Sampai di Villa di Budapest, Mario sudah menunggu mereka di pintu masuk dengan senyum antusias. Karen bisa menyimpulkan bahwa laki-laki itu sudah tidak sabar lagi ingin mendengar kabar baik terkait pesta di Miskolc. Namun, sebelum Mario sempat berbicara, Steven sudah lebih dulu menyela.
"Temui aku di ruang kerja lima menit lagi." kata Steven bergegas masuk.
Di saat Mario sedang menerima kunci mobil dari supir, Karen berdiri di depan laki-laki itu. "Pesta nya menyenangkan dan kami sudah bertemu dengan Antonio." jelasnya dengan senyum tipis sebelum melangkah masuk ke dalam.
Naik ke kamar di lantai atas, Karen sudah berganti pakaian dan bersiap untuk beristirahat ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Ia melihat nama Anna muncul di layar ponsel dan segera menjawab panggilan. "Ada apa?"
Anna dapat mendengar suara Karen yang khawatir di ujung telepon, maka ia berusaha berbicara dengan nada santai. "Selamat malam, Bu Direktur. Maaf mengganggu."
"Ada apa?" ulang Karen tidak sabar.
"Saya hanya ingin memberikan laporan terkait dengan kondisi perusahaan." kata Anna dengan suara pelan dan jelas, "Berkaitan dengan semua proyek yang tertunda kemarin, semua sudah dilanjutkan lagi. Untuk bunga pinjaman, sudah dibayarkan termasuk dengan denda. Aset perusahaan yang disita, sudah dikembalikan lagi. Sekarang kondisi perusahaan sudah kembali stabil."
Informasi dari Anna membuat Karen memejamkan mata dan menghela napas panjang. Perasaan lega menghampirinya dan kepalanya terasa lebih ringan, "Oke." jawabnya pendek dan baru akan menurunkan ponsel, ketika suara Anna terdengar lagi.
"Selain itu ada informasi lain yang ingin saya sampaikan."
Karen bisa menebak, apa yang akan dibicarkan oleh Anna kali ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. "Katakan."
Selama beberapa saat tidak terdengar suara, kemudian, "Gracia sudah kembali."
Ketika nama itu disebutkan, Karen bisa merasakan udara dingin yang dibencinya di luar masuk ke dalam kamar. Tatapan matanya berubah serius dan tangannya mencengkram ponsel dengan erat.
"Dia kembali ke rumah kemarin malam dan kami sudah mengecek kondisinya, semua nya baik-baik saja." Kali ini suara Anna terdengar agak ragu, "Hanya saja uang yang dibawa pergi sudah habis dan tidak tersisa."
Karen tidak berkomentar. Ia bisa membayangkan wajah Gracia ketika kembali ke rumah. Dimana gadis itu akan memasang ekspresi menyesal sambil menahan tangis, membuatnya terlihat seolah-olah adalah korban dan mulai menceritakan omong kosong yang dibuat olehnya sendiri. Lalu orang-orang yang mendengarnya akan mulai kasian dan memaafkannya dengan mudah. Cara yang selalu berhasil dilakukan Gracia di depan kedua orang tuanya selama bertahun-tahun.
"Terkait dengan uang itu sendiri, kami berhasil menemukan bukti penarikan uang tunai dalam jumlah yang besar di Las Vegas dan penggunaan kartu kredit di Royal Caribbean." Kali ini suara Anna terdengar agak ditekan, "Dan kami menemukan bahwa sebagian besar uang itu digunakan di kasino."
Karen masih diam, membiarkan Anna menyelesaikan laporannya. Ia merasa ada hal besar lain yang sebenarnya ingin dikatakan wanita itu.
"Masalahnya adalah Gracia juga melakukan beberapa pinjaman ilegal dalam jumlah yang besar."
Meskipun Anna berusaha untuk berbicara dengan nada tenang, Karen bisa merasakan kekhawatiran di sana. "Seberapa serius masalah ini?"
Anna mendesah keras, "Cukup serius. Karena untuk hal ini bahkan kita tidak bisa melibatkan kepolisian."
Karen mulai menekan pelipisnya yang berdenyut. Beban yang baru saja hilang dari kedua pundaknya, tiba-tiba kembali dan menjadi lebih berat dari sebelumnya.
"Sejak kemarin kita sudah mulai mendapat banyak telepon tidak dikenal. Berbagai paket berisi ancaman juga dikirimkan ke kantor." Jelas Anna.
"Apa yang mereka inginkan?"
"Mereka ingin bertemu dengan Gracia. Secepatnya."
Karen dan Anna mulai tenggelam dengan pikiran masing-masing. Mereka bisa menebak apa yang akan terjadi bila orang-orang itu bertemu dengan Gracia.
"Apa yang harus kita lakukan, Direktur?"
"Aku akan segera kembali ke Indonesia. Sampai saat itu, lakukan semua yang bisa kau lakukan." Kata Karen tidak memiliki pilihan lalu mengakhiri hubungan telepon.
