Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Titik Serius

🇮🇩Haaakiky
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.6k
Views
Synopsis
Semesta punya cara sendiri untuk memisahkan dan menyatukan. Memisahkan yang sudah begitu dekat, ternyata putus ditengah jalan. Dapat pula menyatukan seseorang yang tak pernah kita harapakan. Mau kurus ataupun gendut, jika seseorang itu mencintai kita. Maka aku percaya tak akan pernah ada sedikit pun untuk meninggalkannya. Fisik tidak menentukan dia tulus mencintai kita
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Raja Cireng

"Belajarlah untuk menjadi biasa-biasa saja, kayak gue."

~Sugara Semesta Dirgantara.~

•

•

•

•

•

Happy Reading :)

Ketika berada di kantin, Sugara vidio call kepada Akbar-sahabat dekatnya. Yang kini telah jauh darinya.

"Ngapaen lo vc gue, gar? Gue lagi mandi woy! Untung aurat gue kagak kelihatan."

"Ngapain juga lo bawa handphone ke toilet?"

"Bisa aja lo ngebalikinnya. Buruan mau apaan lo? Gue mau di sabun 'nih."

"Lo sekarang di mana, Bar?"

"Gue di Sumatera."

"Setelah lo dari Banten, sekarang lo di Makassar?"

"Iye."

"Lo makannya gimana, Bar?"

"Masih sama kayak dulu, sama nasi gue makan."

"Bukan itu maksud gue kadal leteng. Lo di sana kerja apa gimana? Lo makan makanan sehat 'kan?"

"Makasih atas peduli lo sama gue, Gar. Dari dulu emang lo nggak pernah berubah. Beruntung banget cewek yang dapetin, lo. Tenang, Gar gue di sini kerja. Kadang gue kerja bangunan, kadang pula gue ngamen, Gar. Asalkan gue bisa makan."

"Lo sih, Bar. Kenapa lo memilih dunia itu."

"Ini pilihan gue, Gar. Lo baik-baik di sana."

"Lo gambar tato di leher, Bar? Bagus juga, Bar. Gue juga pengen."

"Tato terbaru gue itu, Gar. Lo kagak boleh ngikutin, gue. Harusnya lo belajar biar jadi orang sukses, banggain orang tua, kejar cita-cita lo, tamatin sekolah, lo. Jangan macem-macem lah, Gar. Lo jangan ngikutin apa yang gue lalui. Kasihan orang tua, lo. Dan-"

"Udah ceramahnya? Di wc pake ceramah segala, lo. Bisa nasehatin gue, tapi kagak bisa nasehatin diri sendiri."

"Gimana sekolah lo, Gar?"

"Ya gitu."

"Gitu gimana, Gar?

"Mangkanya sini lo kembali kesekolah, biar gue ada temen bolos."

"Aneh! Yang ada gue dikatain preman sekolah."

"Lo gambar tato di mana aja?"

"Leher, dada, tangan sama kaki, gue ada niatan wajah gue juga mau di tato. Dahlah, gue mau pake sabun. Kapan kelarnya gue mandi, kalau di ajak gosip sama lo."

"Wajah lo kagak usah di tato, Bar. Cukup anggota badan lo aja, kali ini aja lo dengerin omongan gue. Sono mandi, nanti gue liatin."

"Iya Pak Ustad. Kamvret lu, Gar."

"Gue matiin, Bar."

***

Apakah aku bisa mengucapkan huruf R? Tolong bantu aku! Aku lelah dibully karena satu huruf itu.

Susah jadi orang cadel, setiap mau bicara pasti selalu aja minder, malu. Pasti selalu saja dibully karena, nggak bisa mengucapkan huruf R dengan benar. Pokoknya jadi orang cadel serba minder. Aku lebih memilih diam dari pada banyak bicara. Aneh dengan mereka yang mengejekku, bukankah mereka juga memiliki kekurangan juga. Apakah mereka sadar, jika perkatan mereka sangat menyakitkan, bagaikan tersayat janji manis dia. Terkadang aku selalu menyendiri, hanya itu yang selalu aku lakukan.

Mengucapkan huruf R bagi diriku sangat susah, sulit dan rumit. Melebihi rumitnya rumus matematika. Tetapi, begitu mudahnya kedua orang tuaku memberi nama yang banyak huruf R-nya pada diriku, Raurel Lyodra Rearawles. Sungguh sangat menyebalkan sekali. Kenapa tidak memberi nama Iteng, Atom, Ayam atau apalah, asalkan tidak ada huruf R-nya saja.

"Oke, saya akan absen dulu, jangan lupa bilang hadir!" ujar Bu Riri. Satu nama ini sepertiku, kenapa di dia ini banyak sekali nama yang menyulitkanku.

