Mendengar pernyataan dari Raka membuat Rayvin terkejut bukan main. Remaja tampan itu memicingkan matanya tajam menatap Raka mengintimidasi.
"Tiba-tiba?" Tanya nya.
"Kenapa? Bukannya yang baru kenal sama Vania itu lo? Seharusnya yang tiba-tiba suka sama dia itu lo, kan? Bukan gue?" Sahut Raka tersenyum miring.
"Wuah... Percaya diri banget lo bilang kayak gini ke gue? Apa nggak salah dengan pernyataan lo ini?" Cebik Rayvin dengan sinis.
"Maksud lo?"
Raka menaikkan sebelah alisnya heran. Ia masih berusaha untuk mencerna apa yang di maksud oleh Rayvin.
"Lo kenal sama Vania udah lama kan? Tapi, kenapa baru sekarang lo bilang suka sama dia? Bahkan setelah gue bilang kau gue juga ada rasa sama dia," jelas Rayvin.
Raka ber-sendekap santai dan memandang Rayvin sejenak.
"Terus? Dimana letak permasalahannya?" Tanya Raka yang sebenarnya masih tidak paham.
"Pikir pake logika. Lo suka sama Vania karena pelarian doang kan? Lo suka sama dia tepat saat lo udah di putusin sama Arin. Dan lo masih nggak ngerti juga letak permasalahannya dimana? Emang pantes lo jadi temennya Rizki." Omel Rayvin panjang lebar dan berlalu begitu saja.
Raka memandang punggung Rayvin yang semakin menjauh itu dengan kesal.
"Gimana bisa dia bilang kalau gue jadiin Vania sebagai pelarian? Gue udah nggak ada rasa sama Arin. Apa salah kalau gue move on?" Gumam Raka kebingungan.
***
Sementara itu, di kelas Arin diam termenung sambil meremas-remas buku pelajarannya dengan ekspresi wajah yang di tekuk. Elsa yang melihat itu di buat kebingungan karena sikap Arin yang berbeda hari ini.
"Lo kenapa sih? Muka lo asem banget. Ada masalah sama Marvel?" Tanya Elsa mengawali pembicaraan.
Arin pun melengos melihat Elsa dan memicingkan matanya tajam.
"Gue putus sama dia," ucap Arin malas.
"Loh, kok bisa? Mendadak banget? Berantem lagi?" Tukas Elsa bertubi-tubi.
"Bukan berantem lagi, tapi perang!" Ketus Arin sambil menutup buku pelajarannya dengan kasar dan menghempaskan nya begitu saja.
Elsa bergidik ngeri melihat Arin yang terlihat benar-benar marah. Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
"K-kenapa sih? Emangnya ada masalah apa?" Tanya Elsa hati-hati.
Sebenarnya gadis itu takut untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada Arin. Namun, rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya sendiri.
Arin mendengus pelan dan menyenderkan kepalanya di atas meja nya.
"Gue baru tau kalau dia manfaat in gue selama ini," jawab Arin semakin malas.
Elsa mendekatkan wajahnya menatap Arin intens.
"Maksudnya gimana?" Tanya Elsa tak paham.
"Ya harusnya gue tau kalau Marvel itu benci banget kan sama Raka? Tapi, gue malah kena hasutan dia. Kesel banget deh gue pokoknya," gerutu Arin sebal.
Elsa mengangguk-angguk kan kepalanya paham.
"Lo nya aja yang bego!" Ketus Elsa.
Sontak Arin langsung bangun dari rebahan nya dan melotot sempurna karena tidak terima di beri umpatan oleh Elsa.
"Apa lo bilang?" Geram Arin tak suka.
Elsa langsung mendelik takut karena di tatap tajam seperti itu oleh Arin.
"Y-ya kan kenyataannya begitu. Kalau lo pinter harusnya lo nggak akan mudah percaya sama Marvel gitu aja kan?" Sahut Elsa mencoba menjelaskan apa maksud dari perkataan nya tadi.
Arin pun menurunkan pandangannya. Di sini ia sadar kalau yang bersalah adalah dirinya.
"Lagipula gue kan dulu udah bilang, awas nyesel mutusin Raka. Bandel sih lo," sambung Elsa sambil mendorong kepala Arin menggunakan telunjuknya karena terlanjur sebal.
