Sebuah suara tembakan membuat Rick memejamkan matanya sambil tersenyum. Bahagia rasanya saat ini dirinya kembali diselamatkan oleh orang yang menyayanginya. Mengapa begitu? Ya, suara tembakan bukan berasal dari pistol yang ada di mulutnya. Melainkan berasal dari belakang tubuhnya yang mengenai Alfred. Dan ia tahu pasti itu adalah Bosnya. Karena hanya Rose yang dapat menembak secara akurat walau posisinya saat ini tidak memungkinkan untuk seseorang menembak Alfred.
"Arrghh!" pekik Alfred kesakitan yang tertembak tepat di dekat bahunya.
Suara tembakan berulang terdengar kembali dari arah yang sama seakan memekakkan telinga orang-orang yang tidak biasa mendengarnya.
Satu, dua, empat, tujuh kepala tertembak dengan brutalnya oleh Rose hanya dengan berdiri tegak di tempatnya dengan dua pistol di kedua tangannya. Dan sisanya diselesaikan ketiga anak buah Lion yang mengikuti Rose dari belakang.
Tersisa Alfred yang tengah meringkuk kesakitan menahan peluru yang bersarang di pangkal lengannya.
"Tanganmu yang membunuh anak buahku?!" bentak Rose pada Alfred sembari melepaskan satu tembakan ke pangkal lengan satunya. Hingga kini kedua sisi pangkal lengan Alfred berlumuran darah tidak berdaya tertembus peluru Rose.
"Kakimu yang menyiksa orang-orang kesayanganku?!" sekali lagi bentakan Rose diiringi dengan dua letusan senjatanya di kedua betis Alfred. Membuat lelaki hampir tua tersebut meraung dengan hebat.
Tidak ada lagi tawa yang menggema di tengah luasnya samudra lepas. Yang terdengar hanya raungan seorang lelaki setengah tua yang hampir mati merasakan siksaan kejutan dari Rose.
Rose puas melihat bajingan itu terkapar setengah mati. Rose ingin membuat lelaki itu menyembahnya untuk meminta kematian dari pada harus merasakan kesakitan seperti itu.
"Semoga di kehidupanmu mendatang, kau tidak ditakdirkan menjadi hewan menjijikkan karena balasan dari kehidupanmu yang sekarang. Matilah kau dalam penderitaan!" ucapan terakhir Rose untuk Alfred yang tengah terlihat menjemput ajal dengan kesakitan yang menyiksa.
Mayang meninggalkannya dan bergegas membopong Rick untuk berdiri.
"Rick, are you okay?" tanya Rose pada Rick. Bukannya menjawab, Rick malah menangis sambil memeluk Rose dengan raungan.
"Thank you, because the Boss is safe and fine. I think Boss was killed when the helicopter exploded in midair," ucap Rick menangis sambil memeluk erat Rose dengan haru.
(Terima kasih, karena Bos selamat dan baik-baik saja. Aku pikir Bos terbunuh saat helikopter itu meledak di udara.) ucap syukur Rick yang sangat terharu.
"You underestimate me too much. Never mind, don't cry anymore. Let's go home now!"
(Kau terlalu meremehkanku. Lupakan, jangan menangis lagi. Ayo kita pulang sekarang!) jawab Rose yang mengoloknya sambil tertawa.
"Yes, Boss!" jawab Rick sambil mengusap air matanya yang menggenang. Namun, saat ia mendongak dan melihat Alfred dengan kesusahan tengah mengarahkan pucuk senjata api ke arah punggung Mayang yang membelakanginya.
"Boss watch out!" (Bos awas!) teriak Rick pada Rose dan dengan segera menukar posisi mereka, hingga akhirnya tubuh Rick yang menerima tembakan menggantikan Rose.
"Ughh," ujar Rick saat peluru Alfred menyasar punggungnya. Dia limbung dan dengan refleks Rose menangkapnya.
"Rick?!" teriak Rose kaget dan tidak percaya kalau Rick tengah menjadikan dirinya sebagai tameng.
Rose yang berang, langsung mengarahkan ujung pistol miliknya tepat terarah ke dahi Alfred, "Arrrgghh!" teriak Rose marah hingga tidak terkendali. Menembaki kepala Alfred membabi buta. Hingga kepala Alfred, sang pemimpin Eagle Murpy, tidak lagi utuh berbentuk.
Sampai pistol miliknya tidak bisa lagi menembakkan pelurunya, barulah Rose menurunkan tangannya. Air mata Rose keluar dengan derasnya ketika tubuh mungilnya tidak dapat menahan keseimbangan untuk memapah tubuh kekar Rick yang tidak berdaya.
"Rick! Rick, wake up! Open your eyes! Look at me, Rick!"
(Rick bangun! Buka matamu! Lihat aku, Rick!) teriak Rose membangun Rick yang matanya terlihat sayu hendak terpejam.
"Don't cry for me, Boss! Boss's voice made me deaf,"
(Jangan menangisiku terus, Bos! Suara Bos membuatku tuli.) jawab Rick pelan dan tercekat. Namun, senyumnya masih terukir walau dari bibirnya itu mengeluarkan banyak darah.
Masih sempat ia tersenyum pada Rose yang amat hancur melihatnya seperti itu. Sebelum kalimat terakhir ia loloskan dengan susah payah.
