Perkenalkan namaku Adeline, seringkali orang memanggilku Addy. Aku salah satu dari trio kembar dengan Madeline yang dipanggil Maddy, dan Angeline yang dikenal sebagai Angie. Meski kami kembar identik, kami bertiga berbeda karakter. Maddy yang pendiam, Angie yang dingin dan tenang, sedangkan aku... aku selalu ceria dan energik.
Aku seorang chef. Aku suka memasak dan bereksperimen dengan bahan-bahan makanan. Aku memiliki sebuah restoran, tempat aku mengembangkan bakat dan keahlianku, sekaligus menumbuhkan bunga deposito dari hasil bisnisku. Aku seorang yatim piatu, diadopsi dan menjadi keluarga dari...
Cklek... Blam...
"Kamu sudah pulang?" Aku menyapa seorang pria tinggi besar, yang masuk ke dalam rumah. Dia adalah suamiku yang bernama Sean, seorang pengusaha fitnes center terbesar di kota. Big bos, panggilannya di kantor.
"Halo sayang,"sapa Sean sambil mengecup bibirku. "Mana Emily?"
Emily adalah putri tunggal kami. "Sudah tidur,"jawabku sambil memberikan kecupan ringan di bibir.
"Mau makan atau mandi dulu?"
"Mandi dulu, aku gerah dan bau keringat. Tadi sebelum pulang, aku latihan repetisi bisep trisep tiga set,"jawab suamiku lalu meraih handuk di teras belakang dan mengalungkannya pada leher.
"Aku sudah menyiapkan air hangat. Pakaian ganti sudah aku siapkan di gantungan,"kataku setengah berteriak karena Sean sudah setengah perjalanan ke kamar mandi.
"Thanks sweety,"balas Sean sambil memberikan jempolnya lalu bersiul riang masuk ke kamar mandi.
Dia adalah big guy yang kucintai. Aku menikah dengannya karena sebuah perjodohan. Aku dijodohkan dengannya untuk menjadi istri keduanya, karena istri pertamanya mandul. Istri pertamanya sebenarnya tidak memberi izin, tapi keluarga Sean memaksanya untuk menikah lagi agar keluarga mereka punya penerus. Kayak sinetron saja, tapi begitulah hidupku.
Aku menolak keras saat dijodohkan. Orang tua angkatku memaksaku karena mereka menginginkan investasi untuk menyokong pabrik keripik kentang kami yang mulai goyah. Mau tidak mau, aku harus menjalani pernikahan itu. Padahal saat itu, usiaku baru dua puluh dua tahun. Aku sangat ingin berangkat ke Paris untuk belajar masakan lebih dalam. Jadi, terpaksa aku menundanya selama dua tahun.
Meja sudah tertata cantik dengan semua hidangan yang kumasak untuk suami tercintaku. Aku duduk di meja makan menunggu Sean selesai mandi.
Kita lanjutkan lagi ceritaku ya. Suamiku tidak menyentuhku hingga usia pernikahan kami satu tahun. Alasannya, karena istri pertamanya selalu menggagalkan malam pertama kami. Sedikit bocoran, istri pertama Sean adalah seorang yang lembut dan manis bagaikan malaikat. Namun jika kita mengenal lebih dalam, hatinya itu segelap pekatnya malam dan dia lebih jahat dari seorang penyihir. Menakutkan sekali, wanita itu seperti orang yang berkepribadian ganda.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"tanya Sean yang tiba-tiba muncul. Aroma sabun yang segar menguar dari tubuhnya yang baru saja selesai mandi.
"Hanya sedikit teringat masa lalu."
"Masa lalu? Hmm, masa lalu kita adalah tentang pertama kali kita bertemu, dijodohkan, menikah, ribut melulu, punya Emily, dan bahagia. Benar kan?"
"Ck..ck.. kesimpulanmu mengenai cerita cinta kita hanya sebaris kalimat?"seruku tidak percaya. "Tapi itu adalah dua tahun terpanjang dalam sejarah hidupku."
"Memangnya harus sepanjang apa cerita cinta kita? Itu hanya cerita masa lalu, Addy. Kita hanya perlu melihat sekarang dan masa depan. Jadi.. apakah sekarang kamu bahagia denganku?"
"Kalau kujawab tidak bahagia, apa kamu akan menghukumku?"godaku sambil mengedipkan mata dan cekikikan.
"Mungkin. Bagaimana kalau hukuman itu kita lakukan dengan permaianan tentara dan tawanan perang? Kita belum pernah memainkan itu,"jawab Sean sambil mengambilkan nasi untuk dirinya dan untuk istrinya.
