Meskipun begitu, ada hal besar yang harus aku selesai saat ini.
Selasa, pagi hari ini awan terpapar layaknya tersapu rapi di langit biru. Sama seperti biasanya Ishiki menungguku di depan rumahnya.
Seperti kebiasaan biasanya, Ishiki akan berjalan berdampingan dengan Yuuki dan mengubah posisi itu ketika Rainata datang dan berjalan di depan menggantikannya.
Hari ini Ishiki terlihat sangat berbeda, padahal hanya sebatas mengganti gaya rambut nya. Rambut yang biasanya terurai kini terikat seperti buntut kuda.
Rambut itu bergoyang-goyang, membawa pandangan mataku tak bisa teralih darinya.
Saat berjalan berdampingan seperti inipun mataku tak bisa aku kendalikan.
Senyum cerah di wajahnya selalu terpancar di sepanjang jalan, membuat perasaanku sedikit tersirat kata-kata kesal pada diriku sendiri.
Apa yang harus aku lakukan tentang Ryuga?
Mungkin ikat dari simpul bunga tak akan terlepas dengan sendirinya, tetes air yang jatuh dari langit bahkan bisa dijelaskan oleh akal, karena itu siapa saja tolong aku, aku ingin menghilangkan perasaan aneh ini.
Meskipun aku tahu bahwa bunga itu akan tetap layu, izinkan aku untuk tetap menjaganya.
Kelas terasa sangat sepi, setelah perpisahan dengan Ishiki di depan kelasnya, aku juga menghilangkan senyum kecut yang kubuat.
Rainata duduk di kursinya sambil memandangi buku di tangan tanpa terlihat sedikitpun membalik halaman itu.
Billy seperti biasanya, bahkan pada buku yang sama Billy duduk seolah tak peduli dengan orang lain.
Aku yang juga sedang menunggu jawaban dari diriku sendiri memandang pohon yang ada di tengah lapangan itu sambil memegang buku tanpa sedikitpun melirik kearahnya.
"Kenapa denganmu?"
Yah, kata-kata itu berasal dari orang yang tak pernah terduga akan mengatakannya.
Dengan tegas Billy menutup buku dengan menekup kedua telapak tangannya seolah memintaku untuk melakukan hal yang sama sepertinya.
"Hah apanya?"
Meskipun mataku tertuju pada wajahnya yang tanpa ekspresi, matanya sama sekali tak tertarik menuju kearah ku.
"Bukannya aku sok tau, tapi biar ku tebak apa yang lagi kau pikirin."
Tangan Billy berlahan meletakan buku itu di atas mejanya, kemudian tangan tadi mulai menyapu poninya seolah sedang menyisir, membuat wajah Billy yang terlihat sempurna.
Sebenernya aku nggak mau bilang gini, tapi jika dia tetep gunain gaya rambut ini pasti bakal banyak gadis-gadis yang ngedekatin dia.
Aku mengangguk kecil, seolah memberikan tanda untuk memberikan hak untuknya.
"Kau lagi di pilihan antara pacar atau teman kan?"
Kata-kata itu tak terlalu berarti tapi hatiku sedikit kesal.
Apa permasalahan ini hanya sebatas itu?
Setelah mengatakan itu Billy memandang jauh kearah luar seolah sedang menatap awan yang terlihat membentang besar.
"Hey Zell apa kau suka awan?"
Yah, pertanyaan yang cukup aneh untuk sekarang, aku akan menjawab seasal mungkin.
"Yah, aku juga tak tahu, tapi memandang inya ngebuat aku lebih tenang."
"Sebenernya, aku ini suka awan, aku juga pernah bermimpi untuk terlahir menjadi salah satu dari mereka."
Apapun yang sedang Billy coba sampaikan padaku, aku juga tak begitu mengerti, tapi banyak hal baru yang aku ketahui dari dirinya.
Bisa bilang perasaan kami sama, hanya saja mata dari Billy bisa mewakili semua penderitaan masa-masa SMP-ku, jadi mungkin aku bisa sedikit lebih dekat dengannya.
Sebelum aku menjawab pernyataan itu, Billy memalingkan pandangan kembali kearah buku yang entah kapan dia membukanya lalu sedikit berbicara seperti sedang menyadarkan diri sendiri.
"Yah, walaupun aku sadar bahwa awan juga terpikat sama angin."
Sekali lagi aku memutuskan tekat ku untuk lebih mengenal orang misterius ini.
