15 Maret
Pagi ini suasana sangat berbeda. Tidak ada lagi aktifitas Emmy di dapur seperti yang dia lakukan di pagi kemarin. Tidak ada pula perlakuan hangat seperti yang Emmy tunjukan kepada Ruby, kemarin.
Sekarang ... yang ada hanya suasana dingin dan sepi saja di rumah ini.
Emmy berbaring di tempat tidur dengan lemas, karena semalam ia kehilangan banyak darah setelah mencoba untuk memotong urat nadinya dengan pisau. Untunglah Ruby segera datang dan membawa Emmy ke klinik dokter yang buka 24 jam. Jika tidak, mungkin saat ini Emmy tidak akan tertolong.
Ruby tidak tahu, apa yang membuat Emmy nekad melakukan tindakan bunuh diri, malam tadi. Yang jelas, Ruby sangat kecewa dan sangat marah kepada Emmy.
Selama ini, hanya demi membahagiakan ibunya, Ruby rela bersusah payah untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Selalu mengutamakan kepentingan Emmy daripada kepentingan dirinya sendiri.
Dirinya tidak pernah sekalipun menunjukan kesedihannya di depan Emmy, agar Emmy tidak merasa terbebani.
Tapi sekarang, apa yang Emmy lakukan? Dia bahkan berani memotong urat nadinya sendiri dengan pisau. Dia rela mati dan tidak menghargai perjuangan dirinya selama ini.
Ruby menatap Emmy dengan mata merah dan berkaca-kaca. Ada kekecewaan yang terlintas dari sorot matanya.
"Ma, aku berangkat sekarang!"
Saat ini dirinya tidak ingin berbicara dengan Emmy. Ketakutannya tadi malam ketika melihat kondisi Emmy yang menyedihkan di dapur, membuat Ruby merasa shock. Ia juga kesal dan marah karena tindakan bodoh Emmy.
"Makan lah obatnya."Ruby mengingatkan dengan singkat.
"Ruby, maafkan Mama!"ucapannya terdengar pelan dan sedikit serak. Emmy sangat lemas, bahkan untuk bangun pun dia tidak mampu.
Ruby hanya mencoba untuk tenang menyikapinya. Ini semua karena makhluk yang bernama laki-laki. Kenapa seorang laki-laki seperti ayahnya begitu tega pada ibunya dan membuat ibunya menderita seperti ini.
Jika saja Ruby menjadi seorang laki-laki, Ruby akan tunjukkan pada semua cara mencintai wanita seperti apa.
Ruby hanya mendengarnya. Tidak ada niat untuk menjawab atau bahkan merespon ucapan Emmy lagi.
Ruby membuka pintu kamar, setelah itu ia menutupnya kembali. Ruby keluar dan bersiap untuk segera pergi ke tempat kerja. Ia tidak ingin membuang waktunya lagi, karena sekarang sudah hampir pukul 08.30.
Ketika Ruby keluar, ia melihat Juan datang menjemputnya menggunakan mobil tua kebanggaannya.
"Ruby! Ayo naik."Juan segera meminta Ruby untuk naik ke dalam mobil.
Juan juga hampir terlambat bekerja. Ia tidak ingin mengulur waktu lagi dengan berbasa-basi kepada Ruby. Ia takut akan dimarahi oleh sang bos–yang merupakan teman baiknya sendiri.
Ruby sedikit ragu. Padahal dirinya sudah membawa kunci motor dan bersiap membawa motornya lagi ke tempat kerja. Tapi ... Juan sudah ada di sini.
"Cepatlah, kita hampir terlambat."Juan tidak sabar.
"Fuh .... Oke!"Ruby menarik nafas panjang. Ia memasukkan kunci motornya ke dalam tas.
Ruby segera masuk ke dalam mobil, ia duduk di samping Juan.
Setelah Ruby duduk, tiba-tiba Juan mendekat. Juan menatap Ruby dari jarak yang sangat dekat. Bahkan hembusan dari nafas Juan, menyentuh dan terasa hangat di wajah Ruby.
"Ah, Ju-juan!"
Entah apa yang ingin Juan lakukan. Tindakan ini membuat Ruby tidak nyaman.
"Sehari tidak bertemu denganmu, aku sangat merindukanmu, Ruby!"Juan berkata dengan pelan.
Ya, sehari tidak melihatnya, ia sangat merindukannya.
Juan semakin mendekat. Bahkan kini tubuh mereka hampir menempel.
Ruby mencoba untuk menghindar. Ia memalingkan muka ke sisi kiri. Tidak ingin sedekat ini dengan Juan, dan tidak ingin berhadapan dengan Juan.
