"Aku mau marah!" Ucap Freya tiba-tiba saat mereka baru saja menginjakkan kaki di apartemen gadis itu. Giandra menatapnya bingung, perubahan mood Freya ini selalu membuatnya terkejut.
Melihat Gian yang hanya menatapnya tanpa minat bersuara, membuat Freya menghentak-hentakkan kakinya. Siapa sangka gadis yang terlihat sangat kalem ini sebenarnya adalah gadis manja?
"Kok diem sih Gi? Kan aku udah bilang aku marah?!"
"Kenapa?"
"Ih, kamu pura-pura ga tau ya?" Tanyanya lagi dengan nada menuduh pasti.
Giandra kembali mengernyit heran, lelaki itu bahkan mengecek handphonenya, mencoba mencari celah untuk menemukan salahnya dimana.
"Mas Gian ga peka!"
"Kenapa sih, hm?"
Giandra tidak peka. Itu adalah pernyataan yang paling tidak bisa dipercaya. Giandra itu sensitif, terhadap apapun. Hanya saja Giandra tidak ingin ambil pusing dengan pertanyaan sok pedulinya.
Tanpa aba-aba Giandra meraih Freya agar masuk dalam kungkungannya. Sesekali menciumi puncak kepala Freya, dengan penuh sayang tentunya.
"Mas Gian jahat tau ga?"
Giandra hanya menarik nafas dalam. Bukannya tak ingin melawan tapi lebih baik mengalah. Mungkin dia melakukan kesalahan.
"Gara-gara kamu aku diceng-cengin satu kampus! Huhu"
"Loh kenapa? Emang salah aku antar jemput kamu?"
Oh ralat. Giandra tidak sepeka itu ternyata.
Freya melepas paksa pelukan mereka dan menatap Giandra semakin tajam,"kamu pake nulis surat segala sih! Kan aku jadi dihukum Giandra jelek!!!!"
"Tau ga sih kalo aku tuh engga Dibolehin ngisi tas selain sama barang barang yang disuruh? Tau ga sih tadi surat aku dibacain di depan aula?! Didenger sama dua angkatan!! Giandra sumpah aku malu banget! Huhuhu"
Deg.
Jantung Giandra berpacu cepat, rona merah diwajahnya pun sudah tak bisa disembunyikan lagi. Alhasil lelaki itu hanya menggaruk tengkuknya canggung, sudah kepalang malu, ya mau gimana?
Niatnya malah romantis malah jadi begini.
Kasian sekali ya oknum yang bernama Giandra ini.
"Terus kok kamu diem!?"
Lelaki itu tersentak.
"Tuhkan! Kamu ga ngerasa bersalah apa udah bikin aku malu?! Huaaa Gian!"
"Aku minta maaf."
Mata Freya membulat,"Gi? Serius?"
"Emang kenapa? Aku serius minta maaf."
"Tapi? Gitu doang?"
"Y-ya terus gimana?" Balas Giandra kikuk.
Dengan berat hati, Freya menghirup nafas dalam sembari memejamkan mata begitu erat. Ingin mengucapkan berbagai macam umpatan juga tidak bisa karena dia tidak terbiasa mengumpat.
Tahan Frey, tahan. Giandra cuma kelewat polos kok Frey, giandra ga sejahat itu, begitulah bisik-bisikan kecil yg masuk ketelinga Freya.
Dan dengan berat hati gadis itu meninggalkan Giandra yang hanya bisa berdiri tanpa melakukan apa-apa.
🌱
Jogja dimalam hari bersama langit cerahnya adalah favorit Mentari dan Jingga untuk saat ini. Sejak tiba pertama kali, tidak pernah sekalipun sepasang adik kakak kembar itu melewatkan waktu senja dan malam di langit Jogja.
Jika tidak terlalu malas, mereka akan menghabiskan waktu dengan berkeliling Jogja dengan motor kebanggan Jingga.
Seperti sekarang ini, mereka tengah berkeliling berdua.
"Ga, ke Starbucks yuk."
"ha?"
"KE STARBUCKS!"
"APAAAA?"
Mentari menggeram kesal karena Jingga berkali-kali mengucapkan ha.
