Chereads / I married to stranger / Chapter 5 - 05. Lunch Invitation

Chapter 5 - 05. Lunch Invitation

Sinar matahari siang yang diselimuti kabut musim dingin memenuhi langit kota Szolnok. Mobil melaju melewati pagar besi yang tinggi dan berhenti di depan pintu utama.

Steven turun dari mobil dan berputar membukakan pintu untuk Karen. "Aku harap hari ini semuanya berjalan dengan baik." Katanya sambil menggengam tangan gadis yang sudah berdiri di sampingnya.

Karen menarik napas panjang dan udara dingin langsung memenuhi dadanya. Tapi anehnya kali ini ia tidak merasa menggigil. Tangan Steven berhasil membuatnya menjadi lebih tenang.

"Selamat datang.." sapa Antonio antusias dengan senyum lebar khas di wajahnya yang gemuk bersama dengan Nicholas di sampingnya.

Karen memeluk Antonio terlebih dulu, lalu bersalaman dengan Nicholas. Sementara itu, Steven menjabat tangan dua laki-laki di depannya dengan tegas dan tersenyum tipis.

"Ayo masuk, di luar dingin sekali." Kata Antonio sambil berbalik berjalan masuk ke dalam rumah. "Anggap saja seperti rumahmu sendiri."

Melihat tingkah temannya, Nicholas hanya bisa tersenyum pasrah sambil mengarahkan sebelah tangan ke arah Steven dan Karen mempersilahkan mereka mengikuti Antonio yang terus berbicara di depan.

Mereka dibawa ke ruang makan di mana beberapa pelayan sudah berdiri di samping bersiap untuk menyambut semua orang. Di salah satu sudut dekat meja makan, perapian yang terhubung ke cerobong asap dinyalakan dan membuat ruangan itu terasa hangat.

Berbeda dengan area depan rumah yang besar dan luas, ternyata keadaan di dalam cukup sederhana dan rapi, Karen merasa seperti sedang mengunjungi rumah orang pada umumnya, bukan rumah seorang desainer ternama.

"Aku baru tahu ternyata suamimu adalah seorang arsitek sekaligus pengusaha di bidang properti." Antonio mulai membuka percakapan ketika mereka telah duduk menikmati makan siang yang disajikan oleh pelayan.

Seperti yang dikatakan Steven, pada pertemuan kedua, Antonio dan Nicholas sudah mencari tahu tentang dirinya. Mereka ingin mengetahui siapa Steven Tanzil dan apakah hubungannya dengan Karen sesuai seperti yang dikatakan laki-laki itu kemarin.

"Iya, dia adalah arsitek berbakat sekaligus pengusaha hebat." Katanya sambil menatap Steven, "Aku belum pernah melihat seseorang bekerja sekeras dirinya. Perlahan-lahan aku akhirnya mengerti mengapa Royal Dome bisa begitu besar. Karena mereka memiliki Direktur seperti dirinya." Jelas Karen dengan nada bangga, lalu mengalihkan perhatian ke Antonio dan Nicholas yang duduk di depannya.

"Mengelola perusahaan sebesar itu, tentu saja akan memakan banyak waktu. Aku tidak percaya kau masih memilih laki-laki ini setelah mengetahui semua hal itu. Apakah kau tidak takut sendirian dan kesepian pada akhirnya karena dia sangat sibuk?" Tanya Antonio masih dengan senyum ramah yang sama, tetapi Karen tidak mendapatkan kesan bahwa laki-laki itu benar-benar tersenyum kepada mereka.

Karen tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak, "Tentu saja, akan ada saatnya kami tidak bisa terus bersama. Steven akan menjadi semakin sibuk dan waktunya akan sangat terbatas. Mungkin kami bahkan tidak akan bertemu dalam hitungan minggu atau bulan." Karen membenarkan dan menganggukkan kepalanya, "Tapi, menurutku itu wajar. Setiap orang pada akhirnya akan menjalani hidup mereka sendiri, dengan atau tanpa pasangan."

Antonio melirik Nicholas sejenak dan melihat temannya menyesap segelas anggur tanpa berniat berkomentar. Kemudian Antonio mengalihkan perhatiannya kembali ke Karen dengan ekspresi ragu, "Menurutmu begitu?"

Karen mengangkat bahu, "Bukankah kita tidak pernah tahu berapa lama hidup seseorang?" Kemudian meletakkan pisau dan garpunya di samping piring. Ia kemudian melipat tangannya di atas meja dan sedikit mencondongkan tubuh ke depan, "Kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi siang ini, malam atau bahkan besok. Akankah kita bertemu lagi setelah ini atau mungkin sekarang akan menjadi pertemuan terakhir kita. Karena itu.."

"Oleh karena itu.." Steven menyela dan meraih tangan Karen lalu menggenggamnya. "Karena masa depan sangat tidak pasti. Kami akan menghargai setiap momen yang kami habiskan bersama." Ia menoleh ke Karen dan melihat mata hitam gadis itu yang dalam.

