zealda belum sadarkan diri, namun setelah ku cek lagi, kondisinya mulai membaik.
Setelah mengobati Aleea, aku kembali menaiki kudaku untuk menjemput Velian. Rasa cemas semakin melandaku dengan harapan ia akan baik-baik saja. Aku tidak memperdulikan tubuhku yang sudah basah kuyup.
Seorang pemuda berambut panjang yang berantakan duduk meringkuk di bawah pohon dengan wajah pucat. Aku menghela napas lega melihat ia masih dalam keadaan sadar.
"Velian!"
Velian menoleh dengan wajah lega setelah melihatku. Aku segera berlari dengan membawa mantel di punggungku.
"Maaf membuatmu menunggu lama."
"Tidak apa-apa."
Aku menggenggam tangannya yang sudah sedingin air hujan, wajahnya sudah putih pucat dan tubuhnya semakin melemah.
"Bertahanlah."
Aku memakaikan mantelnya agar ia tidak terlalu kedinginan kemudian memapahnya untuk menaiki kudaku sambil membawa lari kuda milik Velian dan Aleea. Dalam kondisi luka parah seperti ini Velian tidak bisa membawa kuda sendirian dan aku tidak bisa membayangkan jika ia pingsan di tengah jalan dan jatuh dari kudanya. Akan semakin merepotkan tentunya.
Velian melingkarkan tangannya di pinggangku ketika aku melaju semakin cepat.
"Aku tidak mengikat tanganmu jadi jangan sampai pingsan yah."
"Valen."
"Hmm?"
Tubuhku mengerjap ketika Velian mengusap tengkukku.
"Hey jangan sentuh bagian itu!" sergahku menahan sakit.
"Apa—ini sakit?"
"Ya," sahutku jujur. "Memangnya ada apa di bagian tengkuk leherku? Kau lihat sesuatu?"
Velian tidak menjawab.
"Biasanya terasa sakit di saat-saat tertentu. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa, tapi tengkuk leherku sering terasa pedih sejak kecil."
"Dan kau tidak pernah menanyakannya?"
Aku menggeleng cepat. "Tidak."
Velian terdiam cukup lama tapi aku bisa merasakan tubuhnya mematung.
"Tidak—tidak ada ada apa-apa di tengkuk lehermu," gumamnya.
Keningku berkerut mendengar ucapannya yang terasa ragu di telingaku, tapi—sudahlah. Mungkin karena ia sedang terluka jadi nadanya seperti itu.
Velian memeluk pinggangku semakin erat sambil meletakkan kepalanya di bahuku. "Terimakasih sudah menolongku. Tidak, maksudku—menolong kami."
Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi—jantungku terasa berdetak lebih kencang. Ada perasaan aneh yang menjalar dan membuat punggungku terasa geli.
"Jika kau kehilangan kesadaran di tengah jalan, aku akan membiarkan tubuhmu terjatuh dari kuda."
Velian mendengus tertawa. "Tidak akan."
Aku memegangi tangan Velian yang terasa dingin agar tidak terlepas. Meskipun sedikit gelisah, entah kenapa aku ingin sekali tersenyum seolah-olah sesuatu yang hangat dan menyenangkan mengalir dalam benakku.
"Velian, bertahanlah!" gumamku dalam hati.
_______To be Continued_______