Chereads / An Empress and Warrior / Chapter 8 - Istana Tsai

Chapter 8 - Istana Tsai

Berbeda dengan kebahagiaan dan kehangatan di kediaman Jiang, istana Tsai sedang mengalami masa krisis. Semua pangeran ditawan oleh sekelompok pemberontak yang tidak diketahui asal-usulnya.

Raja Tsai Lun merasa tidak pernah memiliki musuh atau membuat musuh dalam hidupnya, dia adalah pemimpin yang cinta damai dan selalu peduli dengan kesejahteraan rakyat dibandingkan kekuasaan dengan jalan perang.

Kabar pemberontakan itu sangat mengejutkan.

"Fei, kau harus lari!" teriak raja pada putrinya tersayang. Dia adalah satu-satunya anak yang belum ditangkap dan ditawan karena dia hanya seorang perempuan dan dia juga sangat cerdas bersembunyi.

"Ayahanda, Fei tidak mau," teriaknya dengan suara pilu.

"Sebelum terlambat, Fei. Dengarkan ayah," sang raja mengambil sebuah kalung dari sakunya dan menyerahkan pada putrinya, "selamatkan dirimu dan selamatkan ini. Kalung ini akan membimbingmu kembali ke sini dan menguasai kerajaan. Jangan bocorkan rahasia ini pada siapa pun, jangan percaya siapa pun dan jangan melupakan apa yang pernah kuajarkan padamu," jelas sang ayah pada putrinya.

Fei mengangguk dan air matanya terus mengalir. Dia sangat sedih, tetapi kalau melawan sekarang dia akan kalah dan mati.

Selain itu, ayahnya memastikan bahwa dia akan kembali. Ucapan ayahnya bagai mantra untuknya.

Kondisi raja bisa dikatakan sudah sangat buruk. Beberapa panah tertancap di dadanya membuat tubuhnya yang sudah tua itu mengucurkan banyak darah.

Namun, sebagai raja dia harus menyampaikan perintah dan sebagai ayah dia harus mengatakan sesuatu yang bisa membuat anaknya itu tetap hidup dan keturunannya tidak habis.

"Ayahanda!  Fei mencintaimu!" ucap sang putri pada ayahnya.

"Ingatlah bawah pria tua ini, Tsai Lun, ayahmu, juga sangat mencintaimu. Berjanjilah padaku, apa pun yang terjadi kau akan tetap hidup dan mengembalikan kejayaan kerajaan dan negeri ini."

"Aku akan mengingatnya," ucap Fei dengan air mata berlinangan di pipinya.

"Satu lagi, apa pun yang terjadi dan apa pun yang kau dengar dan lihat, jangan pernah kembali sebelum kau mendapatkan segala bantuan. Di dalam kalung itu ada surat dan peta. Semuanya ada di sana," ucap sang ayah lagi.

Pria itu sudah terluka berat dan menolak keluar dari istananya. Dia sudah menyaksikan para istrinya dibunuh di hadapannya, kemungkinan besar para pangeran juga akan mengalami nasib yang sana dengan ibu mereka.

Sebagai raja, dia lebih baik bertahan sampai napas penghabisan dalam kondisi seperti itu. Satu-satunya harapan yang bisa dipercaya hanyalah putrinya tersayang, Tsai Fei!

"Fei akan mengingatnya," ucap gadis itu lagi dengan nada pilu. Dia harus menjalankan segala perintah dan segalanya akan berubah sejak saat ini.

Raja telah bertitah dan Fei berlutut di hadapan ayahnya sebelum dia pergi menjauh dari segala kerusuhan di istana.

"Aku bersumpah akan membalas setiap yang membuat darah saudaraku terkucur!" ucap Fei dalam hatinya.

Gadis berusia 16 tahun itu akhirnya memutuskan untuk berlari jauh ke mana saja asalkan dia bisa selamat. Hanya berbekal beberapa keping emas dan pakaian di badannya, gadis itu memulai petualangan sendirian dengan ditemani kuda, pedang dan juga kalung pemberian ayahnya.

Perjalanan kali ini tidak akan mudah. Meskipun Fei sering berkeliaran di alam bebas, dia tidak pernah lepas tanpa pengawasan dan pengawal yang selalu setia bersamanya.