Gadis itu mengetikkan sesuatu di handphonenya dan mengarahkan ke depan agar kembarannya itu dapat melihat.
"Oh, bilang dong!"
Dengan suara tertahan, Mentari menggumamkan,"anak setan!" Yang tak lain tak bukan adalah umpatan untuk Jingga Senja Aksara, kembaran tersayangnya.
Tak lama mereka tiba disalah satu kedai kopi Amerika itu. Jingga memakirkan motor mereka, setelah itu berjalan sembari bergandengan tangan ke dalam.
"Cari tempat duduk sana." Perintah Mentari padanya.
"Ga, gue temenin lo aja."
"Ga. Nanti ga dapet tempat kosong."
"Banyak tempat kosong loh mbak Matahari. Lebay banget deh lo."
"Sumpah ya Jingga, sehari ini udah berapa kali lo bilang gue Lebay? Jahat banget sih ngatain gue."
Dengan raut yang pura-pura sedih, Mentari menjalankan aktingnya. Yang tentu saja diladeni jingga. Mereka bukan kembaran kaku yang hobi bertengkar kok, hanya sering mengumpat satu sama lain saja, hehehe.
Tuh kan, jingga itu bukan anak yang suka menunggui saat memesan makanan. Makanya tadi Mentari menyuruhnya duduk dulu.
"Lama lo." Ucap Jingga pada Mentari yang tengah membawa pesanan mereka. Langsung saja, lelaki putih pucat itu menyambar salah satu minuman untungnya.
Namun, baru saja ingin mengecap, Mentari lebih dulu menyambar.
"Eh ini punya gue." Katanya.
"Punya gue mana?"
Mentari menunjuk minuman yang tersisa.
Ginger Lemon Tea.
"Ay, becanda lo ga lucu elah. Sejak kapan gue suka minum teh begini?"
Mentari hanya mengendikkan bahunya dan kembari terfokus pada handphonenya.
"Ay?"
"Hm?"
"Pesenin yang baru. Ga mau tau."
"..."
"Yaudah gue pesen sendiri."
"Yaudah sana." Jawab Mentari acuh, dengan kesal jingga menghentakkan kakinya berjalan kearah kasir.
Diam-diam Mentari menghitung dalam hati, satu.. dua.. tiga..
Tuh belum juga hitungan kesepuluh, tangan Giandra mengadahkan tangannya ke arah Mentari tanpa suara.
"Apa?"
"Dompet."
"Lah kan dompet lo di rumah."
"Yaudah gue minta duit berarti."
"Ga bawa duit gue."
Jingga menghela nafas dalam, memejamkan matanya begitu erat. Hubungan persaudaraan mereka memang indah ya.
"Ah anjing! Terus tadi lo bayar pake apasih setaaan?"
"Oh, kartu."
"Pinjem,"
Bukannya menjawab, Mentari malah menarik Jingga agar terduduk disampingnya. Baru saja akan protes, Mentari kembali menyumpal mulut Jingga dengan minuman miliknya.
"Lo kenapa?" Tanya Mentari to the point.
Jingga mengernyitkan dahinya, bingung dengan pertanyaan tidak jelas Mentari.
"Ga, 18 tahun hidup bareng gue. Yang literally beneran bareng sejak dalem kandungan gitu rasanya gimana Ga? Seneng? Apa malah lo bosen dan benci sama gue? Apa lo malah berpikiran ngebuang gue di tong sampah biar dibawa wewe gombel?"
dahi Jingga semakin berkerut.
"Gue nyebelin banget ya Ga?" Suara Mentari mulai melemah saat pertanyaan it keluar dari mulutnya. Kedua matanya berkaca-kaca saat menatap Jingga Senja miliknya itu.
Beruntungnya tempat ini tidak terlalu ramai, di lantai 2 hanya berisi sekitar 5 orang. Langsung saja Jingga meraih Mentari dalam pelukannya.
"Ay, kenapa?"
Mentari menggeleng lemah.
"Lo marah karena gue keterlaluan ya?"
Mentar kembali menggelengkan kepalanya.