Keadaan kelas 11 Ips hari ini sangat biasa saja. Biasanya sangat begitu kacau, apalagi sudah ada si brandalan kampungan.

"Afran Zaenal, Bunga Kusuma Putri, Benny, " Bu Riri mulai mengabsen.

"Hadir."

"..."

Aku menunggu giliranku, malas sekali absenku berdekatan dengan brandal kampungan yang so kegantengan tingkat kecamatan yang aslinya burik sumberiwik.

"Sugara Semesta Dirgantara." Absen Bu Riri.

"Hadir Missuu," jawab Sugara dengan memanjangakan huruf U.

"Missu tuuu," teriak Ongki.

"Ongki, kamu teriak-teriak! Kayak di hutan aja. Nggak ada sopan santunnya kamu," ujar Bu Riri.

"Maaf Bu, saya hilap bin lupa kalau ini bukan di hutan," Semua murid tertawa mendengar jawaban Ongki.

"Sekali lagi kamu seperti itu, saya tidak akan segan mengelurkan kamu di jam saya," tegas Bu Riri.

"Itulah hal yang paling bahagia dalam hidup gue," jawab Ongki pelan.

"Raurel Lyodra Rearawles," absen bu Riri.

"Ada," jawabku sambil mengacungkan tangan.

"Woy hadir bukan ada! Lo kira Ada bayanganmuuuu," tutur Sugara.

"Diam, Gara!" ujar Bu Riri.

"Saya nggak bisa diam, Bu. Kalau si cadel Dyodaran belum bilang hadir. The Queen cadel tunjukan pesonamu, ayo tunjukan bakatmu yang terpendam. Jangan malu-malu babang tamvan Suga siap menjadi pendengar yang baik," ujar Sugara dengan santainya. Dan membuat semua murid tertawa akan tingkah konyol Sugara. Tetapi, berbeda denganku. Kenapa tak bosannya Semesta. selalu mempermalukan aku. Apa dia punya dendam kepadaku? Tak hentinya setiap hari selalu saja memalukanku.

"Ayo The Queen Cadel tunjukan batang hidungmu," teriak Donni-teman Sugara. Mereka semua sama saja. Aku ingin marah kepada mereka semua. Aku benci keadaan seperti ini, apa bedanya hadir dan ada? Hanya hurufnya saja.

"Nanti kamu berjodoh sama Lyodra baru tahu rasa," tembal Bu Riri.

"Dih, Missu kalau ngedoain yang baik-baik napa," jawab Sugara.

"Kita semua Aamiin 'kan saja kawana-kawan," teriak Ongki dan semua murid mengatakan Aamiin bersama-sama.

"Hobi banget ya kamu teriak-teriak, Ongki!" tutur bi Riri.

Aku pusing mendengar bisikan para tetangga, lebih baik aku keluar ke kelas saja mencari udara segar sembari merefreshkan otak.

"Bu, saya izin ke toilet," ucapku.

"Silahkan."

"Yah kok ketoilet sih, mau curhat sama tembok toilet," teriak Sofi.

"Hahahahahaha," tawa semua murid yang masih bisa aku dengar, tetapi Bu Riri langsung memberhentikan tawa itu.

"Baperan dia mah," ujar Revan.

***

Sepanjang perjalanan tak hentinya aku mengeluarkan airmata, untung saja semua kelas sedang belajar dan sebagian olahraga. Rasanya sangat sakit, mungkin mereka mengganggapnya hanya lelucon, tetapi bagi aku itu tidak lucu. Mengejek orang lain, seakan dirinya sempurna saja. Ingin aku teriak sekencang mungkin. Tetapi, sadar ini area sekolah. Aku berlari menuju toilet, biarkan aku tak mengikuti pelajaran Bu Riri.

Namun, ketika aku berlari tiba-tiba aku menabrak sesuatu dan akhirnya membuatku terjatuh.

"Maaf saya tidak sengaja."

Aku merapihkan bajuku yang sudah tak rapi. Siapa lagi yang menabrak aku, kurang kerjaaan banget jadi manusia.

"Mari saya bantu." Ketika aku menoleh kesumber suara, ternyata itu Kak Arjuna Erlangga Winata. Ketua osis yang ramah, tampan dan idaman kaum hawa.

"Saya minta maaf," ucap pria tersebut.

"Seharusnya saya yang minta maaf," jawabku. Kenapa, mata ini belum bisa berkedip juga.

"Mari saya bantu!"

"Iya."

"Kenapa kamu lari-lari dan matamu terlihat merah. Kamu sudah menangis? Baru putus cinta 'kah?" tanya pria tersebut.

"Biasa saja," jawabku. Setiap kali aku mengobrol, aku haru bisa cari kata yang tidak ada huruf R. Sebisa mungkin itu harus berpikir.

