Chereads / I married to stranger / Chapter 3 - 03. Dinner Party

Chapter 3 - 03. Dinner Party

Ruangan itu sangat berantakan !

Karen melihat kertas berserakan dimana-mana. Ada di meja kerja dekat laptop di sisi kiri ruangan, di meja rendah di tengah ruangan dan di lantai di sekitarnya.

Berjalan beberapa langkah, ia melihat kertas di atas sofa dan Steven yang sedang berbaring disana dengan tangan menutupi sebagian wajah.

Sepertinya mereka berdua bukan sibuk menyelesaikan pekerjaan, tapi lebih terlihat kelelahan mencoret-coret dan menghabiskan kertas.

Karen melangkah ke sofa dan baru akan membangunkan Steven ketika kata-kata Mario terngiang di telinganya. Berpikir sejenak, ia akhirnya memutuskan untuk meletakkan nampan dengan beberapa kotak makanan di atas meja lalu keluar dari sana.

Ketika ia membalikkan tubuh tiba-tiba matanya menangkap salah satu coretan di atas tumpukkan kertas di meja. Coretan itu mirip dengan sebuah sketsa bangunan.

Rumah berlantai dua dengan gaya eropa kuno dan empat pilar tinggi menjulang ke atas. Di bagian atap ada garis lurus dan jendela yang memenuhi setiap blok ruangan membuat sinar matahari masuk dengan mudah.

Dalam waktu singkat Karen bisa membayangkan warna yang cocok untuk digunakan di bagian tengah dan sisi kanan yang lebih rendah.

"Sedang apa kau disini?" tanya Steven, membuat Karen tersentak.

Ia menoleh dan membalas tatapan itu, "Pitzhanger?" jarinya menunjuk ke atas meja.

Steven mengerutkan alis.

"Soane?" tambah Karen.

Steven menegakkan tubuh di sofa dan melihat kertas dengan goresan pensil berwarna abu-abu yang ditunjuk Karen. "Kau tahu?"

Gadis itu mengangkat bahu, "Aku pernah melihatnya sekali. Salah satu arsitek kami penggemar berat Soane, jadi dia menunjukkannya kepadaku."

W studio adalah perusahaan ayah Karen yang bergerak di bidang interior. Ia yang memiliki posisi sebagai ketua tim desain sering bekerja dan berdiskusi dengan tim arsitek yang bertugas membuat perencanaan bangunan sebelum diserahkan kepadanya. Jadi, sedikit banyak ia tahu tentang arsitektur dulu yang banyak dijadikan contoh untuk bangunan sekarang.

"Kau yang menggambarnya?" tanya Karen penasaran.

Steven menatap Karen ragu, lalu mengangguk. "Ya."

"Kau seorang arsitek?"

Steven menyadari nada suara Karen yang agak tinggi seolah-olah hal itu mustahil, kemudian ia tersenyum lebar. "Apakah aku terlihat seperti seseorang yang tidak bisa menggambar?"

"Aku kira kau seorang pebisnis." katanya terus terang.

"Memangnya seorang arsitek tidak bisa menjadi pebisnis?"

Karen memiringkan kepala, "Ya, tidak juga."

Menatap Steven seolah tidak puas dengan jawabannya.

"Royal Dome adalah perusahaan keluargaku." Steven memulai. "Karena kesehatan ayahku yang menurun, aku diminta menggantikannya untuk sementara."

"Jadi, hanya untuk sementara?"

Hening sejenak. Pertanyaan Karen sama dengan pertanyaan yang selalu ditanyakan Steven kepada dirinya sendiri beberapa tahun lalu.

"Tidak." jawab Steven yakin, "Aku sudah memutuskan untuk menggantikan ayahku sebagai direktur utama di Royal Dome."

Dari jawaban Steven, Karen bisa menyimpulkan kalau laki-laki itu tidak akan kembali ke dunia arsitektur untuk selamanya. Hal yang sangat wajar terjadi bila melihat dari latar belakang keluarganya. Tapi, anehnya Karen bisa melihat rasa kecewa di kedua mata itu.

"Jadi, kenapa kau ada disini." tanya Steven sekali lagi.