Selama ini hidupnya penuh dengan kemuliaan dan keindahan, maka sekarang yang ada hanya kesendirian dan kepedihan.

Sepanjang perjalanan dengan berkuda, Fei mengenang kembali masa-masa bersama ayah dan saudaranya.

"Fei! Ayo tembak!"

Suara kakak pertamanya menyemangati gadis itu untuk memanah dengan baik.

"Anakku tersayang." Suara ayah dan ibunya terngiang di kepalanya. Untuk saat ini dia benar-benar mengerti apa yang disebut berharga. Orang-orang sering baru menyadarinya ketika sudah kehilangan dan itu sangat menyedihkan.

Beberapa ingatan lainnya kembali muncul di benak gadis yang terus melarikan diri dengan kudanya itu.

"Selamat ulang tahun!"

Teriakan dan tawa keluarganya masih terdengar jelas. Baru dua hari lalu dia merayakan ulang tahunnya.

Fei sangat senang akhirnya dia bisa memakai baju zirahnya setelah tahun lalu dia berulang tahun ke lima belas. Kini baju zirah itu menjadi teman yang memeluknya dan semoga menjaga tubuhnya dari berbagai serangan.

"Aku tidak pernah merasa sesedih ini dan sepilu ini," gumam Fei ketika tida beristirahat di pinggir danau dan mengambil air danau sebagai minuman karena sudah sangat haus.

Beberapa jam beristirahat, gadis remaja itu memutuskan untuk memulai kembali pelariannya yang panjang.

°°°

Di kediaman Jiang, Jiang Ning dan Xiu Lan sibuk bermain kelinci setelah keduanya menanam beberapa bunga di halaman.

"Apa kau suka?" tanya Xiu Lan pada gadis itu.

Dengan malu-malu Ning mengangguk perlahan ketika lelaki remaja di hadapannya memberi dia sebuah jepitan rambut.

"Itu milik ibuku," jelas Xiu Lan.

Jiang Ning terkejut dan hendak menolak pemberian yang terlalu berharga itu.

"Jangan beri aku, Kakak simpan saja, ini terlalu berharga," jelas gadis itu dengan menggunakan bahasa isyarat.

Xiu Lan tersenyum melihat tingkah anak manis itu.

"Ini memang berharga, tetapi tidak kalah berharganya. Ambillah aku tidak mungkin memakainya. Kalau kau suka, kau bisa memakainya," jelas Xiu Lan dengan senyuman manis di wajahnya.

Dia terlihat seperti seorang pemuda yang tengah mengumbar janji manis kepada kekasihnya.

Terdiam beberapa waktu, Ning akhirnya memutuskan untuk menerima pemberian itu.

"Baiklah, aku berjanji akan menjaganya dengan baik. Aku suka," jelas gadis itu dengan sopan.

Sibuk berbicara satu sama lain, mereka tidak menyadari bahwa ayahnya sudah berada di sana.

"Ahem," deham Jiang Feng karena tak kunjung ada yang peduli pada dirinya, seolah dia tidak terlihat di sana.

"Ayah," sapa Ning dengan sopan. Wajah perempuan itu sudah memerah sempurna seperti buah tomat yang matang.

"Paman," sapa Xiu Lan dengan kondisi wajah yang tidak jauh berbeda dengan gadis muda di sebelahnya.

Jiang Feng menatap keduanya bergantian. Setelah memutuskan sesuatu dalam hatinya, akhirnya dia berucap.

"Kudengar kalian sudah begitu akrab sampai memanggil nama masing-masing," ucap laki-laki dewasa itu memulai ucapannya.

"Maafkan kalau aku lancang, Paman," kata Xiu Lan mengakui kesalahannya.

Dia mungkin benar-benar sudah melupakan batas antara anak bosnya dan dirinya yang hanyalah anak tanpa ayah dan ibu. Tanpa siapa-siapa dan dipungut oleh pria itu beberapa tahun yang lalu.

"Aku tidak mengatakan demikian," ucap Jiang Feng.

Xiu Lan mengernyitkan keningnya karena merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar. Apakah bos bajak laut itu tidak marah padanya?

"Aku hanya tidak akan memaafkan jika kau membuatnya terluka. Itu saja."

Setelah berucap Jiang Feng menepuk pundak Xiu Lan beberapa kali dan pria itu berlalu meninggalkan dua anak muda di halaman belakang rumah itu.