Yogyakarta.
Tak pernah sekalipun terbesit dalam hati dan pikiran Freya untuk menetap sementara di kota penuh langit senja ini.
Sebut saja takdir.
Meninggalkan indahnya kota bandung sebagai zona nyamannya untuk menemukan keindahan yang baru, meskipun tak seeksotis pulau Bali favoritnya.
Yogyakarta punya cerita kata mereka.
Dan Freya Shefani Ginanjar hadir untuk menorehkan cerita baru.
"Halo Bu?"
Dibalik telfon itu terdengar berisik dari tempat yang ternyata sangat ia rindukan, sebut saja rumah.
"Teteh, hari ini mau ospek hari pertama ya?" Tanya Ibu padanya membuat Freya mengangguk semangat meskipun Ibu tak melihat anggukan semangat Freya, setidaknya pagi ini Freya bersemangat untuk hari-harinya.
"Udah sarapan belum?"
"Udah kok Bu. Ibu sama Ayah hari ini ada jadwal apa?" Ah, gadis itu harus menjadi seorang multi talented hari ini. Menggunakan satu tangan untuk menggenggam handphonenya, sedang sebelah tangan lainnya untuk membereskan atribut wajib yang dibawa ke kampus.
"Loh ayah kan lagi ke Jakarta, teteh lupa ya?"
Belum sempat gadis itu menjawab, ibu kembali memotong pembicaraannya."Teh? Telfonnya ibu matiin dulu ga apa-apakan? Ibu harus siap-siap ke acara. Assalamualaikum teh."
"Iya bu. Waalaikumsalam."
Telfon itu terputus, kemudian tangannya kembali tergerak untuk menekan satu nomer penting bagi hidupnya. Namun sayang, panggilan itu hanya berakhir dengan nada-nada yang membuatnya menggeram kesal.
Ayah.
Berkali-kali Freya mencoba menghubungi ayahnya namun tetap tak ada jawaban. Gadis itu menghela nafas panjang. Selalu begitu, disaat rindu yang begitu memupuk relung hatinya, Freya hanya bisa menekan panggilan hingga diangkat atau mencoba meminta bantuan seseorang, siapalagi kalau bukan,
Freyaaaw
Aa Dim, ayah dimana ya?
Biasanya, aa Dimas atau biasa yang disebut malaikat pelindung oleh Freya ini tak akan pernah membalas lama.
Terbukti, 5 menit setelahnya Aa Dimas— sang ajudan kesayangan ayahnya itu membalas.
Aa Dimas
Bapak barusan masuk ruang rapat teh. Ada pesen?
Mendapat balasa seperti itu, Freya hanya bisa tersenyum masam.
Bodoh.
Freya merasa bodoh, kenapa sih masih aja menaruh harapan pada manusia?
Freya tuh heran. Gobloknya luar biasa, ga ngerti nular dari siapa. Berkali-kali jatuh di lubang yang sama tapi engga pernah kapok.
Tiba-tiba air matanya mengalir, hidup Freya begitu berubah.
Ketika dulu semua terasa baik-baik saja, kini tidak.
Ketika dulu Freya merasa rindu kepada siapapun dan untuk siapapun, akan selalu ada lengan kekar yang siap menampung serta mengukungnya dalam zona bahagia.
Dulu,
Tak ada halangan bagi Freya untuk bersikap semaunya berkata,"aku kangen Ayah. Aku kangen Ibu."
Freya, bangun!
Bisik hati kecilnya. Dan benar saja, sudah waktunya gadis itu untuk berangkat menuju tempat baru yang ya tak begitu ia inginkan.
🌱
"Nanti pulangnya jam berapa?"
Freya, yang sedari tadi hanya terdiam menatapi betapa teduh tempat yang akan bertemannya beberapa tahun kedepan sontak menoleh pada sumber suara.
"Hm?"
Lelaki itu menghela nafas pelan, tak berat seperti biasa.
"Nanti kamu pulangnya jam berapa?"
Freya buru-buru membuka handphone untuk mengecek jadwal ospek pertamanya hari ini,"Di jadwal kelar jam 3 sih Gi."
