Mentari masih mendiamkan Jingga. Ini suatu hal yang menakjubkan mengingat Mentari biasanya tak pernah bisa berjauhan dari Jingga barang sehari saja, tapi ini nyaris tiga hari telah mereka lewati.
Seperti magnet, biasanya mereka selalu bersama.
Melihat hal tersebut Jingga sedikit lega meskipun dalam hati masih bersedih karena dalam perang dingin, setidaknya Mentari perlahan mulai membuka diri untuk orang baru selain Dirinya.
Freya, gadis itu entah kenapa sangat bisa meruntuhkan dinding pertahanan si kembar.
"Ay, kamu ga mau nyamperin Jingga?" Bisik Freya pada Mentari. Kebetulan mereka sama-sama tengah menikmati makan siang di kantin hanya berbeda meja saja.
Dari jauh Freya juga melihat wajah sendu Jingga yang makan sendirian.

"Biarin Frey, biar dia sadar kalau dia salah. Dia aja bahkan ga minta maaf, malah mengalihkan pembicaraan."
Freya hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Gadis itu berusaha menjadi pendengar yang baik, karena jika Freya banyak berbicara akan malah terkesan menggurui padahal dia tidak tau apa-apa.
"Heh! Kalian berdua lagi ngomongin apa sih? Kok aku ga di ajak?"
Freya dan Mentari lantas terkikik geli melihat wajah cemberut Dira saat ini. Berpura-pura kesal, gadis itu sedikit menghentakkan makanannya di meja, membuat Freya dan Mentari menatapnya bingung.
"Ga gitu Dir. kan tadi kamu lagi pesen makan makanya engga ada cerita."
Dira masih berpura-pura tidak mendengar.
"Dir kamu marah? maafin ya?"
"Hahahahaha. Aku bercanda tau! Kok kalian malah serius banget sih?"
"Hhh Dira, sumpah ya, bikin panik! Aku udah ngerasa gak enak tau jadinya sama kamu, beneran deh. Aku takut kamu marah beneran, takut bikin kamu kesel juga."
"Hahahahaha kamu lucu banget deh Mbak matahariku, selaw saja, santuy. Aku tuh ABBC alias anti baper-baper club. Lagian kalian sih mau mau aja aku kerjain haha." Balas Dira sambil terkikik, tak lama gadis itu berdiri dan kembali berucap,"bentar, aku lupa beli minum. Punyaku jangan dimakan ya hehehehe."
Mentari dan Freya hanya memutar bola matanya malas.
"Dira," panggil seseorang.

Gadis itu menoleh ke sumber suara. sedikit tersentak kala mendengar duara yang tak begitu asing memanggil namanya.
Saat itu tidak tau mengapa detak jantung Dira berdegup lebih kencang dari biasanya, entah ini hanya sebuah keterkejutan atau memang ada gejolak aneh yang dirasakannya?
"kenapa Ga?" dengan wajah setenang mungkin Dira bertanya pada Jingga.
ya lelaki yang memanggilnya tadi adalah seorang Jingga.
namun, tidak hanha Dira yang merasakan degupan kencang pada jantungnya, lelaki itu pun. sekarang Jingga hanya menggaruk tengkuknya yang sebenernya tidak gatal. Pengalihan isu, pengalihan rasa gugup.
"duh sorry ya gue ganggu lo nih." ucapnya lagi.
dira tersenyum,"santai aja kali Ga.
"Tolong kasih ini ke Mentari ya Dir."
Dengan senang hati Dira menerima. Senyuman itu terus mengembang diwajah Dira seraya melihat kedus lesung pipi diwajah Jingga.
"Dan ini satunya buat—" belum sempat jingga mengelesaikan ucapannya Dira terlanjud memotong sembari mengambil kotak bekal tersebut dari tangan lelaki itu.
"selo Ga! makasih bsngst loh udah ngasih, gur balik ke anak-anak ya hehe takut udah lama nunggu. Bye Ga!!"
Duh jingga bisa engga sih ga bikin jantung copot? Fix ini jingga ngasih aku, ucap gadis berponi itu dalam hati.
selanjutnya Dira berlalu begitu saja meninggalkan Jingga yang sedang kebingungan dengan apa yang terjadi barusan.