Karen mengerjap dan tersadar. Lalu muncul perasaan aneh mengingat apa yang baru saja mereka bicarakan. Kenapa juga ia harus peduli dengan laki-laki itu? Kenapa ia harus menginterogasinya seperti tadi? Bukankah hubungan mereka hanya sebatas teman bisnis.

"Oh, Mario memintaku untuk membawakan sarapan untukmu."

Steven mengikuti arah pandang Karen lalu alisnya berkerut kemudian kembali ke gadis itu, "Aku tidak melihat kopi disana."

Teringat kata Mario tadi sebelum ia masuk ke ruangan, Karen mengarahkan kepala ke belakang, "Asistenmu sedang membuatnya, kau bisa makan ini dulu."

Melihat Steven sudah membuka kotak makanan dan merasa tugasnya sudah selesai, Karen bersiap untuk keluar dari ruangan. Gerakannya terhenti ketika mendengar suara Steven lagi. "Kau sudah sarapan? Kalau belum, mau sarapan bersama?"

Dan untuk pertama kalinya mereka sarapan bersama di Budapest. Selama sarapan tidak ada yang berbicara sampai Mario masuk ke ruangan untuk memecahkan keheningan.

Ketika Steven mulai memborbardir Mario dengan berbagai macam pertanyaan, Karen melangkah perlahan keluar dari ruangan dan menarik napas panjang. Sepertinya akan lebih baik kalau lain kali ia sarapan sendiri.

***

Dimana gadis itu?

Steven memandang berkeliling dan tidak menemukan Karen Wilson. Tadi, tiga puluh menit yang lalu gadis itu masih berdiri di sampingnya mendengarkan obrolan Steven dengan beberapa orang disana. Meskipun Karen terlihat bosan, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan hanya tersenyum sambil sesekali mengalihkan tatapannya ke arah lain.

Karena masih belum berhasil menemukannya, Steven memutuskan untuk mencari gadis itu dan keluar dari grup obrolan disana. Steven melewati beberapa orang di bagian tengah aula sambil terus mencari gadis berbaju merah muda yang datang bersama dengannya tadi.

Meskipun aula pesta itu tidak terlalu besar dan hanya satu area yang dibuka untuk umum, tetapi karena banyaknya orang disana, Steven cukup kesulitan dan harus memiringkan tubuhnya setiap kali melewati orang-orang yang sedang mengobrol.

Lima menit kemudian, ia akhirnya berhasil menemukan Karen yang berdiri di sudut ruangan di depan deretan meja makanan penutup. Setelah memastikan kalau gadis di sana memang benar sosok yang ia cari, Steven melangkah lebar dan mendengar suara gadis itu yang sedang mengobrol dengan laki-laki berambut putih di sampingnya.

"Menurutku selai stroberi yang enak adalah tetap meninggalkan rasa sedikit asam dan agak padat." kata Karen Wilson.

"Menurutku perpaduan stroberi yang paling sempurna adalah dengan keju." Laki-laki di depannya melanjutkan.

Karen menganggukan kepala setuju dan berkomentar. "Iya, aku juga ..."

Saat itu ia merasakan sebuah lengan menyentuh pinggangnya. Karen menoleh dan melihat Steven berdiri di samping nya, "Aku mencarimu sejak tadi." Katanya tersenyum lega.

Karen mengangkat bahu, "Aku tidak ingin menganggu obrolan kalian dan aku agak lapar, jadi aku pergi untuk mencari makanan." Jelasnya panjang lebar menghindari kesalahpahaman yang mungkin muncul dengan situasi seperti ini.

Steven mengalihkan tatapan ke laki-laki tua berambut putih yang masih berdiri di sana, "Dan sepertinya kau tidak hanya menemukan makanan, tapi juga mendapat teman baru?"

Karen mengikuti arah pandang Steven dan baru sadar, "Oh, ini kenalkan." Karen mengubah bahasa yang digunakan dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris sambil tersenyum lebar mengarahkan tangannya ke laki-laki separuh baya itu kemudian berpindah ke Steven. "Ini adalah Nicholas. Dan, Nicholas ini adalah ..."

"Steven. Steven Tanzil. Aku adalah suaminya." Ia mengulurkan tangan dan laki-laki bernama Nicholas itu menjabat tangannya dengan tegas. "Senang berkenalan dengan anda." katanya sopan.

