Suaraku tidak dapat keluar meskipun aku begitu ingin berbicara. Aku sungguh takut, aku membekap mulut agar orang-orang yang sedang mencariku itu tidak dapat mendengar suaraku. Air mata berontak meminta untuk keluar, namun sebisa mungkin aku berusaha untuk menahannya. Aku akan kehilangan segalanya jika mereka mendengar suara isak tangisku.
Sebenarnya aku sudah dapat menduganya, hidupku tidak akan pernah tenang dan hatiku akan selalu diliputi ketakutan karena aku harus selalu melarikan diri dari kejaran orang-orang yang ingin menangkapku. Sesuatu yang wajar bagiku jika orang-orang yang mengejarku dan begitu ingin menangkapku tidak lain adalah para prajurit istana. Namun kini aku sungguh tidak dapat mempercayai apa yang tengah menimpaku ini. Aku harus melarikan diri dari kejaran orang-orang yang ingin menangkapku dan menyerahkanku sebagai persembahan.
Di tengah-tengah ketakutan yang kini kurasakan, pikiranku tidak bisa lepas dari perkataan Josh dan Lily beberapa jam yang lalu.
"Tolong gantikan Renata, ikutlah bersama mereka."
Perkataan mereka sudah sangat membuatku memahami situasi yang sedang aku alami. Mereka memintaku untuk menggantikan Renata menjadi persembahan untuk ketiga penyihir jahat itu, Khadgar, Mage dan Lyon. Aku sangat memahami ketakutan yang kini tengah dirasakan oleh Josh dan Lily. Kini aku pun mengerti alasan para penduduk desa berkumpul dan memaksa masuk ke dalam rumah Josh dan Lily. Mereka pastilah ingin menangkapku.
"Tolonglah kami, Giania."
Bahkan Josh pun memohon padaku. Melihat kesedihan dan ketakutan di wajah mereka, aku sangat tersentuh dan ingin sekali bisa membantu mereka. Setidaknya membantu mereka demi membalas kebaikan yang telah mereka berikan padaku. Namun jika aku ingin membantu mereka, artinya aku harus menyerahkan hidupku untuk dijadikan persembahan. Sejujurnya di dalam pikiranku, tidak pernah membayangkan akan mengorbankan nyawaku seperti itu. Bukan untuk menjadi persembahan alasan aku melarikan diri dari istana.
"Giania, kita pergi dari sini!!"
Zero menarik tanganku, aku ingin menuruti perkataannya. Tetapi di saat yang bersamaan aku tidak tega meninggalkan Josh dan Lily. Entah apa yang akan terjadi pada mereka jika aku melarikan diri?
"Giania!!" Zero membentakku, tentu saja dia pasti sangat kesal dengan kekeraskepalaanku.
"Aku tidak bisa meninggalkan mereka, Zero."
"Kau akan mati jika terus berada di sini. Kita harus segera pergi!!"
Zero memaksaku untuk ikut bersamanya, untuk pertama kalinya aku merasa tubuhku sangat lemah. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menolak ajakan Zero. Kakiku akhirnya melangkah mengikuti Zero.
Duuk!
Aku yakin pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Tubuhku menabrak Zero yang berhenti tiba-tiba, seperti saat ini ... Zero tiba-tiba berhenti dengan tangannya yang masih menarik tanganku. Tatapan Zero sangat tajam dan tengah menatap ke arah belakangku. Aku mengingatnya dengan jelas, tatapan matanya itu sangat tajam dan tegas. Inilah pertanda bahwa dia sedang menggunakan kekuatannya. Aku mengetahuinya karena aku sering melihatnya semenjak aku berpetualang bersamanya.
Bruuk ... Bruuk ...
Detik itu juga aku berbalik badan dan menatap ke arah depan. Kini tepat di depanku, Josh dan Lily tengah terlentang di lantai dengan kondisi tak sadarkan diri. Tentu saja mereka kehilangan kesadarannya karena terkena sihir Zero.
"Apa yang kau lakukan, Zero?" tanyaku, heran karena Zero tiba-tiba menyerang pasangan suami istri yang sudah banyak membantu kami sampai mengizinkan kami menginap di rumah ini.
"Mereka berniat melukaimu."
Pada awalnya aku tidak mempercayai perkataan Zero. Aku merasa tidak mungkin Josh dan Lily yang sudah memperlakukanku dengan sangat baik akan melakukan sesuatu untuk melukaiku. Akan tetapi pikiranku berubah ketika aku melihat sebuah pisau berada dalam genggaman Josh dan entah sejak kapan Lily memegang sebuah tali di tangannya. Kini aku memahami kebaikan hati manusia akan cepat berubah jika mereka berada dalam ketakutan, seperti yang sedang dirasakan oleh Josh dan Lily.
