Anko sudah terlanjur menyapanya, seorang Elf itu masih bersembunyi di dasar laut. Anko terpaksa duduk di dekat telaga itu dan menunggunya untuk keluar. Lama sekali Anko menunggunya hingga mengantuk karena habis menangis lama tadi.
Anko secara tidak sadar langsung tertidur di dekat telaga sana dengan dikerumuni para monster slime yang heran melihatnya dari jarak dekat.
Sang Elf yang merasa tidak ada gangguan apa pun mencoba naik untuk memunculkan dirinya ....
"...?" Elf hanya melihatnya tanpa mau mendekatinya. Dia masih merasa ragu kalau manusia yang ke tempatnya itu bisa saja dia pura-pura tidur dan orang yang jahat.
Waktu cepat berlalu, sang elf yang penasaran pun akhirnya mendekati Anko mencoba meyakini kalau manusia yang ada di tempatnya ini bukan orang jahat.
Tiba-tiba, sang Elf yang merasakan napas Anko dari dekat, dan Anko yang merasakan helaian rambut elf yang sempat menyentuh wajahnya saat memandangnya ....
Anko yang masih memejamkan matanya itu perlahan membuka matanya dengan begitu lambat, dia segera ingat kalau dirinya masih berada di salah satu reruntuhan kuno.
Begitu dia terbangun melihat langit-langit bangunan seperti labirin itu, Anko sadar dan masih ingat kalau Syifa sudah tidak ada lagi, air matanya secara otomatis mengalir dari matanya ....
Dia menangis kembali sambil menatap langit-langit labirin itu, dan mendekap pedang patah Syifa.
Tidak ada gunanya larut dalam kesedihan terlalu lama ....
Di sisi lain, sang elf yang sudah tahu kalau manusia yang ada di depannya itu segera terbangun, dia segera bersembunyi di balik dinding sambil mengintip Anko dari kejauhan.
Manusia yang tiba di tempatnya itu dikelilingi oleh monster slime warna-warni tapi, dia malah mengelus pelan slime dengan senyum lembutnya.
Sang elf yang melihat sisi lembut Anko akhirnya mencoba percaya dari lubuk hatinya paling dalam kalau orang yang tadi menyapanya itu adalah seseorang yang terserat di reruntuhan dan lebih tepatnya belum mengenal sama sekali tempat ini.
Perlahan, langkah demi langkah kaki mendekat ke diri Anko. Sang elf berjalan dengan tidak memakai alas kaki. Dia berjalan meneguhkan langkahnya sambil menatap serius Anko yang masih tidak menyadari seorang elf mendekati dirinya.
Begitu Anko menoleh ke arah lain setelah mengelus beberapa slime di dekatnya itu ....
Dengan terkejutnya, Anko melihat elf menatapnya. Anko membelalakkan matanya dan dia segera terbangun namun, dia terpeleset dan jatuh ke telaga itu, "Eh!?" celetuk Anko yang kaget juga.
Sang elf lebih panik, dia sudah mengira kalau dilihat dari ekspresi gadis itu yang polos dia tidak akan bisa berenang ditambah dengan baju besinya yang berat itu.
Sang elf segera berlari dan menengok Anko yang benar-benar tenggelam ke dasar telaga.
Dia berniat untuk menolongnya tapi ....
Apa yang sebenarnya yang dipikirkan Anko begitu terjatuh tadi? Dia sebenarnya masih bisa berenang tapi, dia sudah putus asa dengan hidup ini, dia memantapkan diri untuk bunuh diri dan membiarkan dirinya kehilangan tenaga, mati karena tidak bisa bernapas, dan segera menyusul Syifa.
Dia tidak peduli mati di sini, di dunia ini, dan itu menjadi pilihannya. Daripada di dunia nyata ... kematiannya jauh lebih memuaskan keluarganya yang membenci keberadaannya.
Tapi, Anko yang memilih mati sambil memegangi pedang peninggalan Syifa itu ....
Begitu napasnya sudah sesak penuh dengan air yang masuk, tiba-tiba sebuah telapak tangan dan lengan tangan berkulit putih bening menghampirinya.
Anko tersenyum dan dia mengira, itu pasti tangan Syifa ....