"Oh Freya? Iyadeh. Ga bakal gue gebet. Gue mundur kok tenang. Jangan sedih dong, hati gue sakit nih ngeliat lo kayak gini. Jadi ikutan pingin nangis, tapi ada orang."
Untuk kesekian kalinya Mentari menggelengkan kepala dengan jelas. Hal ini jelas membingungkan Jingga. Meskipun Mentari pernah seperti ini, jingga pasti bisa menebak alasannya.
Pelukan mereka terlepas hingga menyiptakan suasa hening yang cukup lama diantara mereka.
"Ay, jangan diem dong. Gue beneran sedih jadinya. Lo tau kan gue ga bisa liat lo sedih? Lo tau kan gue ga bisa liat lo ngeluarin air mata gini?"
"Sama Ga."
"Sama— gue juga engga bisa ngeliat lo sedih Ga. gue lebih engga bisa liat lo sakit. Gue engga suka liat lo tertekan sendirian Ga."
Meskipun Jingga masih kebingungan, tetap saja lelaki itu tersenyum kearah Mentari."Ay, I'm okay. Look, i really do. Gue engga apa-apa."
"Semakin lama, gue semakin engga mengenal lo Ga."
"Kita pulang ya? Lo kecapekan karena ospek tadi deh. Baru hari pertama, masa cemen sih?" Jingga berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun dengan tegas, Mentari menolak.
"2 hari yang lalu. Garuda Indonesia, Yogyakarta-CGK, one day flight. Mr Jingga Senja Aksara."
Jingga tersentak.
"there's another Jingga Senja Aksara out of there? Because mine— told on that day, he was going to Mas Jaka's house."
"Ay. Gue-gu-e bisa jelasin." Jantung Jingga berdegup tak kalah kencang saat ini. Bukannya bermaksud menyembunyikan dari Mentari, tapi belum ada waktu yang tepat untuk mengaku pada belahan jantungnya itu.
"Atau rumah mas Jaka yang pindah dari Godean ke Jakarta? Atau emang Godean Yang lo maksud itu di Jakarta?"
"Mentari..... dengerin gue," mohon Jingga padanya. Mata Mentari kembali memanas ketika menyadari Jingga tak membantah satupun tuduhan yang dilayangkannya.
Jingga tak mengelak,
Jingga berbohong, lagi.
Dan Mentari benci.
"Gue—"
Belum sempat Jingga membalas ucapannya, Mentari memotong."what the hell papa did to you? I told you don't do THAT ALONE JINGGA AKSARA. I'm your siblings. Listen carefully, when everyone hurt you, they hurt me too. You sick? Me too. You sad? Me too. Gue kecewa Ga."
"Gue ke kamar mandi dulu."
Mentari berlalu, meninggalkan Jingga disana bersama suara-suara kecewa Mentari padanya.
Salah, tentu salah ketika Jingga berusaha menyembunyikan sesuatu dibelakang Mentari terlebih dengan alasan Jingga bisa nyelesain semuanya sendiri, Mentari engga boleh sedih, Mentari engga boleh ikut jatuh.
Sudah hampir 45 menit menunggu, batang hidung Mentari tak kunjung terlihat. Jingga menelfonnya—tapi Mentari tak membawa ponsel. Benda pipih itu tergeletak di hadapan Jingga.
Lelaki itu semakin panik, bagaimana jika terjadi sesuatu pada saudaranya?
Langkah kakinya mengarah pada toilet. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada manusia disana. Jingga semakin panik.
Hingga handphonenya berdenting,
Line!
Add back|Block
Freyaaaw
Jingga, ini aku Freya.
Sorry ganggu malem-malem, aku mau ngasih tau kalau Mentari nginep di tempatku malam ini. Tadi aku engga sengaja ketemu dia lagi nangis sesegukan. Kayaknya Mentari lagi sedih? Gak tau juga, soalnya pas aku nyebut nama kamu dia malah marah jadi aku ajak aja nginep di tempatku.
Maaf ya Jingga, aku engga maksud mau bawa kabur kembaran kamu. Tapi kalau mau jemput nanti aku shareloc, goodnight Jingga!😉
🥀to be continued🥀