"Oke." Ucapnya singkat, matanya menatap kedua bola mata hitam legam milik Freya dan kembali berucap,"Semangat ya ospeknya."
Freya tersenyum. Gadis menyentuh singkat kedua pipi tirus dihadapannya.
"Aku masuk. Kamu hati-hati ya pulangnya, Giandra."
Freya pun turun dari mobil Giandra seraya melambaikan tangan pada tunangannya itu. Iya, Giandra Putra Sanjaya tunangannya sejak satu tahun yang lalu.
Mereka bukan sepasang sekasih pada awalnya. Mereka bertemu akibat perjodohan yang beruntungnya tak ada yang menolak.
Freya, si mahasiswa kedokteran gigi menerima Giandra menuntunnya kembali Dan Giandra juga menerima Freya untuk masuk kedalam hidupnya.
Sepanjang kakinya melangkah menuju Auditorium Fakultas Kedokteran Gigi universitas Gajah Mada itu, segala kenangan yang tak ingin dikenang Freya berputar dengan begitu baik, entah apa penyebabnya. Termasuk masa lalu dan Giandra.
Tempat itu seolah begitu lekat dalam bayangannya tapi Freya lupa, tak mengerti kenapa tempat ini begitu familiar, padahal ia tak pernah meninggalkan bandung sejak kecil.
Tanpa terasa Freya memasuki ruangan yang sudah ditata sedemikian rupa untuk mahasiswa baru. Freya masih mencari kelompoknya yang kebetulan bernama "periodonsia", ingin bertanya tapi ia tidak kenal siapa-siapa hingga berakhir mencuri-curi papan nama mahasiswa lain.
Namun sayang, tak ada tanda-tanda Freya menemukan teman sekelompoknya. Gadis itu mendengus pelan, mau tidak mau mengambil tempat yang ada di belakang.
Bukannya Freya sombong, tapi dirinya terlalu takut untuk sekedar menyapa orang lain.
Hingga tanpa sadar, matanya menangkap ke salah satu papan nama yang berwarna sama dengan kelompoknya. Dengan segala keberanian, gadis itu menarik pelan tangan seseorang, membuat empunya menoleh.
"Hai?" Sapanya canggung. Egh, Freya.
"Halo."
Freya dan kelemahannya benar-benar sangat membuat suasana begitu awkward. Beruntunglah sang lawan bicara memiliki inisiatif untuk membalas sapaan Freya."kamu kelompok periodonsia juga kah?"
Freya mengangguk kaku. Dalam hati gadis itu terus memaki dirinya yang tak pandai bergaul.
"Nama aku Dira, aku dari Solo." Ucapnya sembari mengulurkan tangan yang segera disambut hangat oleh Freya.
"Halo, aku Freya dari bandung."
Acara perkenalan singkat itu tak berlangsung lama karena interupsi kakak tingkat membuat mereka harus membubarkan diri untuk mendekat.
"Eh yuk kesana, udah mau mulai." Ajak Dira yang dibalas anggukan singkat oleh Freya.
🌱
Katakanlah Senin sampai Minggu adalah hari siang Freya. Tapi pada kenyataannya, hari ini adalah tersial dari yang paling sial yang pernah Freya dapatkan.
Dihari pertama ospek Fakultas, gadis itu sudah mendapatkan sesuatu yang ugh sangat memalukan.
Dia harus berdiri di hadapan ratusan mahasiswa fakultas dan dengan microphone di tangannya, Freya membacakan surat ter—— tidak dapat dijelaskan lah tingkat malunya.
Isinya begini,
Frey, i'm sorry for this clingy words. I know you never saw me like this before. But, because this is your first day fight for something new, i just wanna say,"Fighting! 143."
Sincerely,
Yours.
Begitulah kira-kira.
Yang berakhir dengan berbagai sorakan "cieee" dari yang lainnya.
Namun, dibagian akhir Freya tak menyebutkannya. Karena menimbang-nimbang tidak etis menyebut kata "tunangannya" diarea kampus.
