"Aku cukup tahu diri, Roh. Bukan dia yang tak pantas untukku. Tapi, memang aku yang tidak layak dengannya," jawab Nur. Memaksa tersenyum.
Ruroh diam sesaat. Melihat ekspresi mbak Nur yang memaksa terus tersenyum demi menutupi kesedihan membuat ia merasa gagal menjadi sahabat. Tidak bisa menghiburnya.
"Jangan berkecil hati, Mbak. Dia saja, yang memang sejak awal tidak pernah melihatmu. Memang, seperti apa, sih istrinya?"
"Dia, adalah calon dokter. Cerdas dan juga cantik."
"Haaah... Calon dokter? Bangga! Itu kan hanya sekedar gelar di dunia. Memangnya di akhirat dibawa apa, gelar itu? Tenang saja Mbak. Mas Rayan adalah keluarga dari keluarga yang sangat alim, dan memiliki adab yang tinggi coba istrinya itu mana bisa dan kuat bersanding dengan keluarga Mas Rayan? Paling anak kota, yang hanya tahu dunia dan buta akan pengetahuan agama dan akhirat saja."
"Tidak, Ruroh. Kamu salah. Istrinya itu juga lulusan pondok pesantren Baitil Jannati."
"Apa?" Seketika ruroh pun terkejut dan terbelalak kaget hampir tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh sahabatnya tersebut. "Mbak kalau bercanda itu jangan kelewatan," ujarnya.
"Iya, aku serius tidak bercanda. Kamu kenal dengan istri mas Rayan, Ruroh."
Ruroh seketika berfikir sejenak. Siapa kira-kira yang dia kenal sebagai alumni pondok, dan sekarang tengah bersekolah di fakultas kedokteran.
"Siapa, memang mbak Nur?" Akhirnya, gadis itu pun menyerah.
"Yang kudenga dari bu nyai Aisyah, tanggal 12 Desember mas Rayan akan mengadakan pesta. Para santri dan alumni juga akan beliau undang. Jadi, lihat saja sendiri, nanti," jawab Nur. Untuk menyebut nama Arsyla rasanya dia sudah tidak mampu.
Hari berjalan seperti biasanya. Nur, dan Ruroh pergi ke kelas untuk mengajar. Kali ini Arsyla datang terlambat. Seperti biasa, wajah gadis itu terlihat datar dan cenderung murung.
Jika kembali diingat-ingat lagi, sudah tiga bulan dia berubah seperti itu. Kenapa? Apakah dia tidak menghendaki pernikahan ini? Menunggu dia menjadi dokter dulu, atau... Mas Rayan bukanlah typenya. Tapi, alasan kedua rasanya sangat mustahil. Wanita mana yang bisa menolak pria yang mendekati sempurna seperti Rayyan?
Nuraini menghela napas dalam-dalam. Kemudian mengeluarkannya secara perlahan melalui mulut. Hal itu dia lakukan selama beberapa kali, berulang-ulang. Lalu kemudian ia menghampiri arsila setelah memastikan tidak ada siapapun selain mereka berdua. Terutama Ruroh. Dalam hal ini, sebaiknya dia tidak usah tahu saja. Atau, rencana malah akan gagal.
"Arsyla, selamat, ya?" ujar Nuraini. Menunjukkan senyuman terbaiknya kepada sahabatnya.
Namun siapa sangka meskipun gadis itu tengah tersenyum lebar tapi hatinya menjerit dan menangis, tatkala ia harus menghadapi kenyataan memberi ucapan selamat kepada sahabatnya sendiri atas pernikahannya dengan pria yang sudah sejak lama sekali diam-diam dia sukai.
"Selamat? Untuk apa Mbak Nur?" tanya gadis itu dengan lemah lembut.
"Kamu ini, Bagaimana bisa menyembunyikan hal sebesar ini pada kami? Sebenarnya kamu itu anggap kami sahabat apa bukan sih? Masa menikah diam-diam aja sampai mendekati hari resepsi tiba, kamu juga tidak mengatakan apa-apa padaku dan juga pada Ruroh."
Arsyla terdiam. Pandangannya lurus menatap langgar ke arah Nuraini. Dia tahu, sekalipun saat ini sahabat yang mengucapkan selamat dan tersenyum lebar kepadanya, tapi jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, gadis itu merasakan sakit yang teramat dalam.
Nuraini beranjak memeluk erat Arsyla. Dia menyembunyikan isakannya. Begitupun Arsyla. Dia benar-benar belum siap menghadapi ini. Tapi, akhirnya, berita bahwa dia telah menikah dengan Rayan sudah didengar oleh sahabatnya.