Nicholas mengangguk singkat membalas sapaan tersebut. Sebelum ia sempat membuka mulut untuk berbicara, suara lain terdengar dan membuat mereka bertiga mengalihkan tatapan.

"Antonio?" sapa Karen lebih dulu dengan suara ceria.

Laki-laki berusia lima puluh tahun yang dipanggil Antonio itu mendekat dan mengecup pipi Karen dengan wajahnya, kemudian berkata dengan bersemangat. "Hai, Wilson. Apa kabar? Aku senang setiap tahun bisa melihatmu berada disini." katanya sambil tertawa menunjukkan betapa bahagianya dia melihat gadis itu disana.

"Aku juga senang. Bagaimana kabarmu Antonio?" tanya Karen masih memegang lengan laki-laki bertubuh besar dan tinggi di depannya dengan senyum yang semakin lebar.

Siapa pun yang berada disitu pasti bisa merasakan betapa dekatnya hubungan antara kedua orang itu. Kalau dilihat sekilas mereka seperti pasangan ayah dan anak yang baru bertemu setiap satu tahun sekali. Mata mereka yang berkilat-kilat senang sudah menunjukkan betapa bahagianya mereka bisa bertemu malam itu.

Suara berdeham dari Nicholas menyadarkan keduanya yang masih sibuk bertukar sapa. Antonio mengalihkan tatapannya lebih dulu dan kali ini matanya tidak hanya melebar, tapi mulutnya juga ikut terbuka menatap siapa yang ada disitu tidak percaya. "Dornier?"

Antonio mengerjapkan matanya beberapa kali memastikan, "Aku tidak menyangka kau datang malam ini."

Steven mengerutkan alis. Tunggu dulu, bukankah tadi laki-laki itu memperkenalkan diri dengan nama Nicholas? Tapi, tadi Antonio memanggilnya Dornier? Mata Steven juga melebar dan menatap laki-laki itu sekali lagi memastikan. Jangan-jangan, dia Nicholas Dornier?

"Senang bisa melihatmu lagi, Antonio." Nicholas mengangkat gelas anggurnya.

Antonio mengerutkan kening ragu, "Apa yang membuatmu datang kesini? Aku tidak percaya kau datang hanya karena makanan penutup dan anggur?" katanya sambil tersenyum.

Nicholas terdiam sejenak, kemudian matanya berpindah ke arah gadis di depan Antonio. "Sepertinya aku sudah menemukannya."

Antonio mengikuti tatapan Nicholas dan menyadari maksud temannya itu. Lalu suara tawa yang lebih besar terdengar, "Sepertinya malam ini aku sangat beruntung, karena dua orang yang paling sulit kutemui setiap tahun hadir disini."

Steven bisa merasakan nada bangga dari mata laki-laki itu yang terlihat senang.

"Kalau begitu, dugaanku kalian sudah berkenalan?" Antonio menatap Karen dan Nicholas bergantian.

Karen tidak mengerti apa yang dimaksud dua laki-laki yang sedang mengobrol itu, tapi yang ia tahu semua orang menatap ke arahnya. Ia tersenyum tipis kemudian berkata kepada Antonio, "Ya. Kami sudah berkenalan. Sepertinya Nicholas seorang pĆ¢tissier hebat." komentar Karen polos.

"Apakah dia bilang begitu?" Antonio menyipitkan mata dan raut wajahnya berubah seperti sedang berpikir, "Dia memang bisa membuat pasta yang lumayan enak, tapi dia lebih cocok menjadi kritikus dibandingkan orang yang terjun langsung di dapur."

Dari kata-kata Antonio, Karen bisa menebak kalau analisanya tentang pekerjaan Nicholas salah besar. Lalu apa yang dilakukan laki-laki itu?

Bisa melihat kebingungan di wajah Karen, Antonio melanjutkan dan mengarahkan tangannya ke arah Nicholas. "Sepertinya aku harus meluruskan sesuatu. Ini adalah Nicholas Dornier, salah satu desainer terbaik di dunia." kemudian menurunkan tangan dan mengangkat tangan yang lain ke arah Karen. "Ini adalah Karen Wilson, interior desainer terbaik di dunia."

