"Ayo.. ayo...,"seru Angie jengkel. Sudah lima belas menit, Angie berusaha menghidupkan mobilnya. Tidak ada hasil. Angie menggelengkan kepala menolak untuk menyerah.
Setelah mengantarkan si kembar ke sekolah, mobilnya batuk-batuk ria dan akhirnya berhenti total, tidak jauh dari sekolah putranya.
"Payah,"omel Angie menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi mobil dan mendesah lelah. Angie membuka pintu mobil dan berjalan ke kap mesin.
Gawat.. Keluar asap.
Angie berkacak pinggang dan memegang kepalanya, memandang putus asa ke arah kap mesin mobilnya yang sudah seperti panggangan barbeque. Angie kembali duduk di kursi pengemudi dan mengambil ponsel.
"Halo, ini mobil derek? Mobil saya mogok. Sekarang saya ada di jalan Boedi Oetomo, di dekat sekolah internasional. Tolong jemput mobil saya. Saya tunggu. Terimakasih."
Angie mematikan ponselnya dan mencari nomer yang lain. "Halo Sinta, ini Angie. Tolong bilang ke pak Aaron kalau aku terlambat. Mobil mogok. Terimakasih."
Angie mengambil botol mineral dan menegak nya hingga setengah, lalu menyeka mulutnya. Kepalanya di sandarkan di kemudi mobil dan memejamkan mata. "Lupa servis mobil lagi,"keluh Angie muram.
Pip.. pip..
Angie melihat ponselnya, mendapati ponsel nya berkedip sekarat dan akhirnya the end. Angie tersenyum kecut. Hebat.
Hampir satu jam, Angie menunggu petugas mobil derek tiba. Angie menerima tanda terima dan diberitahu bahwa mobil akan selesai seminggu kemudian.
Kini, Angie berdiri seorang diri di kompleks yang kosong karena sekolah sudah masuk dan perumahan cenderung sepi. Angie mendongak dan melindungi matanya.
"Matahari sedang bersemangat, maka aku juga harus semangat,"hibur Angie pada dirinya sendiri. "Sepatu nya juga cocok,"katanya sinis. Sepatu hak tinggi 7cm sempurna untuk jalan kaki mengelilingi setengah kota.
Jarak tempuh sekolah si kembar dan kantor pusat Grup Adiwijaya, sekitar empat puluh lima menit dengan mobil. Angie harus keluar dari kompleks untuk mencari taksi.
Kaki Angie mulai terasa sakit, setelah keluar kompleks dan berjalan di trotoar jalan raya sekitar setengah jam. Lecet di kedua tumitnya membuat Angie selalu meringis saat berjalan.
Tin.. tin..
Angie menoleh ke arah suara mobil. Kening nya berkerut saat mengetahui mobil siapa yang mendekat.
"Butuh tumpangan?"
Angie menatap datar wajah pemilik mobil yang super duper menjengkelkan itu. Angie berdecak dan memandang pria yang wajahnya melongok dari jendela.
"Kurasa aku tidak layak naik mobil mewah anda... tuan Anton." Angie mulai berjalan lagi. Kaki terasa kaku sekarang.
"Jangan sinis begitu. Naiklah." Pintu penumpang belakang terbuka.
"Tidak."
"Aku bilang naik, Angie."
"Aku tidak mau."
Tiba-tiba badan Angie ditarik ke belakang dan membentur spion serta body mobil dengan keras. Lengan Angie dicengkeram kuat oleh Anton.
"Jangan suka mengabaikan perkataan ku, Angie. Aku tidak suka,"ancam Anton, dengan wajah mendekat ke Angie.
"Lepaskan aku,"berontak Angie lemah. Badannya sudah capek, pegal-pegal, dan sakit semua.
"Naiklah, aku akan mengantarmu pulang." Anton menarik Angie dan memaksa Angie masuk.
"Tidak. Aku tidak mau. Lepaskan aku,"jerit Angie.
Angie mengumpulkan tenaga dan menginjak sepatu Anton sekuat-kuatnya. Anton berteriak keras dan melepaskan pegangan nya pada Angie. Angie langsung mendorong Anton hingga terhuyung ke belakang sambil memegang kakinya yang sakit diinjak sepatu hak tinggi.
Angie segera berlari sekuat tenaga. Karena tidak melihat jalan di depan dengan jelas, Angie tersandung dan tersungkur. Kedua lutut dan sikunya terluka cukup dalam dan berdarah. Angie segera berdiri dan berlari lagi.
Anton tidak mengejar Angie, karena ternyata tindakan nya tadi menyita perhatian orang-orang di halte bus, tidak jauh dari mereka berdua bertengkar.
"Angie, maafkan aku. Ayo naiklah,"panggil Anton setengah berteriak.
Angie tidak menggubris. Angie berlari sekuat tenaga menuju halte bus itu. Ada banyak orang disana. Dia akan aman.
----------
"Sinta, apa Anggie sudah datang?"
"Belum pak."