Karen terduduk lemas di atas tempat tidur dan mengangkat kedua tangan menutupi wajah. Mengapa di saat ia merasa sudah hampir berada di ujung terowongan, tapi malah jurang yang ia temukan? Sampai kapan hidup akan terus mempermainkan dirinya?
***
Steven sedang mengecek dokumen di tangannya dengan serius sambil memberikan lingkaran berwarna merah di beberapa bagian dengan tegas. "Bukankah aku sudah bilang berkali-kali menggunakan jendela Arched untuk ruang makan di hotel? Kenapa semuanya menggunakan Casement?" katanya dengan kening berkerut dan terus memberikan coretan, "Dan pintu, aku pernah bilang kalau pintu Sliding hanya digunakan di sekitar kolam renang, tapi kenapa semuanya menggunakan tipe yang sama?"
Steven baru akan melanjutkan komentar untuk bagian lainnya ketika tidak terdengar respon apapun dari Mario. Ia mengalihkan tatapan ke sofa dan menemukan laki-laki itu sudah tertidur disana sambil memegang dokumen lain di tangan. Steven melirik jam kecil di atas meja dan jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Sebelah tangannya terangkat memijit area diantara kedua mata lalu ia menghembuskan napas panjang. Sejujurnya, ia tidak habis pikir bagaimana para desainer itu memilih interior dan furnitur untuk tipe bangunan yang berbeda. Sepertinya semua jendela dan pintu sama saja di kepala mereka.
Matanya kemudian tertuju ke cangkir kopi yang sudah kosong, kemudian tatapannya berpindah ke laki-laki yang sudah berada di dunia lain di atas sofa di tengah ruangan lalu kembali lagi ke meja. Setelah beberapa saat, akhirnya Steven berdiri dari kursi dengan membawa cangkir. Seharusnya masih ada sisa kopi di dapur, bukan ?
***
Karen berdiri di depan kaca besar di ruang tengah yang mengarah ke taman. Salju sudah turun, menyelimuti semua yang ada di luar, jalan setapak - meja dan kursi serta beberapa tanaman dan pohon berubah menjadi lautan berwarna putih.
Matanya menatap lurus ke depan seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Bila ia keluar sekarang dan berdiri di sana, apakah ia akan mati beku? Atau mungkin hanya menggigil kedinginan? Atau mungkin …
Beberapa ide gila bermunculan di kepalanya, namun tidak ada satupun yang berhasil membuat Karen bergerak dari posisinya. Sepertinya sekarang ia sudah berubah menjadi seorang pengecut. Ia menghela napas panjang dan dadanya menjadi semakin berat.
"Kau pasti akan mati kedinginan bila berada di luar sana, tidak ada kemungkinan lain."
Karen menoleh dan melihat Steven berdiri di sampingnya. "Dan aku sarankan, kau membuang jauh-jauh semua ide yang ada di kepalamu itu." Tatapan laki-laki itu mengarah ke taman di depan dan terlihat serius.
Apakah mulutnya baru saja mengeluarkan suara? tanyanya dalam hati. Lalu, bagaimana mungkin Steven ada disitu? Ia bahkan tidak menyadari sama sekali ada orang di sekitarnya sejak tadi.
Steven berbalik dan membalas tatapan Karen yang kebingungan, "Siapapun bisa dengan mudah menebak apa yang sedang kau pikirkan dengan tatapan mata seperti itu."
"Memangnya ada apa dengan tatapanku?" balas Karen langsung.
Seluruh perhatian Karen tertuju kepada Steven, menunggu jawaban dari laki-laki itu. Namun tanpa ia sadari Steven sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Takut.. Putus asa.. Dan ingin menyerah.. Seolah-olah kau merasa dunia sudah akan berakhir dan tidak ada jalan keluar lain."
Karen ingin membantah, tapi suaranya sulit untuk keluar. Sepertinya malam itu otak dan tubuhnya tidak berfungsi dengan baik.
"Apapun itu, aku berharap kau tidak melakukannya. Bukankah ada aku disini? Jika ada masalah yang tidak bisa kau atasi, aku akan membantumu mencari cara untuk menyelesaikannya." Kata Steven tenang. "Lagipula, aku percaya setiap masalah pasti memiliki jalan keluar. Hanya terkadang waktu yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan yang lain."
Steven melihat ekspresi di wajah Karen mulai berubah. Kerutan di kening gadis itu perlahan menghilang dan bahunya yang kaku menjadi lebih santai. Beberapa saat kemudian, seakan tersadar kedua mata hitam itu mengerjap beberapa kali dan Karen memalingkan wajah sambil berdeham pendek.
"Antonio sudah mengirimkan alamatnya, kita akan berangkat ke Szolnok besok pagi." Katanya agak terbata-bata.
Steven tersenyum lebar. "Jadi, kita akan mengunjungi Dornier, besok?"
Karen menganggukan kepala sekali, "O.." Kemudian ia bertanya tanpa menoleh ke arah Steven, "Apakah kau mengenal Nicholas?"
