Chereads / Rahasia Putri Vanetta / Chapter 18 - Percikan

Chapter 18 - Percikan

Di sore hari, ketika Ruby sedang membereskan beberapa pekerjaan di dapur, tiba-tiba terdengar suara rekan kerjanya memanggil Ruby.

Ruby segera berbalik badan dan menghampirinya.

Ketika mereka saling berdekatan, rekan kerja Ruby bertanya dengan suara pelan, "Apa kau sudah menyampaikan pesan Nenek tadi kepada pelanggan yang bernama Roselyn?"

Suaranya setengah berbisik, seolah ucapannya tidak ingin terdengar oleh siapapun.

Mendengar hal itu, Ruby mengangguk.

"Ya, tadi aku sudah menyampaikannya."

"Bagus lah!"Rekan kerja Ruby merasa lega.

Ruby diam sejenak, seolah teringat sesuatu, ia segera berbisik kepada rekannya sambil memperlihatkan ekspresi terkejut.

"Hey, apa kau tahu, apa isi bungkusan kecil yang nenek itu titipkan kepada kita, tadi?"

Rekan kerjanya sedikit bingung, dia segera bertanya seolah tidak sabar, "Apa isi di dalamnya?"

Ruby menatap kiri dan kanan, memastikan bawa saat ini dirinya aman untuk membicarakan hal ini.

"Bungkusan itu ...."Ruby berbisik semakin pelan, "Isinya adalah uang!"

"Hahhhh?"Rekan kerja Ruby terkejut mendengarnya. "Apa? Uang? Apa kau serius? Kau jangan bercanda Ruby! Mana ada uang di dalam bungkusan itu. Dan lagi, nenek-nenek itu terlihat lusuh dan dekil, mana mungkin dia memberikan uang kepada tamu yang bernama Roselyn itu!"

Ruby menatap tajam pria yang menjadi rekan kerjanya ini, merasa bahwa dirinya terlalu mengada-ngada mengatakan kebenaran ini kepada dia.

"Sudahlah jika kau tidak percaya!"Ruby memutar badan, bersiap untuk pergi. "Untuk apa juga aku berbohong!"

Tanpa memperdulikan rekan kerjanya lagi, Ruby pergi ke belakang untuk bersiap.

"Hey ... Ruby tunggu!"Rekan kerjanya mengikutinya dari belakang.

"Sudahlah, aku mau bersiap dulu. Pekerjaanku sudah selesai. Aku mau pulang."Ruby berkata dengan acuh.

"Tunggu dulu! Apa yang tadi kau katakan itu benar?"rekan kerja Ruby masih penasaran.

"Iya, benar! Sudahlah, aku hampir terlambat."

"Terlambat apa? Kau mau pergi kemana?"

"Malam ini, aku harus pergi ke klub malam yang ada di Jln Calle Marques de falces. Aku tidak boleh terlambat."

"Hah? Ruby, apa kau gila?"Rekan kerjanya terkejut mendengar ucapan Ruby.

"Apa kau tahu dimana itu?

Jln Calle Marques de falces itu merupakan kawasan sepi, bahkan sekarang jalan itu sudah jarang digunakan lagi. Mengapa harus pergi ke klub malam sejauh itu? Apa di sini tidak ada klub malam yang bagus?" Ucapannya penuh ejekkan.

Rekan kerjanya merasa bahwa Ruby begitu konyol. Harus pergi ke klub malam yang jauh dan sepi. Padahal di sini masih banyak klub malam lain yang lebih bagus dan ramai.

"Bukan begitu. Kemarin malam, aku menabrak seorang nenek. Jadi, untuk mempertanggung jawabkan kecerobohanku tadi malam, Nenek itu memintaku untuk datang ke klub Luz del Alba, malam ini."Ruby menjelaskan.

"Mengapa harus memintamu pergi ke klub malam? Mengapa tidak ke klinik atau kemana, kek! Yang lebih masuk akal."Rekan kerjanya masih tidak mengerti.

"Sudahlah. Aku harus segera pergi. Tolong beritahu Juan, aku pulang duluan, oke?"

Tanpa menunggu jawaban dari rekan kerjanya, Ruby segera pergi meninggalkan kedai itu.