Sementara Arin pasrah-pasrah saja dengan apa yang dilakukan oleh Elsa. Yang tidak ia terima adalah Raka menolak nya begitu saja tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Arin kembali menyenderkan kepalanya di atas meja dan siswi itu semakin tak bersemangat.
"Udahlah, banyak kok yang suka sama lo. Gak usah sok menderita kayak gini deh. Gak cocok sama vibe lo yang songong," tutur Elsa yang mulai jengah melihat tingkah Arin.
"Nggak semudah itu," gumam Arin.
"Kenapa gitu?" Sahut Elsa tak mengerti.
"Lo kan tau sendiri kalau perseteruan antara gue sama Raka kayak gimana? Pasti anak-anak bakalan nge-tawain gue kalau mereka tau gue cuma di buat mainan sama Marvel," jelas Arin sambil membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya di atas meja.
Mendengar penjelasan Arin membuat Elsa terkekeh sendiri.
"Duh, emang bener ya dimana-mana penyesalan itu datangnya belakangan," ucap Elsa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Diem deh. Bikin gue tambah pusing aja lo," ketus Arin.
Elsa pun mengabaikan Arin dan segera menyiapkan buku pelajaran yang akan segera di ajarkan di jam pertama.
***
Raka masuk kedalam kelas dan langsung duduk manis di bangkunya. Remaja tampan itu tersenyum melihat Vania yang sedang sibuk membaca buku pelajarannya dengan tenang.
"Lo udah baikan?" Tanya Raka sambil menyenggol lengan Vania.
Vania pun mengalihkan perhatian nya pada Raka. Gadis itu tersenyum tipis dan mengangguk kecil.
"Baca apa? Emangnya hari ini ada ujian?" Tanya Raka lagi.
"Enggak ada. Cuma iseng aja," jawab Vania apa adanya.
"Ck, iseng kok baca buku," cebik Raka.
"Terus ngapain kalau nggak baca buku?" Sahut Vania sambil menaikkan kedua alisnya penasaran.
"Mau tau?" Tanya Raka sambil tersenyum miring.
Vania hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Lihat ini ya..." Pinta Raka.
Remaja itu merobek buku nya yang masih kosong dan meremas-remas nya hingga lecek dan berbentuk bulat.
Vania masih diam dan memperhatikan nya dengan serius.
Wuungg.... Bughhh....
Bulatan kertas itu mendarat tepat di kepala Rizki.
"Sialan... Siapa yang lemparin gue?!" Teriak Rizki.
"Gue. Kenapa? Nggak terima?" Sahut Raka tegas.
"Resek banget sih lo. Kurang kerjaan ya?" Gerutu Rizki kesal dan melempar kembali bulatan kertas itu pada Raka.
Namun meleset.
"Eits... Nggak kena," ejek Raka yang membuat Rizki semakin kesal.
"Mending lo kerjain tugas gue. Dikit lagi nih," ucap Rizki sambil menunjukkan buku tugasnya.
"Ogah. Kerjain sendiri," ejek Raka.
"Heh, jangan gitu. Kasian tau si Rizki," ucap Vania menengahi.
Gadis itu pun berdiri dan berjalan menghampiri bangku Rizki. Kemudian tersenyum dan meraih buku tugas milik siswa bertubuh cungkring itu.
"Sini, biar aku yang ngerjain..." Ucap Vania sambil membawa buku milik Rizki ke bangku nya lagi.
Melihat hal itu membuat Rizki senang bukan main. Ini adalah hal paling mengesankan selama hampir 2 tahun sekolah di SMA itu.
Siswa cungkring itu pun melihat Raka yang sedang menatapnya kesal. Kemudian menaik-turunkan kedua alisnya seakan mengejek Raka.
"Awas ya, lo!" Geram Raka.
"Ahay, satu kosong!" Ejek Rizki menjulurkan lidahnya mengejek Raka.
Sedangkan Raka menghela nafas berat dan kembali memperhatikan Vania yang berkutik pada buku milik Rizki.
Sesaat kemudian ia tersenyum tipis menyadari bahwa Vania lebih cantik jika di lihat dari dekat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Ini serius? Apa lo beneran jatuh cinta sama temen lo sendiri?" Batin Raka dan kemudian tersenyum tanpa sadar.
***