Kriiingg....
Bel sekolah berbunyi nyaring tanda bahwa kegiatan belajar mengajar hari ini telah usai. Seluruh kelas yang ada di SMA Harapan Bangsa itu menjadi riuh dan satu per satu para murid keluar berhamburan dari kelas mereka masing-masing. Termasuk kelas Arin dan Elsa.
Kedua siswi itu keluar dari kelas mereka sambil tertawa kecil karena perbincangan ringan mereka berdua, namun tiba-tiba tangan Arin di tarik kasar oleh seorang siswa yang tak lain adalah Raka.
Raka menarik Arin untuk pergi menjauh dari keramaian dan juga meninggalkan Elsa yang masih linglung di depan kelas nya.
Sebenarnya Elsa ingin mengikuti Raka dan Arin, namun ia mengurungkan niatnya karena malas ikut campur masalah rumit yang di hadapi oleh Arin. Jadi, Elsa memutuskan untuk pergi pulang lebih dahulu tanpa memikirkan apa yang akan di lakukan Raka pada Arin.
Sementara Rayvin menghimpit tubuh Arin pada dinding samping gudang yang sepi.
"Apa apaan sih lo? Gila, ya? Lepasin gue!" bentak Arin dan berusaha untuk menghindari Rayvin.
"Gak semudah itu. Lo... Harus dengerin apa yang mau gue omongin sama lo!" ucap Rayvin dengan tegas dan penuh penekanan.
"Sialan ya lo. Mau apa sih? Mau bahas soal Vania lagi? Gue gak mood buat berantem sama lo gara gara cewek sialan itu!" sarkas Arin bertubi-tubi.
Rayvin pun tersenyum remeh mendengar ocehan tak ber faedah dari Arin. Remaja tampan itu pun ber-sendekap sambil memandang Arin dengan tatapan yang aneh.
Hal ini tentu saja membuat Arin sedikit risih dan tak suka ketika Rayvin menatap nya seperti itu.
"Gausah lihatin gue begitu. Nyebelin banget sih jadi orang!" sarkas Arin kesal.
"Lo serius?" tanya Rayvin dengan sinis.
"Serius apaan? Kalau nanya yang jelas," ketus Arin.
Sungguh, Arin benar benar di buat kesal oleh Rayvin karena membuatnya berpikir dengan pertanyaan Rayvin yang menggantung itu.
"Serius lo masih suka sama Raka?" kini Rayvin bertanya dengan jelas.
Arin memutar kedua bola matanya malas, "iya lah, emang kenapa gue bela belain berantem sama Vania kalau bukan karena gue masih suka sama Raka? Gila apa," jawab nya kemudian.
Siswi cantik itu ber-sendekap santai, kemudian menatap Rayvin dengan intens.
"Emang nya kenapa? Lo mau paksa gue buat berhenti gangguin Vania lagi? Jangan mimpi ya!" sambung Arin tegas.
"Enggak, gue cuma kasian aja sama lo karena Raka udah lupain lo dan udah bener bener gak mau deket sama lo lagi," sahut Rayvin santai.
"Terus, apa kabar sama lo? Lo sendiri juga sama kan? Suka sama Vania, tapi kenyataan nya si cewek sialan itu nggak suka sama lo,"
Rayvin menaikkan sebelah alisnya, "nggak masalah bagi gue, seenggaknya gue gak maksa dia buat suka sama gue,"
"Jadi, intinya sekarang lo mau bilang kalau gue egois karena gue maksa buat balikan sama Raka? Keterlaluan banget sih lo!" geram Arin.
"Padahal gue nggak bilang kayak gitu," sahut Rayvin sambil tersenyum miring penuh kemenangan.
"Sialan ya lo. Lo lihat aja nanti, kalau lo ngerasain yang namanya sakit hati, lo juga pasti bakalan tau gimana rasanya berperang sama perasaan yang ada di dalam diri lo sendiri," omel Arin.
Siswi itu memicingkan mata nya tajam menatap Rayvin. "Kalau suatu saat lo patah hati, gue bakalan jadi orang pertama yang nge-tawain lo sekencang kencangnya!" sambungnya penuh penekanan.
"Ck, gue nggak selemah itu," cebik Rayvin.
"Oh, ya? Kita lihat aja nanti!" pungkas Arin dan segera berlalu meninggalkan Rayvin sendirian.
Rayvin memandang punggung Arin yang perlahan semakin menjauh. Remaja laki laki itu masih terdiam di tempat nya dan merenung sesaat.