"Thank you for taking care of me until now. Goodbye… Boss,"
(Terima kasih telah menjagaku sampai sekarang. Selamat tinggal… Bos!) kalimat terakhir yang diucapkan Rick bersamaan dengan tubuhnya yang tadi meregang kini tidak lagi menunjukkan pergerakan, saat nafas terakhirnya terhembus hilang dari raganya.
"Rick!?" Rose semakin menangis hebat sambil memeluk tubuh Rick di pangkuannya. Suara tangisan Rose terdengar di sela suara ombak samudra dan terpaan angin malam di lautan.
Mark dan Ben hanya bisa menangis sesenggukan tanpa berdaya. Air mata kesedihan atas kehilangan sahabat sejati mereka. Hari panjang ini ditutup dengan pengorbanan Rick, menyelamatkan Rose dari kematian.
***
Pagi yang mendung menyelimuti Ibu kota. Trian baru saja pulang ke mansion megah milik kakaknya. Baru saja ia masuk ke dalam ruang tamu, matanya langsung disuguhkan dengan pemandangan langka yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dua lelaki berbeda usia duduk di sofa besar yang empuk, bisa dibilang lebih cocok untuk tidur daripada dipakai untuk duduk. Tapi memang begitulah fungsinya, sebagai tempat bersantai anak emas sambil menonton televisi.
Trian berdiri perlahan di hadapan keduanya yang ternyata sedang melamun tanpa arah tujuan. Sambil memeluk bantal persegi yang berbalut kain berwarna senada dengan sofa tadi.
"Kakak, kenapa kau masih berpakaian santai seperti ini? Apa kau tidak berangkat ke kantor?" tanya Trian pada Bian yang tetap diam seakan malas menjawab, "Ziel, berikan pelukan untuk Paman kecil, Paman merindukanmu, Ziel!" sapaan Trian beralih ke anak emas yang ternyata menunjukan ekspresi yang sama untuknya. Pertanyaan Trian seakan kentut tanpa bau yang bersuara tapi tidak dihiraukan karena tidak berbau. Kasihan!
"Baiklah, aku akan menutup mulutku saja sambil menonton tv. Kalian berdua benar-benar keterlaluan. Aku tidak pulang selama dua hari, tapi kalian tidak kehilangan aku sedikitpun, cih! Menyebalkan. Ayah dan anak sama saja!" Trian terus saja mengomel sambil mengarahkan remote kontrol ke arah layar tv.
"Tadi malam, kami mendapatkan kabar mengenai meledaknya sebuah helicopter di perairan teluk Thailand. Yang tanpa diduga, kejadian tersebut terjadi di dekat penemuan ratusan orang tewas mengenaskan dengan luka tembak di setiap jenazah di atas kapal tangki pengangkut minyak mentah yang akan menuju ke Bangkok," berita yang dibawakan reporter berita di tv menarik pandangan Bian.
"Tidak ada satu orangpun yang selamat di kapal tangki tersebut. Seluruh jenazah mengalami luka tembak yang rata-rata mengenai kepala korban. Kuat dugaan, insiden pembunuhan besar-besaran tersebut terjadi akibat perang antara mafia yang disinyalir sering terjadi di antar negara."
"Berita yang lebih mengejutkan adalah ditemukannya puluhan gadis di bawah umur di kapal pengangkut tepat di sebelah kapal berdarah tadi ditemukan. Beruntung, dari keterangan yang didapat dari para gadis yang hampir menjadi korban perdagangan wanita antar negara ini, mereka disekap oleh sekelompok mafia yang mereka tahu pemimpinnya dipanggil dengan sebutan Alfred."
"Dan saat mereka dimintai keterangan tentang insiden yang terjadi di kapal tangki berdarah tersebut, tidak ada yang tahu jelas apa yang terjadi, karena mereka ada di dalam kapal. Hanya suara letusan tembakan yang terdengar ratusan kali bahkan lebih. Serta suara ledakan keras di atas langit, itu saja."
"Untuk itu pihak berwajib dan aparat pemerintahan masih menyelidiki akar insiden tersebut bersama pihak-pihak terkait. Sekian berita penting hari ini, selamat pagi!"
Kedua Kakak-beradik tersebut terdiam mendengarkan pembawa acara yang melaporkan berita. Mata mereka terpaku melihat keadaan mencekam dan mengerikan yang terekam dan ditampilkan pada layar televisi.
Bian refleks menutup mata anaknya untuk tidak ikut memperhatikan kengerian yang tengah ditampilkan di layar kaca.
"Trian, matikan!" ucap Bian segera yang langsung saja dituruti oleh adiknya.
"Ziel masuk ke kamar atau bermainlah di taman! Daddy ingin bicara dengan Paman kecil di sini," ucap Bian lembut yang langsung dituruti anak emas dengan patuh.
"Kak, apa kapal itu bukan pengiriman yang baru saja dipesan oleh anak perusahaan kita di Bangkok?" pertanyaan langsung ditodongkan Trian pada sang kakak.
"Aku rasa iya, tapi jika memang benar insiden itu berhubungan dengan perusahaan kita, lalu apa yang mereka lakukan? Sampai pagi ini aku belum mendapatkan kabar apapun?" jawab Bian ragu, "yang aku bingungkan, kenapa insiden mengerikan itu bisa terjadi? Kita tidak pernah berhubungan dengan mafia sudah sangat lama!" sambung Bian lagi.