"Kalau boleh tau nama kamu siapa?" Ya ampun kenapa pakai ditanya nama segala. Nggak sekalian alamat rumah. Kak Arjuna memang sangat ramah kepada siapapun, jelas saja banyak yang menyukainya. Sudah tampan, pintar, juara kelas, ketua osis pula.

"Hello... kenapa bengong?" tanyanya kembali.

"Panggil aja Lily, anak 11 Ips," jawabku.

"Senang berkenalan denganmu," ujarnya.

"Iya, Kak."

"Saya Arjuna." Tidak menyebutkan nama juga aku sudah mengetahuinya. Tetapi, inilah yang membuatku kesal, nama orang yang berkenalan denganku selalu saja ada huruf R.

"Boleh panggil Kak Juna aja?"

"Boleh banget, kalau boleh tau kamu kenapa lari-lari?" tanyanya.

"Hm... tadi mau ke toilet," jawabnya.

"Kamu itu harus hati-hati, takutnya bisa membahayakan kamu. Jangan pakai lari-lari santai aja kalau bisa. Sayangi nyawa kamu sendiri, karena kalau bukan kamu siapa lagi. Kalau boleh kita tukeran nomor whattsapp," tuturnya dengan senyum manisnya. Ya ampun melelah hati ini. Dikasih nasehat bikin adem hati ini. Lalu Kak Arjuna menyodorkan handphonenya kepadaku. Jangankan nomor whatssapp, kode hatiku aja akan aku beri.

"Boleh." Jari-jariku mulai menari dilayar itu.

"Sudah," ucapku lallu mengembalikan handphone tersebut.

"Jangan lupa di save balik, aku tunggu balasan dari kamu."

"OH, JADI INI YANG KATANYA IZIN KE TOLILET MALAH ASYIK PACARAN DI JAM PELAJARAN!" Teriakan yang sudah tak enak di dengar ditelingaku, siapa lagi kalau bukan,Sugara. Suara toanya itu begitu membuatku kaget, ngapain brandalan kampung di sini. Apa jangan-jangan dia mengikutiku.

"PACARAN AJA TERUS YANG PUNYA SEKOLAH LAGI DANGDUTAN," sindir Sugara dengan suara toanya.

"Siapa yang pacaran?" tanya Arjuna.

"Lo berdua lah, ya kali gue. Lo itu sebagai ketua osis harus mencontoh yang baik ke adik kelas. Lonya aja begini, bagaimana mau ngasih contoh ke adik kelas," ujar Sugara.

"Kalau punya mulut di jaga ya, datang-datang teriak main fitnah orang aja," bela Arjuna.

"Woy lo Cadel, buruan ikut gue!" ujar Sugara.

"Kemana?" tanyaku.

"Ke pelaminan, banyak nanya lo jadi cewek. Kalau nggak gue laporin kepala sekolah karena, lo bolos jam pelajaran," ujar Sugara.

"Mainnya ancaman, nggak nyadar lo juga sering bolos," tembal Arjuna.

"Pak Sosis, saya tidak sedang bicara dengan anda. Lebih baik anda diam atau saya yang diam," tutur Sugara, kemudian menarikku dengan keras. Aku pun mengikuti dirinya dan meninggalkan kak Arjuna.

"Jangan lupa di balas," ujar Kak Arjuna sebelum pergi.

Cengkraman tangan Sugara sangat sakit, sehingga membuat sedikit memerah. Ntah, dulu ibunya ngidam apa, bisa menjadi anak yang tak punya hati dan pri kemanusiannya. Sugara masih mencengram tanganku, aku hanya diam. Sudah males berdebat.

"Ngapai lo ngikutin gue?" tanya Sugara yang membalikan badannya.

"Tadi," jawabku.

"Tadi apa? Sembarangan banget lo pegang tangan gue!" ujar Sugara melotot dan melepaskan cengkramannya. Aku memegang tangan Sugara? Apa enggak kebalik.

"Apa yang harus lo balas?" tanya Sugara.

"Apanya?"

"Gue tanya kenapa lo ikutin gue ke kantin, lo suka sama gue? Gue nggak bakal suka sama lo. Sebelum itu lo ngaca dulu, gue siapa. Dan lo siapa!" tegasnya yang meninggalkanku begitu saja.

Manusia semacam Sugara kenapa masih dibiarkan tinggal di planet ini. Tidak bisa 'kah di pindahkan ke planet lain atau sekalian musnahkan saja. Lagian sebentar lagi juga istirahat lebih baik aku ke kantin saja.

