"Angie.."
"Ya?"
"Kamu mau jadi kekasihku?"
"A..apa?" Angie tergagap mendengar Aaron menginginkannya menjadi kekasih. "Ak.. aku.."
"Kamu tahu kalau aku sudah menyukaimu sejak pertama kali bertemu. Bahkan sekarang, aku sudah memutuskan hubunganku dengan Lisa, karena aku ingin menjalin hubungan denganmu."
"Pak Aaron, aku.."
"Aku berharap kamu mau menjadi kekasihku. Aku menyukaimu apa yang kulihat tentang dirimu. Aku menyukai sikapmu yang dingin dan tenang. Aku menyukai dirimu yang bisa mengatasi hampir semua masalah yang timbul. Aku merasa nyaman dan bisa terbuka saat bersamamu. Aku pikir aku bisa menjalin hubungan bahkan untuk jangka panjang denganmu,"kata Aaron meringis dan mengusap tengkuknya.
"Baru kali ini aku nembak cewek pakai kata-kata romantis. Biasanya langsung sergap dan tangkap,"lanjutnya malu.
Deg..
"Angie.."
"Kenapa bapak begitu ngotot ingin berkencan denganku? Bapak sudah punya Lisa, supermodel yang cantik dan terkenal. Apa lagi yang masih bapak cari?"tanya Angie penasaran.
"Entahlah aku juga tidak tahu,"balas Aaron sambil mengangkat bahu. "Aku hanya mencoba untuk mempercayai hatiku."
"Apa yang bapak percayai?"
Aaron tidak menjawab saat menginjak rem menghentikan laju mobil di perempatan lampu merah. Aaron memutar duduknya dan menghadap Angie. "Karena aku percaya bahwa kamu adalah belahan hatiku yang kucari selama ini."
Blush... Wajah Angie langsung memerah. Tangannya gugup meremas sabuk pengaman yang melintang di depan dadanya. Angie memalingkan wajahnya ke jendela kaca mobil di sebelahnya.
Deg-deg-deg-deg...
Suara Aaron yang terdengar di telinganya sangat jelas dan jernih. Sedangkan tubuh Aaron berada dekat dengannya. Angie menggigit bibir bawahnya, dirinya merasa cemas dan keringat dingin mengalir di antara punggungnya. Angie bingung.
"Aku bukan orang yang sempurna, pak,"kata Angie pelan dengan tangan masih menekan ponsel di telinganya, tapi dirinya tidak berani menatap pria itu.
"Aku tidak mencari wanita yang sempurna. Tidak ada orang yang sempurna,"kata Aaron terus menyakinkan Angie yang sepertinya selalu mencari cara untuk mengelak.
"Aku tahu. Tapi aku jauh dari kata sempurna bahkan mungkin tidak termasuk tipe bapak. Aku tidak secantik Lisa. Aku juga tidak seluwes Sinta. Untuk apa bapak menginginkan diriku?"
Angie terdiam dan memandang kosong ke arah jalan raya yang mereka lewati, hampir sampai ke kantor. Angie menurunkan ponsel dan mematikannya. Aaron menoleh saat sambungan terputus.
"Aku sendiri juga tidak tahu. Saat pertama kali melihatmu di kantor Pak Sanjaya, rasanya seperti puzzle menemukan potongannya yang hilang. Tidak ada yang tahu kapan perasaan ingin memiliki itu muncul. Aku juga tidak tahu pada siapa aku akan melabuhkan cintaku. Kamu tahu, aku sudah berkencan dengan Lisa selama satu tahun, namun hatiku tetap merasa kosong dan tidak puas."
"Kupikir kita tidak perlu melanjutkan pembicaraan ini. Aku.."
"Apa aku punya kesan yang sangat buruk di matamu?"tanya Aaron cepat, memotong ucapan Angie.
Angie memiringkan kepala memandang wajah samping Aaron yang tampak serius.
"Aku merasakan dari awal pertemuan kita, kamu sudah menciptakan jarak dan membangun tembok terhadapku,"kata Aaron pelan sambil memalingkan wajah dari fokus menyetir ke arah Angie yang gugup.
Angie hanya terdiam. Memang itulah yang Angie lakukan selama ini. Angie membangun bunker untuk dirinya dan kedua putra kembarnya. Apalagi dengan kejadian Andrew, Angie semakin protektif. Angie takut jika pria yang berhubungan dengannya akan menyakiti si kembar lagi.
"Apa kamu tahu kalau aku tidak pernah gagal merayu wanita? Aku tidak pernah mengalami kesulitan membawa wanita yang kusukai ke ranjang. Lisa salah satunya,"celetuknya bangga.
Angie menaikkan alis dan memberikan tatapan mencela. "Kupikir itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan."
