15 Maret
Cuaca kembali tidak bersahabat, di langit yang begitu gelap terlihat kilatan cahaya diiringi dengan suara petir yang cukup keras. Ini sangatlah aneh, tidak ada angin tidak ada hujan, tapi malam terasa mencekam.
Saat ini, suasana hati Reino sedang buruk, ia tak ingin segera pulang ke rumah, lantas ia melajukan kendaraan beroda empatnya menuju club malam milik Baran.
Sepanjang perjalanan, mulut Reino tak berhenti mengumpat. Ia sangat kesal pada gadis yang membuatnya harus mengotori jok mobilnya yang steril dari sentuhan kaum hawa.
Tapi tadi, jika dirinya tidak membantu Ruby dan wanita itu, ia khawatir mereka tidak bisa pulang dengan selamat. Apalagi tadi cuaca sangat buruk, tidak ada pula taksi di sana, jadi ia harus membantunya.
Ya, walau pada akhirnya Reino hanya mengantar Roselyn pulang, dan membiarkan Ruby pulang sendiri menggunakan taksi.
Reino melajukan mobilnya dengan cepat, menembus gelapnya malam dijalanan yang sudah sangat sepi. Tidak butuh waktu lama baginya untuk bisa sampai di club malam milik Baran.
Setelah mobil berhenti, Reino dengan kasar membuka pintu mobil dan menutupnya. Dengan langkah besar ia berjalan masuk ke dalam club, menerobos rumunan orang yang tengah asyik menikmati degupan musik beat, langsung mendaratkan bokongnya di kursi bar. Ia tak memedulikan beberapa orang yang berseru "aduh!" saat tubuh kekarnya sengaja menyenggol tubuh mereka yang menghalangi jalan Reino.
"Vodka!"
Ia berteriak sambil mengacungkan ketiga jarinya. Pandangannya mengedar ke penjuru club Baran. Pandangan dingin terpancar dari matanya saat Reino melihat para wanita yang tengah memamerkan lekuk tubuhnya, menari meliuk-liuk di depan para laki-laki hidung belang. Terlihat para laki-laki itu menikmati dengan mata yang membulat penuh bahkan adapula yang sudah meronta ingin naik ke atas panggung untuk menarik si wanita.
"So damn stupid!" makinya.
Ia tak habis pikir, bagaimana bisa, makhluk terkuat di muka bumi ini takluk oleh makhluk menjijikan yang disebut wanita?
Reino menenggak satu sloki minuman yang bisa membuat lidah dan tenggorokannya terbakar di hadapannya. Ia tak peduli.
"Bos kau ke mana?" tanya Reino pada bartender yang tengah meracik minuman untuk pengunjung di sebelahnya. Tangannya nampak sibuk menuangkan beberapa takar minuman yang dicampur menjadi satu dalam sebuah "shaker minuman"
"What's up, bro! Kenapa wajahmu nampak kesal? Ayolah bro, nikmati hidup. Lihatlah! Banyak wanita yang terpesona dengan ketampananmu. Cobalah pilih satu, kau pasti tak 'kan menyesal."
"Nope!"
Dengan tegas Reino menolak ide bodoh sahabatnya itu. Kebenciannya pada sosok wanita semakin memuncak terlebih lagi ia telah mengantarkan dua wanita yang sangat merepotkan baginya.
"Baiklah. Sikap dingin mu tak pernah berubah barang sedikit. Aku sebagai sahabatmu hanya berharap, ada seseorang yang bisa mencairkan hatimu yang membeku bagai bongkahan es di gunung utara." Hahahaha. Baran tertawa mengakhiri ucapannya.
"Aishh, sial. Diam mau!" Reino menatapnya dengan tajam, "Hatiku tidak beku, hanya saja tidak menyukai mahluk yang bernama 'wanita'.
"Hey, jangan kau terus berpikir seperti itu. Wanita tidak seburuk yang kau pikirkan!" Baran merangkul leher Reino, sedikit menunduk dan berbisi pelan, "Jika kau sudah merasakan tubuh seorang wanita, kau pasti akan ketagihan, tidak akan lagi merasa benci dan jijik. Cobalah sekali saja."
Tiba-tiba Baran melepaskan Reino, ia mengangkat tangan untuk memanggil teman wanitanya yang sedang berdiri menunggunya.
"Kemarilah Sayang!" Baran berdiri. Ia tersenyum penuh godaan menatap Reino, lalu berbalik badan menghampiri wanita itu.