Aaron menutup telpon interkom nya. Angie izin terlambat karena mogok. Ini sudah lewat jam makan siang. Ponsel nya tidak bisa dihubungi.
"Apa terjadi sesuatu?"
Di lobi kantor.
"Astaga Angie...,"teriak Ana si resepsionis saat melihat Angie masuk pintu lobi dengan kondisi berdarah dan tertatih-tatih. Orang-orang yang ada di lobi langsung menghampiri Angie.
"Angie, apa yang terjadi?"
"Angie, kenapa berdarah begini?"
"Angie, kamu baik-baik saja?"
"Angie, ayo kita ke ruang kesehatan."
"Angie, sini biar aku yang bawakan barangmu."
Angie kewalahan menghadapi perhatian rekan kerjanya. Angie hanya bisa tersenyum lemah. Angie tidak menyadari jika Ana sudah memapah dirinya, membantunya berjalan.
"Pak Rohib, tolong telpon ruang legal. Bilang Bu Angie sudah datang. Sekarang ada di ruang kesehatan. Terima kasih."
"Hati-hati Angie."
Angie baru saja selesai membersihkan luka-lukanya saat pintu ruang kesehatan terbanting terbuka. Ada Aaron dan Sinta yang bergegas masuk.
"Ya ampun..,"seru Sinta panik melihat kondisi Angie yang berantakan. Sinta heboh menghambur ke arah Angie, tanpa sengaja menabrak pinggang Angie yang menabrak spion.
"Aduuhh..,"jerit Angie tertahan. Angie memejamkan mata menahan nyeri yang nyut-nyut.
"Kamu baik-baik saja?"tanya Aaron khawatir. Langsung duduk di kursi dekat ranjang. Matanya meneliti seluruh badan Angie. Angie meringis dan mengangguk.
"Sinta, tolong ambilkan es batu di kantin,"perintah Aaron pada Sinta tanpa mengalihkan pandangannya dari Angie.
"Baik. Angie, sabar ya."
Angie mengangguk saat Sinta berdiri dan keluar dari ruang kesehatan.
Hening...
Angie merasa kikuk berduaan dengan Aaron di ruang tertutup. Angie duduk dengan gelisah saat mendapati tatapan Aaron yang begitu intens.
"Buka pakaian mu,"perintah Aaron tegas.
"Hahh??! Aa..apa?"cicit Angie yang menganga mendengar perintah Aaron.
"Aku ingin melihat memar di pinggang mu. Jika parah, kita langsung ke rumah sakit,"kata Aaron, tidak pernah melepaskan pandangan nya dari Angie.
"Ti.. tidak parah kok."
"Buka sendiri atau aku yang akan membuka pakaianmu,"ancam Aaron geram sambil bangkit dari kursi dan berdiri berhadapan langsung dengan Angie.
Postur tubuh Aaron yang terlihat menakutkan di mata Angie, membuatnya bergeser mundur. "Ti.. tidak usah pak. Aku bisa sendiri."
Aaron tidak menggubris penolakan Angie. Tangan Aaron terulur dan meraih kemeja Angie. Dengan mata terbelak, Angie melihat kancing kemeja dilepaskan oleh Aaron. Angie berusaha menyingkirkan tangan Aaron, tapi Aaron tidak peduli.
"Pak.. pak.. jangan pak,"mohon Angie lemah.
Aaron sangat khawatir dengan keadaan Angie yang datang ke kantor dengan keadaan luka-luka. Aaron tidak menyadari bahwa dirinya sudah membuka hampir semua kancing kemeja Angie. Aaron seolah tersadar saat tangannya menyentuh renda halus yang membungkus gundukan empuk.
Tangan Aaron terhenti di renda halus itu. Mata Aaron bertemu dengan mata Angie yang membelak ketakutan. Lalu tatapannya kembali pada apa yang disentuh tangannya.
"Ah, maafkan aku,"ucap Aaron menyesal dan langsung berbalik arah.
Angie buru-buru mengancingkan kemejanya. Seperti ada seseorang yang memperhatikan, Angie mendongak dan melihat Sinta yang berdiri mengintip di balik pintu ruang kesehatan. Mata Angie membelak ngeri saat bertemu dengan mata Sinta yang tersenyum misterius.
"Gawat.. bisa jadi gosip,"keluh Angie dalam hati.
Sinta masuk dan menyerahkan buntalan dingin ke tangan Aaron. "Ini pak, kompres es nya. Saya kembali ke ruangan dulu. Ada banyak kerjaan. Permisi,"kata Sinta pada Aaron.
Sebelum keluar, Sinta melirik Angie dan mengedipkan mata. Angie memutar bola matanya, kesal.
"Ini es nya, cepat kompres."
Angie menerima buntalan dingin dan diam menatap Aaron.
"Ayo cepat."
"Bapak keluar dulu."
Aaron memegang tengkuk nya dan mengangguk. "Tadi maaf ya.."
Angie mengangguk.
"Hari ini tidak usah kerja. Pulang nanti, akan kuantar pulang."
Angie membuka mulut hendak menjawab...
"Tidak ada protes."
Bersambung...