"Kamu kenapa pakai kacamata coklat terus, Reen? Ada masalah, kah?" Dena yang menyadari Shareen terus memakai kacamata tanpa melepaskan kacamata sedikit pun langsung bertanya demikian. Ia sedikit penasaran mengenai maksud gadis cantik di hadapannya. Perasaan tidak ada yang aneh dari Shareen, tidak ada jerawat yang harus ditutupi atau tidak ada bekas jerawat yang sangat kentara sampai harus memakai kacamata coklat.
Shareen yang mendapati pertanyaan tersebut langsung kicep. Ia meremas secara perlahan gaun yang Mikael kenakan. Berusaha meminta bantuan pada gadis itu. Namun ternyata semuanya nihil, gadis itu malah bungkam seolah turut bertanya seperti Dena. Sahabat yang sialan memang.
"Emm, gapapa, Tante." Bohong, hanya itu yang dapat Shareen sampaikan. Ia tak mau ada orang lain yang mengetahui kekurangannya ini dan menjadikan salah satu bahan olok-olokan. Masih teringat jelas di benak bagaimana dulu ia dianggap aneh karena memiliki manik mata berbeda.
"Jangan bohong, Sayang. Gapapa bilang aja. Tante liat kamu gak jerawatan kok, gak ada bekas jerawat juga. Kamu gak perlu insecure dengan cara nutupin wajah kamu pakai kacamata coklat gitu dong harusnya. Kamu buka aja. Kamu cantik kok."
Mendengar apa yang dikatakan oleh Dena, Mikael langsung tersenyum riang. Ia juga ingin jika sahabatnya membuka kacamata coklat tersebut. Ia juga ingin jika sahabatnya ini memamerkan kepada seluruh dunia jika dirinya memang cantik, tak perlu meragu lagi.
"Iya, bener apa yang diomongin Tante Dena, Reen. Ayo lo buka aja kacamatanya, gak masalah kok." Bryan dan Arlan yang turut penasaran ada apa dengan Shareen pun hanya melihat gadis itu dengan tatapan pemasaran. Mereka berdua menantikan bagaimana gadis itu membuka kacamata coklatnya.
Ditatap sedemikian rupa dan seolah dipaksa membuat Shareen hanya bisa mengangguk. Ia tidak bisa menolak orang tua. Ayahnya dan ibunya selalu mengajarkan untuk hormat kepada orang tua dan sebisa mungkin menuruti apa kata beliau. Dan sekarang, pelajaran dari kedua orang tuanya itu harus diterapkan.
Secara perlahan Shareen langsung meraih gagang dari kacamatanya, ia langsung menarik gagang tersebut sampai akhirnya kacamata itu sudah tidak bertengger di batang hidungnya. Semua tatap mata langsung berdecak kagum kepada Shareen. Pandangan mereka hanya menuju ke mata berwarna biru dan hijau itu, heterochromia.
"Astaga! Pantes aja kamu gak mau buka kacamata itu. Ternyata ini yang kamu takutin. Mata kamu yang cantik? Kenapa ditutup coba, Sayang? Mata kamu cantik banget, lho! Seharusnya kamu bersyukur karena memiliki kelebihan yang gak semua orang punya. Manik mata kamu cantik, hijau sama biru. Unik banget pokoknya."
Kalimat itu sama seperti apa yang kedua orang tua Shareen katakan juga. Katanya Shareen harus lebih bersyukur karena memiliki kelebihan ini. Ya, memang seharusnya gadis itu bersyukur. Namun, kelebihan ini juga menjadi salah satu titik lemahnya. Ia juga seolah dipermainkan dengan takdir, banyak sekali orang yang merundungnya karena manik mata ini.
"Nah! Bener apa yang Tante Dena omongin. Aku juga selalu bilang gitu ke Shareen, Tan. Cuma dia katanya gak mau aja, katanya dia malu. Padahal kan dia cantik ya, Tan? Cantik banget malah, ditambah manik matanya itu."
Mikael yang memang mudah beradaptasi dan bukan tipikal orang yang pemalu langsung gas saja kalau bicara. Tak peduli jika yang diajaknya bersekutu itu adalah calon ibu mertua atau bagaimana. Jika Mikael anggap itu benar, ia pun akan menganggap benar adanya.