"Sayang! Bisakah kita memulainya sekarang." Baran berbisik di telinganya, dengan satu tangan menarik pinggang wanita cantik itu.
Wanita cantik yang mengenakan pakaian seksi itu–menganggukan kepala tanda setuju.
Baran bertanya lagi, "Bolehkah aku mengajak temanku untuk menonton permainan kita?" ia menunjuk Reino yang sedang duduk di sana.
Wanita itu melihat tatapan dingin Reino kepadanya, terlihat bahwa Reino sangat tidak menyukainya.
Tapi dengan cepat wanita itu menjawab, "Tentu saja. Kau boleh mengajak dia. Tapi kau harus memastikan, nanti dia tidak akan mengganggu permainan kita." wanita itu mengecup bibir Baran, menggodanya, menyentuh tubuh Baran dengan jari jemarinya.
"Kau tenang saja! Dia hanya melihat, tidak akan sampai mengganggu kita." Baran menatap Reino, ia melanjutkan, "Aku hanya ingin membuat dia kepanasan, hingga dia tidak tahan dan akhirnya bermain dengan salah satu wanita yang ada di sini."
Ya, Baran hanya ingin Reino menyimpan semua kebenciannya terhadap wanita. Ia ingin Reino mencoba untuk melupakan rasa traumanya terhadap wanita dengan cara ini.
"Oke!"
Wanita itu segera menarik Baran menuju sebuah ruangan yang biasa mereka gunakan.
Tidak lupa Baran mengajak Reino pergi ke ruangan itu.
***
Di sebuah ruangan yang cukup luas dengan tempat tidur yang begitu nyaman, dan dua buah sofa kecil yang ada di sisi ruangan itu, Reino masuk mengikuti Baran. Ia duduk di sofa dengan malas.
Sementara Baran mengajak wanitanya duduk bercumbu di sofa bersebrangan Reino. Membiarkan Reino menyaksikan secara live permainannya dengan wanita yang dipilihnya malam ini. Sebenarnya ini sudah untuk kesekian kalinya dia melakukan ini di depan Reino, tetapi pria dingin itu tetap tidak sedikit pun tertarik ingin mencicipi apa yang sekarang Baran lakukan.
Dengan keadaan setengah mabuk Reino masih bisa mendengar dengan jelas kedua orang di depannya mengerang kenikmatan. Tapi Reino tidak merasakan apa pun. Apakah dia masih normal? Entahlah Reino belum bisa memastikan.
"Ahhhh …."
Reino kemudian melihat dengan jijik bagaimana wanita yang di bawah kendali Baran itu terlihat tersenyum padanya seolah ingin menunjukkan kalau apa yang mereka lakukan itu adalah hal yang paling nikmat.
Reino kemudian segera berdiri dan meninggalkan mereka sebelum permainan mereka selesai. Reino sudah terlampau bosan dengan gaya bercinta Baran dan wanitanya yang terlihat menjijikkan bagi Reino.
"Kau mau kemana Bro?" tanya Baran menghentikan sejenak gerakannya karena melihat Reino beranjak dari kursi penontonnya.
"Aku pulang. Sudah cukup kepalaku pusing untuk kejadian hari ini!" jawab Reino pergi dan tidak memedulikan teriakan Baran dan wanita itu yang kembali menyambung. Sang wanita memang tidak tahan jika Baran menghentikan gerakannya di saat dia ingin segera mendapatkan puncak kenikmatannya.
Reino kemudian menoleh kembali ke pintu ruangan itu. Dia sungguh tak mengerti kenapa setiap dia datang ke klub Baran. Dia tidak pernah mendapat solusi maupun pencerahan untuk masalahnya. Hiburan yang disajikan Baran tidak pernah mampu menggerakkan hatinya untuk ikut mencari dan berburu wanita yang bisa dia kendalikan.
'Kau tak tahu bagaimana rasanya seperti ini?' pikir Reino. Memandang dan bertemu wanita saja, dia sungguh sangat malas. Kenapa dia sangat membenci wanita.
'Seharusnya aku konsultasi dengan psikolog,' batin Reino.
Reino menatap jam tangannya. Sudah hampir pukul tiga pagi. Dia harus pulang dan istirahat. Besok pagi dia harus kembali bekerja. Meskipun dia bos dan pemilik kafe, tapi tetap saja dia juga harus datang ke kafe.