"Kalo kau gimana? Gimana seandainya kau yang ada di posisiku saat ini?"
"Hah? Aku? Mana mungkin itu terjadi kan?"
Setelah mendengar reaksi tak peduli olehnya yang sama seperti biasanya, aku kembali mengangkat buku yang juga sempat kuletakkan di atas untuk mengikutinya.
"Tapi, jika seandainya itu aku, aku akan memilih teman."
Jawaban mendadak Billy membuat suasana hatiku terasa sedikit lebih kacau, kenangan bersama Ishiki dan raut wajah serta senyum manisnya terlintas seolah reka ulang adegan dari beberapa hari yang telah berlalu.
Karena aku tak bisa merespon perkataan Billy, kami kembali ke dunia masing-masing, bersamaan itu juga keramaian dari murid yang mulai memasuki ruangan ini membuat konsentrasiku terpecah kemana-mana.
Sosok Ryuga juga datang dengan si ketua itu, sedang menatap tajam kearah ku lalu membuangnya begitu saja.
Aku benci kecanggungan antara kami saat ini.
Sekolah berakhir tanpa adanya hal aneh, tanpa adanya hal berarti sama seperti yang aku inginkan, meskipun perasaan gelisah tanpa sebab ini terus menghantui pikiranku, aku tak bisa menyembunyikan perasaan ingin bertemu dengan Ishiki.
Semua orang pergi dengan beberapa gerombolan-gerombolan kecil sambil berbicara satu sama lain.
Billy seperti biasanya sama seperti hari-hari sebelumnya, begitu juga dengan Ryuga yang mengulang kebiasaannya untuk pergi latihan bersama temannya itu.
Seperti kebiasaannya yang lainnya, kebiasaannya Ishiki datang menjemput ku saat kesenyapan mengelilingi ruangan ini.
Langkah kaki kami perlahan menyusuri jalan pulang, saat di sekitar perkonflekkan kami, Ishiki sedikit menarik tas punggungku membuatku mengikuti arah tangan itu membawa ku.
Taman ini adalah taman yang memang sangat dekat dengan rumah kami, diliputi olah cahaya matahari sore taman ini benar-benar terlihat seperti jutaan pemandangan dari apa yang pernah aku lihat.
Ishiki duduk di kursi taman, duduk di area ujung dari tempat duduk itu seolah memintaku untuk duduk di sebelahnya.
Daun-daun yang gugur dari pohon yang menaungi kami, semilir angin yang membawa rambut pendek Ishiki berjalan melayang kearah ku dan memberiku aroma khas dari Ishiki.
Tiba-tiba saja, angin kencang berhembus bersamaan dengan kepala Ishiki yang perlahan jatuh kearah bahuku.
Tung... tunggu dulu! Tahan! Kenapa ini? Oke, Zell kau harus tenang!
Aku menghembuskan nafas panjang untuk menghilangkan perasaan dari ketidakjelasan yang kian menyatu.
Jika seperti ini terus, mungkin aku akan kehilangan segalanya.
"Ishiki, aku nggak mau ngelanjutin hubungan ini, kita putus aja!"
Aku mengatakan itu sambil berdiri melepas kepala lembut yang sedang bersender cantik di bahuku.
Pandanganku fokus kedepan, tak berani menatap wajah apa yang sedang ada di antara wajah indahnya.
"Eh? Bohong kan? Ke... Kenapa?"
Seperti orang yang sedang menahan sesuatu, Ishiki tak bergerak sedikitpun dari yang sedang ku lirik.
"Aku sama sekali nggak ngerti apa yang kau maksud sama suka, aku juga ngerasa hubungan ini bikin aku nggak nyaman, semakin aku dekat denganmu perasaanku nggak karuan, aku membencimu!"
Tepat ketika aku mengatakan "Aku membencimu!" Aku menghadapkan pandanganku kearahnya.
Matanya berkaca-kaca, perlahan air mata keluar dan membasahi pipi putih miliknya.
Bersama dengan itu, air hujan turun saat hari sedang panas terik, membawa kesan bahwa ini memang akhirnya.
Ishiki berlari tanpa mengeluarkan satu katapun, mungkin dia sudah kenyang dengan bualan ku.
Aku menarik lebar kerah baju untuk menghentikan keringat dingin ini lalu kemudian kembali duduk sambil bersender di bangku yang sama.
Lihatlah, gampang bukan? Menjadi orang yang dibenci terkadang lebih mudah daripada menjadi orang yang dicintai.