Sekedar informasi, aku dan Sean suka sekali bermain peran saat bercinta. Mulai dari guru seksi versus murid berandalan, gadis bar versus buruh pelabuhan, pelayan seksi versus CEO, dokter nakal versus pasien, sampai sugar daddy versus little girl. Kami bahkan punya perlengkapan perang untuk semua peran. Pakaian peran dan beberapa peralatan yang mendukung peran yang kami mainkan. Bukan alat-alat yang berbahaya, hanya perlengkapan biasa yang seratus persen aman. Semuanya tersimpan rapi, jauh dari jangkauan Emily, putri kami.
"Aku lagi malas bermain peran,"sahutku sambil melahap hidangan. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini, lancar kah?"
"Hm-hm. Lancar. Nyam." Sean menelan makanan sambil mengambil gelas berisi jus jeruk lalu menghabiskan dalam dua teguk panjang. "Kamu tahu, hari ini aku bertemu seorang pria yang mirip dengan si kembar."
"Oya?"seruku antusias.
"Jika pria itu duduk bersama si kembar, orang pasti menilai mereka adalah ayah dan anak."
"Benarkah?"
"Tentu saja benar. Mana pernah suamimu yang paling baik sedunia ini berbohong padamu?"
"Ketemu dimana?"
"Kantor pusat."
"Dia ikut fitnes?"
"Yup."
"Apa lagi yang kamu tahu tentang dia?" Suamiku hanya mengangkat bahu. "Siapa namanya? Apa pekerjaannya? Dimana rumahnya? Apa dia tampan dan tinggi? Apa dia sudah punya pacar? Menurutmu, apa Angie mengenal pria itu? Bagaimana..."
"Addy, my sweety.. Itu pertanyaan anda panjang sekali,"komentar Sean mencuci piring bekas makan malamnya, lalu mengambil puding buah di kulkas sebagai makanan penutup.
"Cerewet,"omelku sebal.
"Jika mau tahu lebih lanjut..,"kata Sean sambil menunjuk Addy dengan sendoknya. "Selalu ada syarat untuk sebuah rahasia, sweety. Kita bermain tentara dan tawanan perang malam ini. Maka rahasia itu akan menjadi milikmu."
"Sudah kuduga, pasti syaratnya begitu,"gerutuku sambil melipat tangan di dada.
"Kamu mau atau tidak?"
"Apa kamu tidak punya syarat lain selain berpikiran mesum seperti itu?"
"Kan kamu yang suka, kenapa jadi aku yang dibilang mesum? Atau kita ganti saja, gimana kalau main dokter-dokteran?"
"Itu kan sama saja. Aku tidak mau bermain peran. Aku lelah sekali, hari ini restoran penuh. Aku ingin segera tidur."
"Kondisi yang lelah, cocok untuk bermain dokter dan pasien. Aku yang memeriksa, my sweety yang berbaring untuk diperiksa."
"Ck.. ck.."
"Mau atau tidak? Kalau kamu tidak mau, aku akan bercinta dengan Mrs.T,"kata Sean sambil meletakkan mangkuk bekas puding ke bak cuci, lalu membuka kulkas dan mengambil yogurt. Mrs. T adalah sebuah televisi besar yang menghuni ruang keluarga kami.
"Cerita dulu,"sergahku sambil merebut yogurt yang hendak dibuka tutupnya oleh suamiku.
"Tidak. Kita bercinta dulu, baru aku akan cerita."
"Sean, jika kamu tidak bercerita sekarang, aku tidak akan memberimu jatah seminggu bahkan sebulan,"ancamku tidak main-main.
Suamiku mendelik mendengar ancamanku karena aku selalu serius dan pasti akan kulakukan. Oleh sebab itu, Sean patut khawatir. Aku memperhatikan Sean sedang berpikir keras sambil duduk dan meraih buah pisang di meja makan.
"Begini saja, aku cerita, lalu kita bermain peran dokter dan pasien. Bagaimana deal?"tawar Sean menyeringai sambil menggigit pisang.
Aku menghela nafas panjang. Ujung-ujungnya, aku juga yang harus menyerah kalah. Syarat terakhirnya itu sama saja boong, karena hanya dibalik urutannya. Bicara panjang lebar, akhirnya aku yang harus tunduk pada keinginannya.
"Mainnya besok saja ya,"tawarku. "Hari ini cerita dulu."
"Kalau begitu, ceritanya juga besok... atau kalau aku sedang sibuk, mungkin lusa baru bisa cerita,"balas Sean cuek. Sean tahu kalau rasa penasaran bisa membuatku terjaga sepanjang malam, yang membuatku besok menjadi uring-uringan.
"Baiklah,"kataku menyerah. Sekarang?"
"Tentu saja sekarang,"sahut Sean girang dan langsung membopongku.
Bersambung...