"Apa begitu sapaan untuk orang yang saling kenal?" ucap lelaki tersebut, "bagaimana dengan kakimu? Apa sakit?" tanyanya lagi.
"Tuan Bian, untuk apa kau ke sini? Oh, terima kasih! Hampir saja aku lupa," Mayang menanggapi, dan setelah itu dirinya kembali mengingat sesuatu, "tunggu-tunggu! Apa Tuan ke sini sebagai investor lokal yang akan bertemu denganku hari ini?" tanya Mayang, tepatnya memastikan.
"Wanita pintar!" jawab Bian singkat sambil tersenyum.
"Oh, Tuhan… kenapa dia lagi, dia lagi? Apa maksudnya semua ini? Aku bingung untuk bersikap di hadapannya!" jerit Mayang dalam hatinya.
"Ehem, okay, baiklah. Silahkan masuk Tuan Bian, mari kita membahasnya di dalam!" ucap Mayang yang kembali menenangkan sikapnya di depan Bian, sembari mengajaknya masuk ke dalam kantor.
Ditemani seorang lelaki yang sepertinya adalah asistennya, Bian duduk dengan tenang, sementara asistennya yang bernama Guntur itu, tengah menjelaskan maksud kedatangan mereka ke perusahaan keluarga Mayang.
"Maaf kalau Nona Mayang kaget dengan kedatangan kami yang tiba-tiba. Tapi sepertinya saya sudah mengikuti prosedur untuk membuat janji pertemuan terlebih dahulu dengan Manager Luna tadi malam. Jadi saya rasa ada sedikit komunikasi yang kurang lancar saja." ucap Guntur pada Mayang.
"Tidak apa-apa Pak Guntur. Sepertinya kesalahan ada pada pihak kami. Kami mohon maaf atas ketidak sopanan saya. Jadi, mari kita mulai saja pembahasan hari ini." Jawab Mayang dengan sopan dan terlihat sangat professional dalam penyampaian.
Mayang menerangkan dan memperkenalkan keunggulan yang bisa dihasilkan dari kayu pilihan perusahaan mereka. Tentang kualitas bahan dasar, mutu yang terjamin bagus, dan sebagainya.
Guntur sebagai asisten sekaligus sekretaris Bian juga sangat cakap menanggapi penyampaian Mayang dalam negosiasi tersebut.
Sementara, Bian juga sibuk mengedarkan tatapan matanya memandang keanggunan Mayang dalam balutan jas kerja wanita kantoran, yang semakin menambah kesan professional dan smart woman pada dirinya. Dan itulah yang membuat Bian enggan melepaskan pandangannya dari Mayang.
Hingga beberapa waktu kemudian, satu pertanyaan muncul dari Guntur untuk Ceo-nya itu, "Tuan, Nona Mayang membuka harga yang menurut mereka sesuai dengan kualitas bahan dasar yang mereka tawarkan, apa Tuan ingin menyetujuinya atau saya akan berdiskusi lagi dengan Nona Mayang mengenai harga?" Guntur bertanya.
"Kalau dia minta semua hartaku juga berikan saja asal dia mau jadi istriku," jawab Bian dengan tenang, namun tidak sadar dengan apa yang ditanyakan Guntur padanya.
"Dia mulai lagi!" gerutu Mayang dalam hati, sambil menepuk dahinya sendiri. Kemudian Mayang berdehem bermaksud membuyarkan tatapan mata tajam Bian yang sangat tidak nyaman ia rasakan.
"Ehem, maaf Tuan Biantara, sepertinya anda salah mendengar sekretaris anda bicara. Tadi sekretaris anda bilang soal penawaran harga bahan dasar yang kami usulkan. Dan bukan hal lainnya," tegas Mayang, "lagi pula siapa yang akan membahas pernikahan di pertemuan kerja seperti ini?" tanya Mayang lagi.
"Aku," jawab Bian singkat.
"Haisshh! Aku sudah tidak tahan lagi kali ini," rutuknya dalam hati sebelum ia mengeluarkan unek-uneknya, "Maaf Pak Guntur, perusahaan kami hanya menjual dan menyediakan kayu berkualitas tinggi, dan bukan yang lain. Tapi sepertinya, Bos anda tidak membutuhkan kayu jenis apapun melainkan wanita. Sudah jelas dia kesepian, dan segeralah carikan jodohnya, kalau tidak ketidakwarasannya akan menjalar kemana-mana!" ucap Mayang geram.
Bian menanggapi omelan Mayang dengan senyuman kemudian mulutnya kembali mengeluarkan kalimat rayuan, "Aku memang tidak mencari kayu, yang kucari adalah kamu." jelasnya dengan santai.
"Apa?" Mayang dan Guntur bertanya serentak karena kaget.
"Maaf Tuan Bian yang terhormat. Aku sedang tidak bisa main-main kali ini. Jadwalku padat, walau tidak sepadat waktu Tuan Bian yang berharga. Jadi, aku mohon kita akhiri pertemuan ini dan pergi melanjutkan aktifitas kita masing-masing. Saya kira itu lebih baik daripada melanjutkan obrolan omong kosong barusan." Mayang berucap panjang lebar, dengan kata lain, ucapan Mayang barusan bermakna mengusir Bian dari sana.
Saat akan kembali mengoceh, ponsel Mayang terdengar berdering. Dan nama yang muncul adalah 'Sutradara Toni' di layar ponselnya tersebut.