"Iya, kamu cantik banget, Reen. Liat manik mata kamu Tante jadi inget sama sahabat Tante yang udah meninggal. Dia cantik banget sama kamu, manik matanya juga sama persis, hijau dan biru. Sayangnya dia udah pergi dipanggil sama Tuhan beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan."
Ah, sekarang Shareen paham. Pantas saja Dena memujinya, karena ini ternyata. Memang jika kita menemukan seseorang yang mirip dengan kenangan masa lalu selalu membuat kita ingin memuji orang tersebut. Padahal bisa saja kita baru kenal dengan orang tersebut, atau bahkan belum kenal sama sekali.
Shareen juga dapat merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh sahabat yang memiliki keunikan tersendiri, pasti ada luka yang mendalam. Ada kesedihan yang selalu membuat kita terjatuh begitu dalam.
"Makasih, Tante. Lain kali Shareen coba supaya gak malu ya, soalnya Shareen ngerasa aneh aja kalau tiba-tiba semua orang natap Shareen, gak enak aja rasanya. Tante juga sabar ya, sahabat Tante pasti udah bahagia dia alam sana." Dena mengangguk dengan mata yang sedikit terisak. Ia juga yakin jika sahabatnya memang sudah tenang di alam sana.
"Yuk lanjutin makannya."
***
Pukul setengah satu dini hari, Shareen dan Mikael baru sampai di apartemen gadis dengan kelebihan heterochromia. Apartemen yang berada di lantai enam belas itu membuat mereka harus memasuki lift dan menunggu lift naik sampai ke lantai atas.
Kedua wanita cantik dengan mata yang merem melek memang baru saja selesai makan malam. Mereka sebenarnya sudah sangat mengantuk, namun tidak enak saat berpamitan terlebih dahulu. Keluarga Bryan memang kelelawar, bisa-bisanya mereka mengajak Shareen dan Mikael mengobrol sampai sepagi ini.
"Ini liftnya udah sampai mana sih?" tanya Shareen dengan mata yang menatap ke atas pintu lift, pandangan kabur karena mata yang sudah berdenyut membuatnya kesulitan melihat angka yang tertera.
"Tiga belas, bentar lagi selesai," balas Mikael sembari memotong cokelat batangan dengan tangan. Melahapnya sampai kantuknya itu benar-benar hilang.
Mikael memang salah satu pecinta cokelat garis keras. Jika diminta memilih antara cokelat batangan dan sebungkus nasi goreng, ia pasti akan dengan lantang memilih cokelat batangan. Menurut gadis itu cokelat batangan dapat membuat moodnya meningkat. Cokelat batangan juga dapat membuat kantuknya menghilang. Aneh, kan? Di saat yang lain meminum kopi, ia malah memotong dan melahap cokelat batangan.
"Masih sama aja lo kalau ngantuk makan cokelat batangan," cibir Shareen sambil keluar dari lift saat pintu lift terbuka. Berjalan menuju kamarnya yang ada di tengah-tengah lantai ini, agaknya sedikit jauh dari lift, lalu merebahkan diri di sofa.
Shareen itu tidak terbiasa begadang. Menurutnya jam paling malam untuk tidur adalah jam sepuluh, namun dengan gilanya keluarga Bryan malah mengajaknya mengobrol sampai setengah satu dini hari.
"Gue tidur di apartemen lo ya, Reen? Mau bikin vanilla latte gak? Kayaknya lo ngantuk banget." Mikael meminta izin sekaligus menawarkan kepada sahabatnya. Ia melihat Shareen yang sudah nampak mengantuk sekali.
"Gak usah bilang kali. Lo bebas kalau mau tidur di sini. Gak lah, gila kali lo gue minum vanilla latte dini hari kayak gini? Yang ada gue malah gak bisa tidur. Gue ngantuk banget, lagian keluarganya Bryan ngajak ngobrol sampai dini hari gini, apa gak capek ya?" sahut Shareen dengan mata yang terpejam.
Agaknya gadis itu melupakan kacamata coklat, mungkin jatuh di tengah jalan atau di lobby apartemen karena sangat mengantuk. Gadis itu juga membiarkan gaun tetap melekat di tubuhnya dan make-up yang masih sempurna di wajahnya. Intinya sekarang ia butuh istirahat.