***

Lyodra memilih ke kantin mengikuti Sugara, dari pada kembali ke kelasnya. Sugara sudah terlihat jauh dari penglihatan, Lyodra. Ntah, kenapa jika melihat Sugara rasanya ingin menyumpal mulutnya menggunakan kaus kaki dirinya. Mulutnya ibarat kaleng rombeng, cerewet melebihi betina.

"Ce Ida, pesen cirengnya sepuluh ditambah cabe setannya lima belas."

Ce Ida-sang penjaga kantin yang janda anak satu. Mendengar teriakan yang sudah khas ditelinganya langsung mengambil pesanan.

"Jadi berapa, Ce? tanya Sugara.

"Dua puluh dua ribu," jawab Ce Ida.

Sugara menyasar setiap sakunya, mencari dompetnya. Ternyata dan oh tenyata dompetnya tertinggal.

"Nanti dulu, Ce," terial Sugara lalu pergi.

Teriakan Sugara masih bisa Lyodra dengar dari planet jupiter. Kebiasaan Sugara selalu teriak-teriak. Lyodra pun menyusul menuju mejanya, siapa tau dapat makanan gratis dari Sugara, dia 'kan orang kaya. Sampai tujuh tanjakan uangnnya nggak pakal habis.Saat Lyodra ingin menghampiri meja Sugara, tiba-tiba ada pelayan kantin manjatuhkan minuman....

"Kalau kerja yang bener dong, nanti kalau minuman yang lo bawa kena otak nih cewek gimana? Bisa-bisa meleleh otaknya mengeluarkan magma panas. Anda mau tanggung jawab?" tegas Sugara yang membantu Lyodra sembari menghina atau apalah itu.

"Maaf tadi saya salfok," ujar lelaki yang membawa secangkir kapi panas, lalu pergi.

"Bisa lepasin tangan gue nggak, Del?" ujar Sugara. Ya ampun sedari tadi ternyata Lyodra menggenggam tangan Brandalan kampung.

"Bukannya bilang makasih, malah bengong. Kesambet setan kantin baru tau rasa lo," tutur Sugara.

"Makasih."

"Nah, kan lo tau di dunia ini nggak ada yang gratis," ujar Sugara kembali kemejanya. Lalu Lyodrq duduk disebelahnya.

"Maksdunya?" tanya Lyodra yang tidak paham dengan perkataan manusia beda planet.

"Jadi sebagai tanda terima kasih, lo harus bayar cireng gue di Ce Ida. Nggak ada penolakan!" ujar Sugara yang membuat Lyodra melongo. Tadinya mau makan gratis, malah rugi sendiri.

"Jadi nolongin tadi nggak ikhlas?" tanya Lyodra.

"Jangan salah, gue ikhlas nolongin lo. Ke toilet umum aja bayar. Ngerti 'kan maksud gue?" ujar Sugara sambil mengeluarkan senyum kuda.

"Ce Ida yuhuuuu," teriak Sugara.

"Heunte usah gogorowokan atuh, Cece teh keur ngagoreng tempe," ujar Ce Ida dengan bahasa sundanya. [Nggak usah teriak-teriak, Cece lagi ngegoreng tempe.]

"Hampunten atuh, Ce. Sudah kebiasaan Gara teriak-teriak. Jadi anu ngabayaran eta gorengan teh, ieu jalmina. Ayena Gara bade balik heula ka kelas. Tagih bae eta budakna, Ce. Lamun teu daekeun suruh kukumbah bae, Ce." ujar Sugara sambil mengambil cirengnya, dan Lyodra bingung dengan perkataan yang diucapkan oleh, Sugara.

"Kamu bilang apa sih, Gar?" tanya Lyodra.

"Tadi gue bilang sama Ce ida, cewek yang dihadapan gue cantik banget. Makasih Del, gue duluan," ujar Sugara membuat Lyodra tak bisa menyembunyikan senyumannya.

"Tapi Kok tadi ngomongnya lama sama Ce Ida?" tanya Lyodra penasaran.

"Ya intinya gue bilang lo cantik," jawab Sugara, sembari pergi. Lyodra yang melihat kepergian Sugara. Ingin saat ini pula jungkir balik, baku hantam. Karena, ulah Sugara yang membuat dirinya seperti orang fall in love.

"Neng Lily mana bayaran cirengnya," tegur Ce Ida.

"Cireng?"

"Tadi Sugara bilang sama Ce Ida, katanya cirengnnya dibayarin sama Neng Lily."

"Serisan?"

"Iya, semuanya jadi dua puluh dua ribu."

Mau tidak mau Lyodra harus mengeluarkan uang dari sakunya itu. Lyodra tak habis pikir dengan Sugara. Karena dirinya, Lyodra harus merelakan uang yang selama ini ia pendam di saku. Lyodra pun menyodorka uang berwarna hijau dan abu.

***