"Hmm.. Tidak bisa dibilang kenal, hanya saja aku sangat menyukai karyanya." Kata Steven dengan matanya berkilat kagum, "Menurutku, Dornier adalah salah satu desain interior terbaik sepanjang masa. Karyanya tidak hanya berfokus kepada bentuk atau warna, ataupun material yang akan digunakan. Tapi, dia akan menyesuaikan dengan posisi dan lokasi, sehingga apapun itu tidak hanya sebagai pelengkap, namun bisa berfungsi dengan baik untuk orang lain."
Karen mengangguk mengerti, "Tapi, kenapa Antonio mengatakan kalau Nicholas seorang desainer?"
Senyum di wajah Steven perlahan memudar, "Interior terakhir Dornier yang dipublikasikan untuk umum adalah sepuluh tahun lalu. Setelah itu sampai dengan sekarang tidak ada lagi karyanya yang dibuka untuk publik. Hanya saja ada kabar bahwa dia juga menekuni seni lain, tapi tidak ada yang tahu apa itu." Jelas Steven, "Mungkin saja sebagai teman baiknya Antonio mengetahui sesuatu, sehingga bisa berkata seperti itu."
Rasa penasaran Karena mulai muncul, "Sepuluh tahun lalu, apakah terjadi sesuatu dengan Nicholas?"
Tatapan mata Steven berubah seperti sedang mengingat sesuatu. "Kabar terakhir yang aku dengar, Dornier dan istrinya mengalami kecelakaan mobil ketika sedang berlibur di Hawai. Dornier sempat mengalami koma selama beberapa hari sebelum kemudian sadar, namun istrinya meninggal di tempat."
Steven bisa melihat ekspresi prihatin di wajah Karen.
"Omong-omong, bukankah harusnya kalian cukup familiar dengan Dornier?" Tanyanya berusaha mengalihkan perhatian gadis itu, "Aku pernah lihat beberapa desain milik W Studio yang menggunakan koleksi Dornier."
Gadis itu mengangkat bahu, "Entahlah, mungkin saja. Aku harus bertanya kepada tim desain terlebih dahulu untuk memastikan hal itu."
Alis Steven berkerut samar, tidak mengerti maksud Karen. Namun, dari bahasa tubuh gadis itu, ia bisa menyimpulkan bahwa Karen tidak berniat menjelaskan apapun. Ia baru akan berbicara lagi ketika suara Karen terdengar.
"Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan desain yang digunakan atau disampaikan oleh orang-orang. Tugasku hanya memastikan semua interior dan warna yang digunakan sudah sesuai." Katanya terus terang, "Bahkan sebenarnya bisa dibilang semua desain yang kami keluarkan bergantung dengan selera atau keinginanku."
Steven menggeleng tidak paham, "Maksudnya?"
Karen berbalik menatap Steven, "Maksudnya adalah aku tidak pernah membaca ataupun mencari desain karya arsitektur atau desainer terkenal. Semuanya hanya berdasarkan pendapat dan pengamatanku saja." Gumamnya acuh tak acuh.
Bagi orang yang sudah cukup lama mengenalnya dan pernah bekerja bersamanya pasti tahu tentang kemampuan Karen di bidang seni. Sesuatu yang dianggap semua orang sebagai bakat, namun baginya lebih seperti kutukan. Dimana karena hal kecil itu, hidupnya menjadi seperti ini, berada di dalam sangkar mewah ayah dan ibu tirinya. Dan hari yang paling dibencinya adalah ketika ia tahu bahwa semua talenta ini menurun dari ibu kandung nya yang entah ada dimana.
"Sepertinya aku mulai mengerti kenapa Antonio dan Dornier menyukai desain W Studio." Komentar Steven tersenyum tipis.
Karen hanya menatap laki-laki itu dan menunggunya melanjutkan kata-kata selanjutnya.
"Sekelas Antonio dan Dornier ketika melihat sebuah gambar, mereka bisa dengan mudah menebak apa yang dipikirkan oleh desainer tersebut. Dan ketika melihat desain kalian, mereka menemukan sesuatu yang berbeda, karena bisa merasakan apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan bukan orang lain. Singkat kata, mereka bisa melihat dirimu yang sebenarnya di gambar tersebut bukan potongan dari beberapa tempat yang kemudian digabung."
Steven menatap Karen lurus-lurus, "Sebagian besar orang hanya mencontoh dan mengikuti, hanya sebagian kecil yang berani dan mau menunjukkan siapa dirinya. Aku rasa mereka melihat keunikan itu di dalam desain kalian, dimana ada berbagai macam emosi dan perasaan yang kau tuangkan disana bukan hanya sekedar gambar."
Karen terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak menemukan kata yang tepat untuk membalas Steven. Apakah ada yang salah dengannya? Bagaimana mungkin kata-kata yang diucapkan oleh orang asing, yang baru dikenalnya beberapa hari terasa begitu menenangkan hati dan pikirannya?
Tapi, ada sesuatu yang mengganggunya. Ia yakin ini bukan pertama kalinya mereka bertemu. Pasti.. Di suatu tempat, entah dimana, sebelumnya mereka pernah bertemu.