Dan saat istirahat ini, Freya yang masi sibuk dengan penyesalannya malah harus mendengar lengkingan tak enak dari Dira. Teman barunya itu terus-terusan mengata-ngatai Freya menyangkut surat tadi.
Ditambah tatapan dari mahasiswa lainnya.
Freya merasa ingin mati saja.
Jam istirahat pun habis, namun ledekan untuk Freya tak pernah ada akhir sepertinya. Teman-teman satu kampusnya itu masih saja memberikan senyuman penuh arti pada Freya.
Sepele, karena Freya lupa jika dilarang membawa peralatan/barang sesuai dengan yang di ucapkan panitia ospek. Dan saat pemeriksaan, dalam tas Freya malah ditemukan sebungkus biskuit dengan surat memalukan tadi, serta cincin yang melingkar di jari manisnya.
Oke, untuk surat Freya masih bisa menyalahkan Giandra nanti.
Tapi untuk cincin, gadis itu murni merasa bodoh.
"Frey!!!" Pekik Dira setengah berbisik membuat lamunan Freya harus buyar entah kemana.
"Apasih Dir?"
"Kamu dapet jatah nyari puzzle diarea Kanina."
"Sama kamu kan?"
Dira menggeleng."makanya Freya jangan bengong terus. Dengerin mbak Gita ngomong apa, sku dapet di area RSGM."
"Dir aku sama kamu aja, ya?"
"Engga bisa. Nanti kita dimarahin, yuk jalan ke kumpulan."
Dengan bahu beratnya Freya berjalan tak semangat. Dia sudah sangat nyaman bersama Dira. Kenapa sih harus dipisah-pisahkan lagi? Begitulah Freya merutuk dalam hati.
FKG. Fakultas Kebanyakan Gadis. Itu benar adanya. Terlihat dari pembagian kelompok, dari 20 kelompok yang ada hanya 11 kelompok saja yang ada laki-lakinya. Itupun cuma satu. Dan beruntung dikelompoknya Freya ada, srtidaknys jika ada sesuatu yang sulit dilakukan oleh kaun hawa masih ada sisatu adam itu bisa menjadi hero untuk gadis-gadis dikelompoknya.
Saling diam selama 10 menit, hingga ada satu anak yang inisiatif untuk membuka kumpulan mereka, dan membagi lagi kelompok itu berpasangan.
Entah ini sial atau tidak, yang jelas si Freya berpasangan dengan laki-laki itu.
Freya yang merasa kesal diabaikan, akhirnya memberanikan diri untuk mengajak berkenalan. Bukan karena Freya tertarik, ini masalah puzzle yang harus lengkap. Jika diantara mereka tidak ada yang mau memulai, tidak akan selesai bukan?
"Um... ekskavator.." panggil Freya ragu.
Lelaki yang disebelahnya menoleh,"gue?"
Freya mengangguk lagi."itu—" tunjuk Freya pada papan nama lelaki dihandapannya. "nama kamu di sini kan ekskavator, tapi kalo misalnya aku mau manggil, masa manggilnya ekskavator? Aneh ga sih?"
"Hahahaha. Lo mau ngajak gue kenalan? Boleh lah caranya. Unik."
"Ih engga gitu. Kita kan dapet tugasnya pasangan. Tapi gimana kita mau kerja kalo misalnya kita masih diem-dieman kayak gini? Aku engga mau dihukum."
Lelaki itu tergelak lagi membuat Freya semakin bingung. Gila kali ya?
"Probe?"
"Hm?" Jawab Freya. Oh iya, Freya punya nama samaran—probe. Jadi selama masa ospek di fakultas, tidak ada yang boleh memanggil teman dengan nama asli, tapi menggunakan nama-nama samaran yang berhubungan dengan kedokteran gigi.
"Gue jingga." Balas lelaki itu sembari mengulurkan tangan.
"Aku Freya, kamu anak Jakarta ya?"
Kini mereka tengah jalan berdampingan memulai aksi mereka untuk mengumpulkan puzzle-puzzle itu.