"Ya halo, Pak Sutradara? Di sini Mayang, bisa saya bantu?" tanya Mayang sopan.
"Mayang, apa kamu lupa menghadiri shooting pertama kita? Lihat ini sudah pukul berapa? Bahkan Dewina dan Nathael sudah tiba dari tadi. Cepatlah Mayang, jangan buat semua orang menunggu. Pekerjaanku dipertaruhkan di sini!" Sutradara Toni berucap sedikit memohon agar Mayang segera tiba di lokasi syuting untuk segera mengambil adegan.
"Baik Pak, saya segera meluncur ke sana!" jawab Mayang sebelum sambungannya terputus.
"Apa yang harus kulakukan? Sementara si otak mesum ini masih di sini, haaah! Kepalaku lama-lama bisa pecah kalau seperti ini terus. Auranya membuatku kalah," gerutunya dalam hati, "hmm, tapi baiklah, akan aku coba membujuknya."
"Aku tidak akan angkat kaki kalau kau masih mengabaikanku," celetuk Bian tanpa rasa bersalah.
"Mm-maksudmu apa? Aku tidak mengabaikan dirimu dari tadi. Aku hanya tidak suka dengan caramu memanfaatkan keadaan. Bagaimana mungkin ceo besar sepertimu selalu menggangguku?" Mayang sudah tidak bisa menahan kekesalannya, "aku mohon Tuan Bian, kita akhiri pertemuan hari ini. Aku akan katakan pada direktur perusahaan kalau kualitas kayu kami yang tidak sesuai standart dari Tuan Bian." Mayang membujuknya.
"Guntur, kau keluar!" perintah Bian pada sekretarisnya. Ia terlihat tidak senang dengan yang barusan Mayang katakan.
"Saya menunggu di luar, Tuan!" jawab Guntur. Setelah Guntur keluar dari ruangan pertemuan itu, Bian melangkah mendekati Mayang. Memegangi kursi tempat Mayang duduk, hingga Mayang terkunci dengan kedua tangannya. Dan lagi, Mayang harus menahan godaan tatapan liar Bian yang hanya beberapa centi saja dari wajahnya.
"Mm-mau apa kau? Ah, maksudku apa yang Tuan ingin lakukan?" tanya Mayang yang sudah salah tingkah dibuatnya.
"Tidak ada yang akan kulakukan. Aku hanya memastikan sorot mata yang kulihat kemarin berasal dari mata yang sama." Satu kalimat Bian berhasil membuat Mayang membatu.
"Tamatlah riwayatmu Mayang, kedokku terbongkar!" rutuknya dalam hati. Tanpa mengedipkan mata dari pandangan Bian yang tajam.
"Setelah kuperhatikan sekarang, ternyata mata itu sama indahnya. Dan tunggu sebentar, aku juga ingin memastikan satu hal lagi!" ucapnya lembut di telinga Mayang setelah wajahnya ia geserkan ke samping. Lalu ia mengendus leher Mayang dengan deruan nafas yang terhembus menggebu.
Sementara Mayang yang mendapat perlakuan seperti ini, tidak bisa tahan untuk tidak menikmati nafas Bian yang membuat sensasi menggelitik di lehernya. Dan tentu saja, bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya meremang, hingga membuatnya menutup mata merasakannya.
Mayang tidak sadar, kalau ekspresi wajahnya yang menikmati serangan kecil Bian telah menjadi pemandangan indah untuk Bian sendiri. Dengan senyum seksi yang melengkung di bibir, Bian yakin kalau Mayang menikmati perlakuan kecilnya, walau ia tidak menyentuhnya sekalipun.
"Apa kamu puas hanya dengan hembusan nafasku saja?" tanya Bian lembut dengan suaranya yang berat di telinga Mayang. Dengan mata yang masih terpejam dalam khayalan, tanpa sadar Mayang menggelengkan kepalanya sedikit. Bian tersenyum senang.
"Apa kamu ingin aku menyentuhmu di manapun kamu suka?" tanyanya kembali, dan kali ini Mayang mengangguk pelan, "Aku mendapatkanmu sayang!" ucapnya dalam hati, merasakan keberhasilannya karena dapat membuat Mayang terlena sesaat.
"Kalau begitu biarkan aku menyentuhmu sebanyak kamu mau, Sayang. Menikahlah denganku dan biarkan aku memilikimu!" ucapan lembutnya yang terdengar menjauh kali ini langsung membuka mata Mayang lebar-lebar.
"Apa?!" Mayang membuka matanya kaget. Ia mendengus kesal pada Bian yang sudah berdiri santai dengan kedua tangan yang dimasukkan di saku celananya dan tak lupa memasang senyum kemenangan.
"Apa? Apa yang aku lakukan? Aku hanya mengajakmu menikah dan kamu bilang iya, itu saja," jawab Bian tanpa rasa bersalah, "jadi kapan kita akan melangsungkannya? Karena aku tidak bisa menahan tubuhku lebih lama lagi," sambungnya berucap menggoda.
"Dasar sinting! Kapan aku mengatakan itu? Maaf Tuan Bian, kali ini aku tidak mau repot-repot menghormati kemesumanmu. Aku akan pergi sekarang. Terserah kamu mau pergi atau tinggal, aku tidak peduli!" ucap Mayang dengan meninggikan suaranya karena marah. Berlalu meninggalkan Bian yang terus saja tersenyum seperti orang gila di mata Mayang.
"Uuhh! Pedas sekali. Dan aku suka itu!" ucapnya sendiri dengan kesenangan.