"Kenapa, kamu tidak bilang sama aku dan Ruroh, kalau memang menikah? Apakah kau juga tidak akan pernah mengatakannya, jika aku tidak mengetahui lebih dulu?"
"Aku akan mengatakannya. Tapi, tidak sekarang, Mbak," jawab Arsyla. Terlihat sekali kalau dia kebingungan.
"Kenapa? Memangnya mau nunggu apa lagi?"
"Sekelas sama Dia kan masih ijab siri, jadi memang sengaja nggak boleh di sebarkan kepada siapa pun. Khawatir nanti kalau ketahuan kesatuannya dia jadi kena sanksi. Ijab siri sendiri itu kan demi menghindari fitnah dan zinah saja, Mbak."
"Pokoknya, selamat, ya? Aku ikut bahagia atas pernikahanmu. Kau cantik, cerdas, serta memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi sangat pantas sekali dengan dia yang seorang abdi negara perwira tingkat dua."
"Mbak ini sudah saatnya kita mengajar para santri Wati. Ayo segera ke kelas masing-masing atau mereka akan kelamaan menunggu kita dan jam pelajaran terlewati sia-sia," ucap Arsyla, mengalihkan pembicaraan.
Setelah menerangkan pelajaran dan memberi tugas kepada muridnya, biasanya kesempatan seperti ini arsila gunakan untuk membaca materi dari kampus atau mengerjakan soal yang diberikan oleh dosen.
Namun tidak dengan hari ini. Pikirannya sibuk memikirkan perasaan Nuraini. Iya yakin senyum dan kebahagiaan yang ditunjukkan di hadapannya tadi itu hanyalah pura-pura.
'Ya Tuhan.... Sungguh, aku tidak memiliki niatan sedikitpun untuk menyakiti sahabatku. Kalau pun aku bisa memilih, lebih baik aku tidak usah dijodohkan. Kalaupun harus dijodohkan, sebaiknya jangan dengan mas Rayan.'
Arsyla benar-benar merasa sangat mumet sekali. Sungguh, dia belum pernah, merasakan masalah yang serumit ini.
Serumit apapun jika masalah itu hanya melibatkan dirinya saja yang terluka, dia tidak mempermasalahkan. Ia tahu bagaimana caranya untuk mengobati luka dalam hatinya sendiri. Tapi, apabila orang lain, dan itu adalah sahabat karibnya sendiri.
"Mbak Nur percayalah, bukan hanya kau yang sakit hati. aku juga, dan dia pun, juga," gumam Arsyla seorang diri. Tatkala dalam benaknya terbayang wajah Jordhan.
Ingin sekali dia menangis. Tapi, ini bukanlah tempat yang pas. Jangan sampai, murid dan para santrinya tahu bahwa dia rapuh dan lemah.
Cukup dia dan Tuhannya saja yang tahu, betapa rapuh, lemah dan bobroknya dirinya. Orang lain, Cukup tahu dan melihat penampilan luarnya saja. Arsyla yang baik, riang dan kuat.
Setelah memberi ucapan selamat pada sahabatnya, Nuraini merasa sedikit lega. Rasa sakit menerima bahwa ia tak jodoh dengan orang yang dia sukai selama ini juga masih ada. Hanya saja, setidaknya, Arsyla nampak tidak begitu menyukai Rayan.
Walaupun Arsyla tidak mengatakannya. Tapi, dari sorot matanya sudah menjelaskan segala.
Aku tidak tahu, Syl. Pria seperti apa seleramu. Sehingga, sosok mas Rayan yang sangat sempurna bagimu tidak berarti apa-apa. Aku juga maklum, kau anak kuliahan. Pasti diluar sana, kau mungkin juga telah menjumpai sosok yang jauh lebih sempurna dari mas Rayan. Tapi, jika kedua orangmu telah sepakat menjodohkan dirimu dengan keponakan abah, artinya, sisi agamanya tetap mas Rayan yang terbaik. Doaku, semoga kau bahagia. Membina rumah tangga yang sakinah mawadah dan warohmah bersama Mas Rayan.
Semoga Kau adalah jodoh terbaik yang memang sudah dipersiapkan untuk nya yang telah ditulis di lauh Mahfudz oleh Allah SWT.
Nuraini tersenyum, dan menitikkan air mata mengenai lembaran putih itu. Kemudian menutup dan mulai menggembok buku tersebut.