Dia sempat mengedipkan matanya tidak percaya dan dia berpikir mungkin sudah ada di alam akhirat tapi, dengan kuatnya tangan itu menarik Anko hingga muncul ke permukaan.
Sang elf itu menyelamatkan Anko dari dalam telaga ....
'UHUK! UHUK! UHUK!'
Anko langsung terbatuk tapi, dia merasa dia tidak mati sama sekali, dan sekarang dia kembali melihat langit-langit labirin yang sama seperti tadi saat dia bangun tidur namun posisinya sekarang agak berbeda.
Anko segera tebangun dan di depannya dengan jarak yang sangat dekat, sang elf dan Anko saling pandang ....
"Akh!" Anko mencoba menyapanya namun yang elf segera mundur dan menjaga jarak dari Anko sambil menyembunyikan wajahnya.
"Ano ... kau lah menologku, jadi aku ingin berterima kasih banyak padamu." Namun, perkataan Anko tak di balas oleh sang elf, dia masih menyembunyikan wajahnya dengan ekspresi gelisah.
"Ah, maaf aku masuk tanpa izin, dan tenang saja aku bukan orang jahat!" seru Anko dengan memasang senyum lembutnya.
"...." sang Elf masih ragu untuk membalas perkataan Anko.
"Aku Anko Sawaguchi, salam kenal ...." Anko akhirnya segera memperkenalkan dirinya. Bagi Anko perkenalan adalah langkah awal untuk sebuah proses pendekatan atau menjalin hubungan ....
Anko tidak segan-segan juga mengulurkan tangannya ....
Sang elf masih menyembunyikan wajahnya tetapi kini dia menoleh dengan mencuri-curi pandang melihat Anko. Akhirnya sang Elf memberanikan diri melihat Anko dengan jelas.
"Kenapa kau sangat ingin mengenalku?" tapi, sikap Anko yang tulus itu malah mendapat jawaban sinis dari sang elf.
Seketika sapaan Elf itu mendapat ekspresi senyum kaku dari Anko, dan dia langsung mengurungkan tangannya yang sudah diulurkan itu.
"Maaf," Anko segera meminta maaf dengan nada datarnya kemudian dia terdiam tanpa berkata apa pun.
Namun sang elf yang merasa kasihan ini akhirnya bertanya tentang Anko, tentang mengapa dirinya tiba-tiba menangis itu. Anko akhirnya menceritakannya dari awal perjalanannya di dunia ini hingga akhirnya menjamah ke reruntuhan kuno ini.
Sang Elf yang mendengarnya dengan seksama beserta para monster slime yang ada di dekatnya itu, akhirnya percaya kalau ras human ini adalah orang yang baik.
"Jadi, kau sebenarnya bukan berasal dari dunia ini?" tanya Elf memastikannya sekali lagi.
Anko menghela napas dengan tenangnya sambil menyilangkan tangannya, "Tentu saja bukan, sama sekali tidak dari dunia ini ... duniaku awalnya memiliki bangunan seperti kotak bertingkat namun sisinya dilapisi kaca, yah bisa kamu bayangkan bagaimana dunia itu ....
Pencahayaan di sana menggunakan listrik, sebuah benda yang mirip lampu kota.
Elf yang terkesan hanya mengangguk-angguk pelan. Sementara pencahayaan di tempat elf hanya sebuah torch.
"Umumnya seperti sebuah pusat kota." Elf akhirnya nyambung dengan cerita Anko.
"Eh, pusat kota, ya?" tapi Anko yang belum mengetahuinya belum lihat seperti apa pusat kota di dunia ini.
"Intinya di pusat kota itu sama seperti yang kamu ceritakan itu ... namun, letaknya sangat jauh dari sini."
Sambil bercerita akhirnya Anko dapat informasi, dan dalam hatinya dia berkata, "Eh, jadi tempat ini masih sangat jauh dari tempat kota ...."
"Maaf, mungkin jika rekanmu masih hidup ...."
"Ya, benar." Anko berpikir, andaikan Syifa masih hidup mungkin dia sudah bisa berkeliling ke kota.
Akankah Anko memiliki rencana untuk mengajak seorang elf berkelana?
________
To be Continued