Ai Zhiyi telah menunggu hingga hampir satu menit, tetapi Chu Weixu belum memberikan tanggapan apa pun, jadi ia mencoba untuk memanggilnya sekali lagi untuk memastikan apakah Chu Weixu berada di kamar tidur mereka atau tidak.
Namun, setelah ia meminta bantuan itu untuk kedua kalinya, suaranya hanya dibalas dengan kehampaan yang sama, dimana keheningan menjadi jawaban dari panggilan yang sia-sia seolah rumah ini adalah gambaran dari kesunyian itu sendiri.
Itu membuat Ai Zhiyi seketika merasa khawatir dan tidak bisa menahan untuk tidak memikirkan hal buruk di kepalanya. Bagaimanapun juga, keadaan Chu Weixu belum sepenuhnya membaik. Saat mereka kembali ke rumah mereka, Chu Weixu masih terlihat pucat dan lemah. Ia khawatir jika saja terjadi sesuatu padanya di luar sana tanpa ia ketahui, maka hal yang tidak bisa ia maafkan adalah dirinya sendiri.
Ia pun berniat keluar tanpa peduli dengan keadaannya yang sedang telanjang. Lagipula, ia dan juga Chu Weixu sudah sering memandangi tubuh telanjang masing-masing, bahkan telah melakukan hubungan intim berulang kali. Mereka bukanlah sepasang kekasih yang baru saja menjalin sebuah hubungan dan sedang menyesuaikan diri satu sama lain, jadi bersikap malu-malu setelah hubungan bertahun-tahun mereka sama dengan membodohi diri sendiri.
Namun, begitu ia membuka pintu, Chu Weixu juga tepat berdiri di hadapannya dengan membawa handuk. Ia terlihat baru saja ingin membuka pintu dan memberikan handuk itu pada Ai Zhiyi, namun Ai Zhiyi membuka pintu lebih dulu dan membuatnya berhenti di tempat.
Ai Zhiyi seketika merasa dadanya sedikit lebih lega ketika ia mengetahui bahwa Chu Weixu baik-baik saja, dan ketenangan secara bertahap meredam ketegangan di hatinya. Ia pun tersenyum, lalu meraih handuk itu sambil berkata, "Terima kasih. Aku pikir kau sudah tidur, jadi kau tidak menjawabku."
Chu Weixu tidak memberikan tanggapan apa-apa, bahkan tidak tersenyum untuk sekedar membalas senyumannya.
Begitu Ai Zhiyi mengambil handuk itu dari tangan Chu Weixu, ia seolah-olah kehilangan kata-kata di lidahnya dan tidak tahu bagaimana ia harus mengendalikan suasana canggung mereka, yang bahkan terasa lebih buruk dari sebelumnya.
Tetapi, Chu Weixu terlihat acuh tak acuh, seolah-olah ia tidak peduli dengan status mereka yang bahkan bisa disebut sebagai sepasang suami-istri. Ia terlihat tidak berniat untuk melakukan pembicaraan dengannya dan tetap diam tanpa kata-kata, menunjukkan tatapan penuh arti dimana ia seolah-olah memaksa Ai Zhiyi untuk mencari tahu bagaimana perasaannya saat ini dengan penuh penyiksaan.
Chu Weixu dengan dingin pun segera berbalik, lalu berjalan menuju tempat tidur. Ia bersandar di sana sambil memainkan ponselnya dengan malas. Sementara itu, Ai Zhiyi terpaku dalam waktu beberapa detik, menatap Chu Weixu yang sepertinya masih terlihat marah padanya sebelum akhirnya menutup pintu kamar mandi.
Ai Zhiyi tidak mengetahui dengan pasti apakah Chu Weixu benar-benar marah atau hanya tidak ingin berbicara padanya. Baginya, Chu Weixu adalah tembok besar yang sangat sulit ditembus, sehingga ia tidak bisa tahu bagaimana suasana di balik tembok tersebut.
Namun, Ai Zhiyi tidak ingin memikirkan hal itu terlalu lama karena ia tahu bahwa itu hanya berupa hal yang tak berujung dan sia-sia. Ia telah mengetahui dengan baik bagaimana karakteristik Chu Weixu. Sikap seperti itu tidak hanya sekali atau dua kali saja pernah Chu Weixu tunjukkan padanya. Sejak mereka remaja hingga dewasa, tidak banyak hal yang berubah dari diri Chu Weixu, termasuk sikap diamnya setelah perdebatan sepasang kekasih mereka. Jadi, Ai Zhiyi hanya perlu menunggu hingga Chu Weizu sudah pada suasana hati yang lebih baik.