Yang di katakan oleh Arin memang ada benar nya, memang sampai kapan Rayvin akan terus mengejar Vania yang sama sekali tidak memiliki perasaan padanya? Kali ini sepertinya Rayvin benar benar harus mendekati Vania lebih serius sebelum semuanya terlambat.
"Apapun hasilnya nanti, setidaknya aku harus berani mencoba!" ucap Rayvin dengan mantap.
Remaja tampan itu pun segera berlalu dari depan gudang kosong dan pergi menuju parkiran sekolah. Dengan wajah datar Rayvin berjalan menyusuri koridor sekolah. Seperti biasanya sepanjang perjalanan dia selalu menjadi pusat perhatian oleh beberapa siswi yang masih ada di sekolah saat itu.
Tanpa menoleh kanan kiri, Rayvin terus berjalan sambil sesekali membenarkan tas sekolah yang ia bawa di pundak kiri nya. Ya, benar benar menambah kesan cool bagi seorang Rayvin Katuari.
Hingga beberapa langkah kemudian, sepasang mata Rayvin menangkap sosok siswi yang tak asing baginya. Tidak lain dan tidak bukan, dia adalah Vania yang sedang berdiri di depan kelasnya, Sendirian.
Tanpa berpikir panjang, Rayvin pun segera menghampiri Vania. Berniat untuk bertanya atau bisa lebih berharap untuk mengajak Vania pulang bersama.
"Kamu belom pulang?"
Pertanyaan dari Rayvin membuat Vania mengalihkan perhatian nya dari ponsel yang sedari tadi ia mainkan.
"Eh, Kak Rayvin..." sahut Vania sambil tersenyum ramah.
"Masih nunggu siapa? Nunggu jemputan atau ada janji sama Dara dan Vivi?" tanya Rayvin lagi karena penasaran.
Rayvin celingukan melihat sekeliling untuk memastikan bahwa Vania memang sedang sendiri dan tidak menunggu siapapun.
"Enggak, aku nggak lagi nunggu siapa siapa sih. Cuma, supir aku lagi jemput Papa di bandara, jadi kayaknya aku pulang agak nanti, gitu..." Jelas Vania pada Rayvin.
Rayvin pun tersenyum tipis. "Mau aku antar pulang?" tawar nya kemudian.
Vania menggelengkan kepalanya. "Enggak usah, Kak. Aku nggak mau ngerepotin kakak lagi," tolak nya dengan sopan.
"Nggak apa apa. Aku sama sekali nggak keberatan ataupun merasa di repotin juga, kalau kamu nggak sibuk juga mau nemenin aku buat cari kado?" tanya Rayvin penuh harap.
Vania terlihat berpikir sejenak, kemudian melihat sekeliling sekolah yang memang sudah hampir sepi dan hanya ada beberapa siswa siswi yang sedang piket. Remaja cantik itu pun mengangguk mengiyakan ajakan Rayvin tanpa ragu lagi.
"Memangnya mau cari kado buat siapa?" tanya Vania penasaran.
"Keponakan aku, besok dia datang. Lama nggak ketemu, jadi pengen aja gitu kasih hadiah ke dia," jawab Rayvin apa adanya.
Sebenarnya Rayvin juga tidak berniat untuk memberi hadiah pada keponakan nya, namun sepertinya hanya itu alasan yang ada di pikiran Rayvin supaya memiliki kesempatan untuk pergi bersama dengan Vania.
Hari ini Rayvin cukup senang karena tidak ada Raka di samping Vania. Rayvin tau bahwa rumah Vania dan Raka itu satu arah, maka dari itu sebenarnya Rayvin juga berpikir kenapa Raka tidak mengajak Vania pulang bersama dengan nya.
Di sisi lain memang ada keuntungan tersendiri dari semua ini.
"Ya udah kalau gitu. Ayok!" ajak Vania antusias.
Sementara Rayvin masih terdiam melamun sambil tersenyum tanpa sadar.
"Kak?" panggil Vania seraya menoel lengan Rayvin.
"Eh? I-iya, ayok!" sahut Rayvin yang kemudian membuntuti Vania dari arah belakang.
Senyuman manis pun mengembang lebar di kedua sudut bibir Rayvin. Ia benar benar senang meskipun hanya pergi untuk membeli sebuah hadiah yang sebenarnya tidak terlalu penting baginya.
"Apapun yang terjadi, selama janur kuning belum melengkung dan Mbak Via Vallen belum manggung... Siapapun bebas menikung!" gumam Rayvin tersenyum menyeringai.
***
....