Duk ... Duk ... Duk
Pintu itu ... Tidak lama lagi, aku yakin tidak akan sanggup bertahan. Mereka akan menerobos masuk dan mencoba menangkapku. Entah apa yang akan terjadi padaku jika mereka berhasil membuka pintu itu? Satu hal yang aku ketahui, aku tidak akan sanggup menyakiti mereka meskipun demi menyelamatkan hidupku sendiri.
"Giania! Cepat lari!!"
Jendela yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri telah berbuka. Ya, aku tahu pasti Zero yang membukanya. Kali ini tanpa keraguan aku mengikuti perintah Zero. Bagaikan seorang pencuri, aku melarikan diri dari rumah ini dengan melompati jendela itu.
Sekali lagi, aku merasa benar-benar menjadi seorang pencuri yang tertangkap. Begitu kakiku mendarat di tanah tepat di sekelilingku, aku melihat begitu banyak orang tengah menatapku. Mereka berhasil menemukanku atau lebih tepatnya aku sendiri yang datang menemui mereka karena ternyata ada beberapa dari penduduk desa yang sudah menungguku di depan jendela. Tatapan mereka dipenuhi kemarahan dan keinginan besar untuk menangkapku. Meskipun sudah berulangkali aku dikelilingi oleh para prajurit istana yang ingin menangkapku, namun inilah pertama kalinya aku dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku dengan penuh kebencian.
Mereka mulai melangkahkan kaki untuk mendekatiku dengan mengacungkan senjata tajam yang ada di tangan mereka. Tubuhku bergetar, aku bahkan merasa keringat mulai bercucuran dari pelipis maupun sekujur tubuh. Air mataku ikut memberontak meminta pembebasan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan ketakutan sebesar ini.
"Tolong lepaskan aku. Jangan mendekat. Tinggalkan aku."
Mereka tentu saja mengabaikan permohonanku. Mereka terus berjalan semakin mendekatiku.
Deg ... Deg ... Deg ...
Suara detak jantungku bahkan dapat aku dengar dengan jelas. Aku ingin berteriak, berteriak sekencang-kencangnya agar mereka meninggalkanku. Tetapi aku sadar teriakanku tidak akan berpengaruh apa pun pada mereka. Mereka semakin mendekat dan dengan kejamnya mengarahkan senjata tajam mereka padaku.
"Aaaaaaaaarrghh! "
"Aaaaaaaaaakkh!"
"Kyaaaaaaaaaaaa!"
"Wuaaaaaaaaaaaa!"
Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat satu persatu dari mereka merintih kesakitan. Mereka melepaskan senjata di tangan, mereka memegangi tubuh masing-masing yang terlihat mulai melemas. Satu persatu dari mereka tumbang dan jatuh ke tanah. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada mereka. Tetapi pemandangan seperti ini pernah aku lihat di masa yang lalu, aku menatap ke arah seseorang yang aku yakini merupakan penyebab kejadian ini. Tatapannya masih tajam, aku tahu betul dia masih menggunakan kekuatannya. Aku semakin yakin, ketika melihat satu persatu dari orang-orang itu terus berjatuhan.
"Hentikan, Zero! Kau tidak boleh menyakiti mereka !!!"
Teriakanku seakan-akan tidak terdengar olehnya, dia masih menggunakan kekuatannya. Aku tidak tahan lagi melihat Zero menyakiti mereka, aku berlari dan menghentikannya dengan menghamburkan diri di dalam pelukannya.
"Zero, aku mohon hentikan," pintaku dengan tulus memohon belas kasihannya agar berhenti menyakiti penduduk desa. Walau mereka berniat menyakitiku tapi aku sama sekali tak ingin melihat mereka terluka. Walau bagaimana pun mereka masihlah rakyat yang harus kulindungi sebagai seorang putri kerajaan.
Tatapan tajam Zero perlahan memudar, dia menatapku. Aku segera menjauhkan tubuhku darinya dan melepaskan pelukanku padanya.
"Seharusnya kau tidak menyakiti mereka."
"Tapi mereka ingin menyakitimu, Giania. Aku hanya ingin menjauhkan mereka darimu," ucapnya. Walau sebenarnya aku tahu niatnya memang baik karena dia begitu mempedulikan keselamatanku. Haruskah aku merasa senang sekarang karena mengetahui dia masih peduli padaku?