"Cuma tinggal doang sih di Jakarta. Gue tebak, lo bukan anak Jawa."
"Hahahaha, iya aku ga jawa kok."
Jingga terlihat berpikir sebentar dan kemudian kembali menebak,"terus apa dong? Jakarta juga? Tapi masa sih? Lo ngomongnya aku-kamu. Kan di Jakarta aku kamuan itu buat pasangan lovey dovey?"
"Coba deh Jingga tebak aku darimana."
"Yaelah. Ini kan gue udah nebak dari tadi."
"Hahahaha."
"Hmm Bandung?" Tebak Jingga yang akhirnya disambut tepuk tangan hebat dari Freya. Meskipun dalam hati Jingga meringis, jawaban yang cuma kayak gitu bisa bikin Freya kesenengan.
Kegiatan ospek untuk hari pertama mereka akhirnya telah selesai, meskipun masih ada hari-hari berikutnya yang lebih berat setidaknya hari pertama suda terlewati dengan baik, begitu kata Freya.
Gadis itu berpisah dengan Nisa yang kebetulan harus berjalan ke kantong parkir dan Freya yang harus menunggu Giandra digerbang.
"Freya!"
Gadis itu menoleh kesumber suara. Dan sedikit kaget melihat Jingga sedikit berlari untuk menghampirinya, terlebih Jingga tidak sendiri namun bersama perempuan dan mereka terlihat begitu akrab.
"Hai Jingga. Kenapa lari-lari?"
"Pengen ketemu lo sebelum pulang?"
Kening Freya berkerut merasa aneh dengan pernyataan Jingga.
"Canda Frey. Serius banget sih lo, hahahaha." Balas Jingga. Lelaki berlesung pipi itu menarik tangan perempuan disebelahnya, dan mengulurkan pada Freya,"Frey, kenalan sama kembaran gue dong."
"Hah? Kamu punya kembaran?"
Jingga mengangguk. "Ay, kenalan." Bisiknya.
"Perempuan disebelah Giandra langsung memberikan senyum terbaiknya pada Freya meskipun tetap menahan kesal karena ditarik paksa oleh kembarannya ini.
"Halo Freya! Kenalin nama gue Mentari. Panggil Ayi aja biar akrab, hehehe. Jingga juga manggil Ayi kok."
Freya yang semula merasa canggung, perlahan mulai larut. awalnya gadis itu mengira bahwa saudara Jingga memiliki sifat yang dingin. Tapi ternyata tidak, saudara kembar itu baik! Dan Freya sudah memantapkan diri untuk berteman dengan mereka.
"Oh Halo Mentari, salam kenal ya..."
Kemudian tak lama, jemputan Freya tiba dan mereka harus berpisah saat itu juga. Meninggalkan sepasang saudara kembar itu dengan wajah yang sulit untuk di pahami.
"Ga, Freya udah punya pacar."
Itu bukan sebuah kalimat pernyataan biasa dari seorang Mentari. Tapi sebuah peringatan keras agar Jingga mengerti situasi. Tari tidak buta untuk merasakan bahwa saudara kembarnya ini ada maksud berbeda saat mengenalkan Freya padanya.
"Ya terus? Baru pacar kan Ay?"
"Ga. Jangan ganggu punya orang lain."
"Siapa yang ganggu? Emang gue ngapain sih? Padahalkan gue ngenalin Freya biar kita disini ada temen, ga asing. Suudzon mulu, heran."
Mentari memutar bola matanya malas. Jingga dan alibinya memang sulit untuk dibantah.
"Ya ya. Whatever. Jangan bodoh aja pokoknya." Balas Mentari sembari berjalan meninggalkan Jingga yang masih tersenyum bodoh disana.
"Ay, selagi janur kuning belum melengkung gue masih ada kesempatan ga sih?"
"Jingga!"
"Galak bener."
"Jangan ngomong aneh-aneh lagi lah."
"Gue cuma nanya mak lampir!"
"Lagian cinta ga harus memiliki kok," tambahnya lagi yang membuat Mentari menghela nafas lelah.
. 🥀to be continued🥀