"Bisa melihatnya setiap pagi dan mendengar suaranya, bagiku semuanya masih seperti mimpi. Bahkan hatiku masih bergetar saat berada di dekatnya. Memegang tangannya seperti ini, membuat dadaku terasa hangat dan aku tidak pernah ingin melepaskannya." Suara Steven yang tenang dan pelan berhasil membuat kata-kata yang diucapkannya terdengar sungguh-sungguh dari dalam hatinya. "Meskipun semua manusia nantinya akan hidup sendiri, tapi ketika kau menemukan seseorang yang tepat dan bisa membuat duniamu berwarna, kau pasti rela mengorbankan apapun untuk orang itu. Dan mencintainya lebih dari kau mencintai dirimu sendiri."

Karen merasakan jari tangan Steven semakin erat. "Bagiku orang itu adalah istriku." Kata Steven tersenyum tulus. "Meskipun terdengar kekanak-kanakan, bukankah cinta memang seperti itu? Mampu membuat semua orang berubah demi orang yang dia cintai dan ingin bersamanya tidak peduli apa yang terjadi."

Karen tidak tahu apakah Steven telah menyiapkan kata-kata itu tadi malam atau pagi ini, mengingat pertanyaan yang mungkin diajukan Antonio atau Nicholas. Namun, apa pun itu, Karen merasakan sesuatu yang aneh di dadanya dan tatapan laki-laki itu membuatnya percaya bahwa yang dikatakan Steven sungguh-sungguh.

"Siapa pun yang pernah jatuh cinta tahu bagaimana rasanya," Antonio membenarkan dan mengalihkan tatapan kepada semua orang. "Aku masih ingat pertama kali bertemu cinta pertamaku, bagaimana penampilannya hari itu dimulai dengan warna pakaian yang dia kenakan – riasan yang dipakai dan rambut hitam panjangnya dijepit ke belakang."

"Aku yakin, cinta pertama anda pasti sangat cantik." Steven berkomentar sambil tersenyum tipis seolah bisa membayangkan gadis seperti apa yang akan menarik perhatian Antonio yang dikenal memiliki selera tinggi tidak hanya dalam seni tetapi juga wanita.

"Tentu." Antonio berseru penuh semangat dan senyum lebar menghiasi bibirnya, "Meskipun tiga puluh tahun telah berlalu, rasanya seperti baru kemarin."

"Bukankah kau baru saja bertemu dengannya kemarin?" Nicholas bergumam dengan nada jahil dan menyesap minumannya.

Antonio menoleh ke Nicholas dengan alis sedikit berkerut, tidak mengerti apa yang dimaksud temannya. Membalas tatapan tersebut, Nicholas berkata, "Bukankah kau baru saja bertemu dengan seorang wanita kemarin dan mengatakan dia adalah cinta pertamamu?"

Mata Antonio melebar, lalu ia beralih ke Steven dan Karen secara bergantian, "Kurasa kau salah mengenali orang. Di pesta kemarin ada begitu banyak tamu."

"Kau ingin aku mengulangi apa yang kau katakan kemarin?" Tanya Nicholas yakin dan menatap lurus ke arah Antonio. "Aku bahkan ingat sebelum pesta berakhir, kau berjanji akan menemui mereka dua hari lagi di Paris."

Senyum kaku muncul di bibir Antonio, kali ini ia berbicara dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Nicholas. "Bisakah kita kembali ke topik sebelumnya? Bukankah tujuan pertemuan hari ini untuk membahas hal lain?" gumamnya lalu berdeham keras.

Namun, sebelum Antonio sempat berkata lagi, suara Nicholas terdengar. "Bagaimana kamu tahu, orang bodoh yang malang? Mungkin di luar sana, di suatu tempat, seseorang mengeluh karena ketidakhadiranmu; dan dengan pemikiran ini, jiwaku mulai bernafas." katanya dengan nada puitis masih menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya, "Aku bahkan tidak tahu kau membaca Sonet Petrarca. Sepertinya kau telah mempersiapkan banyak hal untuk bertemu dengan beberapa cinta pertamamu kemarin."

Karen tertawa geli. Ia tidak tahan melihat tingkah Antonio yang masih mengelak meski sudah ketahuan berbohong.

Antonio menatap Nicholas dengan mata terluka, tidak menyangka sahabatnya akan mempermalukannya di depan Karen dan Steven. Pada akhirnya Antonio mengangkat kedua tangan ke atas, "Baiklah.. Baiklah.." katanya menyerah. "Bagaimanapun, aku laki-laki normal, jadi tentu saja aku akan mudah terpesona oleh keindahan, termasuk wanita cantik." Gumamnya mencoba membela diri seolah itu wajar saja.

"Tidak semua laki-laki normal sepertimu." Sela Nicholas lagi, menyesap anggurnya. "Dan tidak semua laki-laki, seberuntung Tuan Tanzil, bisa menemukan gadis sehebat Karen." Katanya menatap pasangan yang duduk di depannya secara bergantian."

Antonio tertawa keras, "Sepertinya kau sudah berhasil mengatakan apa yang ingin kau sampaikan kepada Tanzil sejak kemarin."