"Tapi memang begitu kenyataannya,"bantah Aaron membela diri. "Aku sangat percaya diri saat merayumu. Meski aku melihat mu tersipu malu dan membalas ciumanku, tapi aku tetap tidak bisa menembus tembok hatimu. Sebenarnya ada berapa banyak kunci hatimu yang harus kubuka?"
"Aku... aku sedang tidak ingin menjalin hubungan. Dan lagi, bapak belum mengenalku, seperti apa diriku yang sebenarnya dan bagaimana latar belakangku. Jika bapak tahu aku yang sebenarnya, belum tentu bapak akan suka berdekatan denganku, bahkan kamu akan mengkritik ku habis-habisan."
"Kamu tidak separah itu kan, Angie. Kamu tidak pernah bersikap terbuka, bagaimana cara aku mengenalmu? Aku mendapat kesan jika kamu memang sengaja menutup diri."
"Mungkin. Aku tidak menyadarinya."
"Angie,"panggil Aaron di ponselnya. Aaron mendapati Angie menatap kosong jendela sampingnya.
"Ya?"
"Sejak bertemu denganmu, bayangan tentang pernikahan mulai merecoki pikiranku. Dulu aku berpikir bahwa aku tipe pria yang seumur hidup akan melajang. Tapi kehadiranmu mengubah cara pandangku. Aku berharap kita dapat menjadi sepasang kekasih dan kelak jika kamu bersedia, kita bisa menikah dan kamu akan menjadi istriku."
Angie membeku. Wow, ini bukan hanya acara tembak menembak, tapi juga mencakup lamaran tidak resmi. "Apa dia serius?"tanya nya dalam hati sambil mengamati ekspresi Aaron dari arah samping.
"Aku mau. Aku mau,"jerit batin Angie girang. "Aku bahkan mau menjadi tua bersamamu,"imbuhnya dalam pikirannya.
"Angie..,"panggil Aaron lembut, sesudah dirinya mematikan mesin mobil karena mobil sudah terparkir di basemen kantor.
Angie menatap Aaron dan menggeleng. "Aku tidak bisa."
Aaron kecewa mendengar nya. "Boleh kutahu alasannya?"
"Aku masih trauma dengan hubunganku yang sebelumnya. Jadi mungkin aku butuh waktu untuk pulih,"jawab Angie pelan, menatap kosong ke arah Aaron.
"Berarti aku masih ada harapan."
Angie tidak berkomentar akan ucapan Aaron yang terakhir. Hatinya berkata, "Alasan ku yang sebenarnya adalah karena bukan hanya hatiku saja yang dipertaruhkan, tetapi masih ada dua hati yang harus aku lindungi."
"Apa kamu punya kriteria khusus?"tanya Aaron membuka sabuk pengaman dan bersandar di kursi pengemudi dengan nyaman, lalu mengerling jahil.
"Kriteria? Tentanga apa?"
"Tentang menjadi kekasihmu."
"Tidak ada yang khusus. Standar saja. Tampan, baik hati, dan kaya raya. Ditambah lagi punya body atletis dan perut six pack,"jawab Angie ala kadarnya.
Aaron menarik pelan rambut ekor kuda Angie.
"Aduh. Kenapa sih pak?"
"Itu kriteria kamu dapat darimana?"
"Dari majalah playgril yang kubaca tadi pagi bersama Sinta,"jawab Angie ngawur yang membuat nya mendapatkan tarikan lagi di rambutnya.
"Serius, Angie. Aku tanya kriteriamu, bukan kriteria orang lain."
"Aku serius, pak. Bukankah itu harapan dan impian semua gadis? Mendapatkan kekasih yang tampan, baik hati, dan kaya raya. Juga sedap dipandang karena punya body keren dan atletis. Tidak muluk-muluk kok, pak."
Aaron memutar bola matanya, kesal. "Baiklah. Satu tampan, itu aku. Dua baik hati, tidak ada yang pernah bilang kalau aku jahat hati. Tiga kaya raya, mungkin kamu harus cek digit tabunganku untuk melihat apakah aku bisa lulus kualifikasi kaya raya versi nona Angie."
"Hmpt.. ha.. ha.." Angie tergelak pelan mendengar penjelasan ngawur seperti jawaban Aaron.
"Lanjut."
"Hei.. hei.. bapak ngapain buka baju disini?"seru Angie panik yang melihat Aaron melepas kancing kemeja kerjanya.
"Body keren. Kamu perlu melihat dulu apa aku sudah cukup atletis di matamu,"celetuknya bangga sambil menepuk pelan dadanya.
"Dasar gila. Cepat tutup kemejanya,"jerit Angie panik.
Bersambung...