Dia mengendarai sekuternya untuk menuju klub itu. Dalam hatinya dia masih kepikiran ibunya Emmy. Tapi dia juga merasa kecewa dan merasa tak berdaya dengan semua luka ibunya atas kelakuan ayahnya itu.

*** ***

Di dalam rumah, Ruby sedang duduk di sofa sambil memeluk kedua kakinya dengan tangan, ia menenggelamkan kepalanya di sela tangan yang melingkar penuh. Matanya terpejam, ia merasakan ada banyak beban yang harus ia pikul sendiri

Mengapa rasanya begitu berat? Hatinya terasa sakit dan raganya terasa lelah. Bahkan tidak ada tempat baginya untuk meminta pertolongan.

Tapi dirinya harus tetap kuat! Tidak boleh lemah! Tidak boleh menyerah!

'Tak ada yang muncul setelah kegelapan selain cahaya, tak ada yang muncul setelah kesedihan selain kebahagiaan.' Ruby mencoba untuk memotivasi dirinya sendiri.

Untuk menjemput kabahagiaan itu, dirinya harus tetap semangat!

Perlahan, Ruby mengangkat kepalanya kembali, ia menatap ke halaman rumah melalui kaca jendela yang ada di sampingnya. Ia mengulurkan satu tangan, meraih ujung kain dan menyibakkan sedikit tirai yang menghalangi pandangannya.

Ruby menatap langit malam yang gelap, hanya terlihat samar cahaya dari balik sinar rembulan yang terutup oleh gumpalan awan di langit sana. Sama halnya dengan keadaan dirinya saat ini. Begitu gelap dan dingin, tidak ada cahaya sedikitpun, tidak ada rembulan yang menjadi penerang di dalam dirinya.

Malam ini, di dalam rumah pun terasa hening dan sepi. Hanya ada suara dari televisi yang sedang Emmy tonton. Tidak terdengar percakapan dari keduanya, karena Emmy dan Ruby sama kuat, saling diam tanpa bersuara.

Sejak kejadian tempo hari ketika Emmy melakukan percobaan bunuh diri, tidak pernah lagi terlihat keduanya berbicara bahkan bercanda seperti biasanya. Sekarang terasa ada jarak diantara mereka berdua. Padahal Emmy selalu bersikap biasa kepada Ruby, hanya saja ... Ruby tidak pernah menanggapinya. Dia selalu bersikap acuh kepada Emmy, membuat Emmy tak berdaya.

Tiba-tiba Emmy membuka mulutnya, mencoba untuk memecah kesunyian ini, "Ruby! Kau jangan memusuhi Mama seperti ini. Dari tadi kau terus menutup rapat mulutmu, seolang tidak ingin berbicara dengan Mama."

Melihat tidak ada respon dari Ruby, Emmy kembali berkata, "Ruby! Maafkan Mama!"

Emmy tidak ingin terus seperti ini. Antara dirinya dan Ruby harus ada jarak, ia tidak mau! Lebih baik, dirinya mengalah.

Ruby mendengar ucapan dari Emmy. Ia segera menoleh, menatap wanita yang kini sedang duduk berhadapan dengannya.

Ruby memperhatikan Emmy dari atas kepala hingga ke kaki. Saat ini, kondisinya sudah mulai membaik. Emmy sudah bisa melakukan aktifitas seperti biasa..

Hanya saja, Emmy masih merasakan rasa sakit di pergelangan tangannya. Tapi kata dokter 'tidak masalah', Emmy baik-baik saja. Itu membuat Ruby merasa lega.

Masih tidak ada respon dari Ruby, Emmy segera bangkit berdiri, ia duduk di samping Ruby. Dengan lembut, ia membelai rambut putrinya.

"Mama janji tidak akan mengulanginya lagi, Sayang!" Suaranya begitu lembut, dan pelan. Terdengar penuh kasih, sambil menatap Ruby.

Ruby bukannya tidak ingin bersikap manja lagi kepada Emmy. Hanya saja, saat ini dirinya ingin sendiri dulu, menenangkan hatinya sendiri.

Dirinya bukanlah anak durhaka yang mengacuhkan ibunya sendiri, membenci ibunya sendiri dan terus mengabaikannya. Ia hanya masih merasa kecewa kepada Emmy atas tindakan bodohnya malam itu.

"Ruby!"

Ruby masih tidak merespon apapun. Ia malah menatap jam di dinding.