🌱
Hari ini, mungkin adalah hari yang tidak baik bagi Freya. Tiba-tiba saja Dira mogok bicara, padahal tidak biasanya gadis itu tidak mau berbicara padanya.
Alasan klasik, PMS.
Padahal seingat Freya mereka tadi sholat bersama.
Jarak kampus dan apartemen tak terlalu jauh, malah tergolong dekat. Ya hanya saja, kapan sih jalan kaliurang tidak macet jika sore begini?
Hanya ada suara Nycta Gina dan Desta yang mengisi kwheningan di dalam mobil Giandra. Gadis itu malah menyandarkan kepala pada kaca, menatap jalanan yang masih stuck disana.
Sedang Giandra?
Hanya menatap lurus jalanan.
Giandra, hanya sadar posisinya dimana.
Hingga pada akhirnya, mobil mereka berhasil menembus jalanan dan memasuki area parkir apartemen Freya. Masih sama, mereka berjalan berdampingan namun tak ada suara.
Giandra membuka pintu apartemen Freya dalam diam. Tangannya tergerak untuk mengambil segelas air dingin dibelakang, dan masih tanpa suara giandra meyodorkan pada kekasihnya.
Gadis itu sedikit tersentak dari lamunannya saat merasakan hembusan nafas hangat dari seseorang.
Dia tersenyum.
Tanpa membalas, Freya memeluk Giandra erat. Menempatkan kepalanya pada dada bidang Giandra.
"Mas Gian,"
Oh, panggilan Mas pada Giandra kembali terdengar, sebenarnya bukan hal yang salah karena memang Giandra 1 tahun lebih tua dari Freya. Namun panggilan itu diucapkan jika Freya sedang merasakan sesuatu yang berarti tidak sedang baik-baik saja.
"Mas?"
Giandra tak menjawab, lelaki itu hanya menggumkan sesuatu yang tak terlalu jelas.
Pelukan mereka terlepas.
"You okay?"
Freya tak langsung menjawab, gadis itu malah melingkarkan kedua lengannya tepat pada leher Giandra. Mendekatkan wajahnya hingga kedua hidung mereka bersentuhan.
Gadis itu memejamkan matanya, berharap akan terjadi sesuatu diantara mereka, tapi nyatanya Giandra masih diam disana.
"Istirahat Frey."
"Kamu lagi ga baik-baik aja."
Freya menghela nafas lelah. Kenapa Giandra terlalu mengerti dirinya? Kenapa Giandra terlalu tahu isi kepala kecilnya? Dan kenapa begitu sulit untuk berbagi pada Giandra?
"Gi.." bisik Freya.
Sedang lelakinya hanya menatap tanpa berminat untuk memotong ucapan Freya.
"Dira tadi ngediemin aku." Adu Freya padanya. "Padahal kita lagi baik-baik aja, aku uah minta maaf. Tapi Dira cuma ngeliatin. waktu aku tanya Mentari dia cuma senyum dan bilang kalau Dira lagi PMS."
"Aku bingung Gi, kenapa rasanya semua orang itu terlalu gampang untuk meninggalkan orang lain tanpa penjelasan?"
Deg
Jantung Giandra malah berpacu cepat mendengar kalimat terakhir Freya. Entah ini hanya kebetulan semata atau memang ada sesuatu yang membuat Giandra begitu.
"Aku ngerasa ini bukan kali pertama aku kayak gini Gi. Aku cuma butuh kenapa alasannya. Tapi orang-orang seolah mengabaikan sesuatu yang penting seperti itu. Bukan masalah hal kecil atau besar, tapi—"
"Ssshhh.. aku ngerti."
Dengan cepat Giandra meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir Freya. Gadis itu tak bisa dibiarkan terlalu banyak pikiran. Hal itu akan membuat dirinya merasa tertekan dan jika berlebihan akan ada masalah lain yang muncul.
"Kita minum obat kamu dulu ya?"
Freya tersenyum masam. Obat lagi? Kenapa setiap da bercerita akan berakhir dengan kalimat permintaan kita minum obat kamu dulu ya? Separah itu kah dirinya?
Dan masih dengan pertanyaan yang sama,
"sebenernya ini obat apa sih Gi?"
🥀to be continued🥀