Steven bisa merasakan berbagai emosi dari sorot mata Nicholas. Sejujurnya, ia telah mempersiapkan diri bila Antonio dan Nicholas akan banyak mempertanyakan hubungan mereka. Dan setelah bertemu langsung dengan kedua sosok itu, Steven harus mengakui bahwa Antonio dan Nicholas bukanlah orang sembarangan.

Perlahan suasana di meja makan mulai mencair. Semua orang mendiskusikan berbagai topik dan ketegangan yang awalnya terasa hilang digantikan dengan tawa. Karen tidak pernah merasa begitu bersemangat membahas tentang seni dengan seseorang. Entah karena saat itu orang-orang yang ada di sana adalah Antonio dan Nicholas, atau karena semua orang terlihat santai. Ia merasa seperti kembali ke rumah, ke tempat ia seharusnya berada.

***

Setelah menghabiskan hampir setengah hari di ruang makan, Nicholas mengajak mereka berkeliling rumah dan galerinya. Steven dan Nicholas berjalan sambil mengobrol tentang perbedaan arsitektur antara negara-negara Eropa dan Asia, serta bagaimana bila kedua budaya itu digabungkan. Sedangkan, Karen dan Antonio yang berjalan di belakang sesekali ikut berkomentar dan memberikan pendapat singkat. Akhirnya, Nicholas membawa mereka ke ruang tengah yang menjadi tempat favoritnya sekaligus ruang kerjanya.

"Aku sangat senang," kata Antonio kepada Karen yang sedang memandangi lukisan besar seorang wanita di dekat perapian, "Selama bertahun-tahun aku mengenalmu, hari ini aku merasa seperti benar-benar melihat dirimu yang sebenarnya. Sosok yang selalu kubayangkan setiap melihat desain yang kau buat."

Karen tersenyum tipis dan kata-kata Steven yang mirip dengan Antonio terngiang di kepalanya. "Benarkah itu?"

"Ya. Aku bahkan bisa melihat matamu yang bersinar dan bersemangat ketika berbicara di meja makan tadi." Gumam Antonio lalu pandangannya beralih ke dua laki-laki yang masih mengobrol di dekat jendela yang menuju ke balkon, "Hanya saja aku tidak pernah mengira alasannya karena seorang laki-laki."

Karen mengangkat alisnya.

"Tapi, aku juga tahu bahwa perubahan hanya akan terjadi ketika seseorang bertemu belahan jiwanya. Orang asing yang bisa mengerti, mendukung dan berkorban demi dirimu." Nicholas menatap Karen dengan lembut, "Dan kupikir kalian berdua telah menemukan satu sama lain."

Karen merasa bahwa kata-kata Antonio terdengar benar, tetapi juga tidak.

"Aku dengan tulus mengharapkan kebahagiaan kalian berdua. Aku juga bisa membayangkan bagaimana jadinya ketika kalian berdua menjadi tua bersama dan mata itu masih sama."

Karen hanya membalas tatapan Antonio tanpa berkata apa-apa. Namun, ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak mengerti maksud laki-laki itu.

"Kau tahu kenapa aku bisa mengatakan itu?" senyum jahil muncul di bibirnya. "Karena bagiku suatu hubungan akan bertahan lama jika laki-laki lebih mencintai pasangannya. Aku bisa melihat dan merasakan dengan jelas bagaimana Tanzil berbicara dan memandangmu. Laki-laki itu benar-benar jatuh cinta padamu. Aku pikir saat ini, kau adalah salah satu wanita paling beruntung di dunia karena memilikinya."

Karen tersenyum kaku.

"Meskipun kehidupan manusia akan terus berubah setiap hari, akan ada sesuatu yang membuat semua orang terus bertahan melewati masa-masa sulit itu. Karena kita adalah manusia dan semua orang membutuhkan cinta dari orang lain."

Karen menganggukkan kepalanya lalu pandangannya beralih ke Steven yang sedang tertawa bersama Nicholas.

"Harapanku yang lain adalah.." Antonio mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik di telinga Karen, "Aku ingin segera melihat Tanzil junior saat kita bertemu lagi tahun depan."

Wajah Karen langsung memerah dan matanya melebar.

"Aku tidak sabar melihat anak-anak kalian nanti," seru Antonio. Semakin ia melihat wajah Karen yang memerah, semakin ia ingin menggodanya. "Kalau kau mau, aku bisa mengatur pertemuan dengan dokter pribadiku."

Semakin Antonio terus berbicara, wajah Karen semakin panas dan kepalanya tertunduk berusaha menyembunyikan rasa malunya.

"Kau baik-baik saja?" tiba-tiba Steven berdiri di sebelah dan memegang pundaknya.

"Dia baik-baik saja," kata Antonio lalu tertawa keras. "Sepertinya dia terlalu banyak minum." Mengarahkan tangan ke gelas sampanye yang dipegang Karen.

Steven mengeratkan pelukannya, tatapannya berubah sedikit khawatir. "Kau mau pulang sekarang?"

Entah karena kata-kata Antonio atau bukan, tapi kepalanya mulai sedikit pusing dan ia merasa mengantuk. Karen menganggukkan kepalanya sekali dan mereka akhirnya berpamitan dan meninggalkan tempat itu.