Pada awalnya memang cukup menyakitkan. Chu Weixu yang terus saja diam seolah menganggapnya bukan siapa-siapa adalah hal yang paling menyakitkan, seperti menarik jantungnya keluar dalam keadaan sadar, lalu membiarkan dadanya yang terluka terus terbuka hingga ia kehabisan darah.
Namun, seiring berjalannya waktu, Ai Zhiyi secara perlahan mulai terbiasa dan menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa, yang tidak seharusnya ia pikirkan lebih jauh sebagaimana saat ia baru saja menjalin hubungan dengan Weixu. Itu menyebabkan rasa sakitnya tidak berlangsung lama.
Begitu Ai Zhiyi keluar dari kamar mandi, ia berjalan menuju tempat tidur dimana ia meletakkan piyamanya dan segera mengambilnya. Di sana, Chu Weixu terlihat masih pada posisi bersandar di sandaran tempat tidur sambil menatap ponselnya yang menyala dengan tatapan serius. Ai Zhiyi meliriknya diam-diam tanpa mengatakan apa-apa sebelum ia pergi untuk mengenakan piyamanya. Ia berpikir bahwa mengajaknya berbicara dalam suasana hati yang buruk pun hanya akan menjadi hal yang tidak berguna.
Chu Weixu adalah orang yang seperti itu. Selama ia bersikap diam dan tidak memulai pembicaraan setelah perdebatan mereka, maka itu berarti ia masih pada suasana hati yang buruk.
Ketika Ai Zhiyi selesai mengenakan piyamanya, ia kembali ke tempat tidur dan berbaring di sana, membelakangi Chu Weixu. Ia berniat untuk tidur lebih awal, namun ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata walau sekalipun ia memaksa kedua matanya untuk terpejam.
Matanya memandang jauh keluar di balik jendela kaca yang lupa ia tutup, memandang kegelapan yang seolah tak berujung di luar sana. Ia bisa merasakan udara dingin seolah menusuk tulangnya seperti ribuan jarum yang menancap bersamaan, sehingga ia mengeratkan selimut di tubuhnya.
Ai Zhiyi terenyuh dalam keheningan, dan bahkan hampir tidak merasakan udara dingin yang masuk menembus selimut tebalnya, lalu menusuk kulitnya. Kepalanya sibuk memikirkan Chu Weixu yang bahkan hingga saat ini belum berbicara padanya.
Tidak ada hal yang lebih mengkhawatirkan dirinya selain hal itu daripada ia harus memikirkan dirinya sendiri yang bisa saja mati karena hipotermia.
Namun, karena Ai Zhiyi tidak suka dengan keheningan mereka saat ini, ia pun berpikir untuk memulai pembicaraan dengan Weizu.
Ia memutar tubuhnya ke arah Chu Weixu yang sedang duduk di sampingnya, menatapnya dengan kesedihan dan kebimbangan yang menyatu di matanya, yang sama sekali tidak bisa ia bedakan di hatinya apakah ia bersedih ataukah merasa kecewa. Ia mengepal tangannya kuat-kuat, mencengkeram selimut putih yang ia kenakan seolah-olah ada hal yang hampir meledak di dalam dirinya.
Ia bergeming dalam waktu yang lama, sampai akhirnya kedua bibirnya sedikit bergerak untuk mengatakan sesuatu.
Namun, semuanya berakhir dengan helaan napas yang terdengar samar keluar dari tenggorokannya yang kering. Semua kata-kata yang hendak ia katakan tertelan dalam kekhawatirannya sendiri.
Ai Zhiyi pun kembali membalik tubuhnya ke arah yang berlawanan dengan Chu Weixu, dan memaksakan dirinya untuk tidur walau ia sekalipun kesulitan untuk terpejam.
Ia merasa bahwa keheningan mereka benar-benar mengerikan daripada sesosok hantu. Ia juga merasa bahwa suasana kaku mereka benar-benar dingin daripada es dari bekuan salju. Tidak ada hal seektrim apa yang ia rasakan saat ini sejak sepuluh tahun yang lalu ketika ia harus meninggalkan kedua orang tuanya.
Namun, Ai Zhiyi berusaha menahan semua itu. Ia membiarkan dirinya terjebak dan berusaha untuk bertahan dengan kekuatannya sendiri. Menurutnya, itu adalah sebuah cara terbaik untuk mengalahkan keadaan mereka berdua — mengalahkan Chu Weixu yang keras kepala daripada sekedar kata-kata yang hanya akan memperburuk keadaan mereka.