Kursi mobil yang sempit, membuat Ruby susah untuk menghindar. Ia hanya bisa terus menggeser posisi duduknya, dan menjauhkan tubuhnya dari Juan.
Ruby menutup rapat matanya, ketika Juan akan mendaratkan bibirnya. Ia merasakan jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Bahkan kedua telapak tangannya terasa basah karena keringat. Rasa cemas dan takutnya kini muncul kembali.
Ruby tahu, dirinya selalu saja seperti ini ketika berhadapan dengan seorang pria. Apalagi ketika pria itu akan melakukan hal intim kepada dirinya. Ia sama sekali tidak bisa bersikap tenang dan acuh. Bahkan ia tidak bisa menikmati keintiman layaknya pria dan wanita pada umumnya.
Dirinya sama sekali tidak bisa!
"Aaaaaaaa ...."seketika Ruby menjerit.
Ia mendorong Juan dengan penuh tenaga, hingga Juan terdorong dan punggungnya menyentuh dashboard mobil.
"Awwh ...."Juan meringis.
"Ruby! Kau kenapa? Kenapa kau mendorongku?"Juan menatap Ruby dengan heran.
Saat ini, Juan melihat Ruby berkeringat dingin di seluruh wajahnya. Di wajahnya bahkan nampak ada rona merah, tapi itu bukan merah karena gugup dan malu, tapi itu karena takut.
Mengapa Ruby harus takut? Bukankah dirinya tadi hanya akan menciumnya saja? Bukan melakukan hal yang tidak senonoh.
Mengapa dia setakut ini?
Juan melihat nafas Ruby yang terasa cepat. Ia segera mendekat dan mengambil tisu untuk menyeka keringat di wajahnya.
"Ruby, ada apa? Mengapa kau seperti ini?"
"Tidak! Aku tidak apa-apa!"Ruby menggelengkan kepala dengan cepat.
Ia tidak ingin Juan mengetahui dirinya memiliki trauma psikis. Biarkan dirinya saja yang mengetahui hal ini. Orang lain, jangan!
"Ayo jalan! Kita bisa terlambat."Ruby mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, sambil menenangkan diri.
Ini bukanlah kesalahan Juan. Walau tadi Juan berniat untuk menciumnya, tapi Ruby tidak mungkin menyalahkan Juan karena hal itu.
"Apa kau yakin, tidak apa-apa?"Juan sedikit ragu.
Ia juga merasa bersalah kepada Ruby. Mungkin karena tindakannya barusan, membuat Ruby tidak suka hingga ketakutan seperti ini.
"Maaf!"Juan mengatakannya dengan pelan.
Ia adalah pria dewasa normal. Tidak ada salahnya kan–jika dirinya melakukan tindakan seperti itu kepada wanita yang ia cintai? Tapi saat ini, dirinya harus meminta maaf kepada Ruby, karena Ruby tidak menyukai tindakannya tadi.
"Sudahlah! Kita jalan saja. Ini bukan salahmu."Ruby tidak ingin menjelaskan apapun kepada Juan.
Karena jika dijelaskan, Juan akan semakin penasaran.
"Baiklah!"Juan mulai menyalakan mesin mobil dan tidak bertanya lagi.
Ia mulai melajukan mobilnya menuju kedai–tempat mereka bekerja.
Jalan raya sangatlah padat, apalagi di hari minggu seperti sekarang ini. Ruby dan Juan akhirnya terlambat tiba di tempat kerja.
Setelah tiba di tempat kerja, Ruby turun dari mobil dan masuk ke dalam kedai. Ia segera pergi ke belakang untuk mengganti celana jeansnya dengan rok pendek dan seks, khas seragam pelayan untuk wanita.
Sedangkan Juan, dia berbincang dulu dengan seorang pria yang sedang berada di depan pintu kedai.
Ketika Ruby sedang membereskan salah satu meja, ia menatap sekilas pria yang sedang berbicara dengan Juan. Terlihat bahwa pria itu berwajah tampan namun memiliki ekspresi dingin tak bersahabat, membuat siapa saja yang melihatnya, enggan untuk mendekat.
Tapi, pria itu bertubuh tinggi dan kekar, dengan warna kulit yang tidak terlalu gelap, membuat pesonanya terlihat menggoda.
"Aishhh .... Apa yang aku pikirkan?"Ruby berkata dengan pelan, sambil menepuk-nepuk kepalanya sendiri. Seolah menyadarkan dirinya bahwa ia tidak boleh berpikir macam-macam.
Ruby kembali bekerja, menghiraukan Juan yang masih berbicara dengan pria itu.
***