"Saya sudah banyak mendengar tentang anda dari Antonio." Nicholas merentangkan tangan di depan Karen, "Senang akhirnya bisa bertemu langsung, nyonya Tanzil."

Karen menjabat tangan itu, "Senang bisa berkenalan dengan anda juga, tuan Dornier ." teringat dengan panggilan laki-laki itu kepadanya, ia segera menoleh ke arah Steven dan menatap Antonio. "Omong-omong Antonio, sepertinya mulai dari sekarang kau tidak bisa memanggilku seperti itu lagi."

Steven yang sejak tadi berdiri disana mengambil inisiatif melangkah ke depan dan meletakkan tangannya di punggung Karen. Meskipun belum terbiasa, tapi kali ini Karen bisa mengontrol ekpresinya dan tersenyum. "Antonio, perkenalkan ini Steven Tanzil."

Steven mengulurkan tangan dan Antonio membalas jabatan tangan itu. Tapi, melihat bagaimana respon Karen yang juga meletakkan tangannya di pinggang laki-laki di sampingnya, Antonio menebak hubungan mereka tidak hanya sebatas teman biasa. "Ini adalah?"

"Anda tidak bisa memanggil istriku seperti itu lagi. Anda harus mulai mengubah panggilan untuknya." kata Steven sopan kepada Antonio.

Laki-laki itu terlihat sangat terkejut dan terdiam sesaat lalu menatap Karen dan Steven bergantian, "Selamat.. Selamat.. Kalau begitu aku harus minta maaf secara pribadi karena memanggil istrimu seperti tadi. Kau tahu kebiasaan memang sulit untuk berubah." Antonio tersenyum meminta maaf.

Sebelum mereka bisa mengobrol lebih panjang, beberapa orang mulai mendekat dan mengajak Nicholas berbicara. Kerumunan yang lain juga mulai bergabung dengan Antonio dan memberikan salam bergantian.

Ketika Karen dan Steven hendak berpindah tempat, tiba-tiba Antonio menahan mereka berdua dan berkata, "Sebenarnya aku masih ingin mengobrol dengan kalian, tapi sepertinya aku harus menyapa para tamuku malam ini. Bagaimana kalau kita makan siang bersama besok? Apakah kalian ada waktu?"

Steven tersenyum tipis, "Tentu saja. Kami akan datang kembali kesini besok siang."

Antonio menggelengkan kepala, "Bagaimana kalau kita pergi ke Szolnok besok? Aku sudah lama tidak mengunjungi Nicholas."

Seakan bisa mendengar namanya disebut dari kejauhan, laki-laki itu menolah ke arah mereka dan memiringkan kepala sedikit, tanpa memberikan jawaban pasti.

Antonio tertawa kecil dan kembali menatap mereka berdua. "Kalau begitu, sampai bertemu besok siang? Aku akan mengirimkan alamatnya kepadamu nanti."

Karen mengangguk dan Antonio berpamitan kepada mereka lalu menghilang diantara kerumunan orang-orang yang mulai mengajaknya mengobrol. Sebagai tuan rumah tentu saja semua perhatian para tamu akan tertuju ke satu orang. Jadi, akan tidak sopan bila ia menahan laki-laki itu lebih lama lagi.

"Kau mau pulang?" tanya Steven tiba-tiba di sampingnya.

Karen terdiam.

"Kita bisa pulang sekarang kalau kau mau." usul Steven.

Karen memandang ke sekeliling aula itu. Sepertinya para tamu yang datang mulai bertambah banyak seiring dengan acara yang baru dimulai dengan kemunculan Antonio.

Kalau dilihat ini adalah situasi yang paling cocok untuk berkenalan dan membuka koneksi dengan orang-orang disana. Tapi, baginya berada di ruangan yang ramai seperti ini dan berkenalan dengan banyak orang membutuhkan banyak tenaga, sedangkan ia sudah mulai lelah.

"Kita sudah bertemu dengan Antonio. Jadi, tidak masalah kalau kita pergi sekarang. Lagipula tidak banyak orang yang kukenal dan bahasa inggris mereka cukup sulit untuk dimengerti."

Setelah memastikan beberapa kali dan Steven masih memberikan jawaban yang sama. Mereka akhirnya keluar dari aula yang ramai menuju ke tempat parkir dan mobil melaju di jalanan kembali ke Budapest.