Hari yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Kini, sudah saatnya Arsyla, dan Rayan menggelar pernikahan resmi yang juga akan dihadiri oleh teman seperjuangannya, kesatuan dan juga komandannya.
Di dalam sebuah kamar, seorang wanita berpakaian pengantin, menghadap cermin. Pengantin itu terlihat hanya diam dan mematung saja.
Dia bukan sedang memperhatikan pantulan dirinya dari cermin. Entah secantik apa, dia sama sekali tidak peduli. Yang dia tahu hanyalah kedua orang tuanya, atas saran dari bu nyai Siti Aisah selaku pengasuh pondok pesantren Baitil Jannati menggunakan jasa WO terbaik di kota mereka.
Gadis itu memejamkan matanya. Menghela napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan dari mulut. Beberapa kali, hal itu dia lakukan.
Dia tidak sedang grogi menghadapi pernikahannya sendiri. Melainkan, dia terasa sesak. Kenapa, di saat seperti ini, bayangan Jordan justru malah melekat erat dalam benaknya.
"Ya Allah... Demi rasa cintaku pada engkau yang telah menciptakanku... Hamba benar-benar ikhlas menikah dengan mas Rayan. Saya tidak mengenal beliau dengan baik, meskipun sudah menikah siri sebelumnya. Tapi, saya tahu, bagaimana teguhnya dia di jalanmu.
Hamba percaya ya Allah. Tidak akan hati ini sakit dan kecewa apabila memilih pasangan hidup berdasarkan iman dan taqwa nya," keluh gadis itu seorang diri. Sambil terus beristigfar.
Arsyla kini kerasakan, betapa hebat dan luar biasanya berperang dengan dirinya sendiri hanya karena perasaan yang namanya cinta. Meskipun, kini dia sudah dihadapkan oleh sebuah hal yang tak seharusnya dia memikirkan pria lain, malah kini justru kian menjadi dan menggila saja.
'Ayo, Arsyla! Kau pasti bisa menakhlukkan dirimu sendiri!' ucapnya dalam hati.
Belum surut gemuruh di hati dengan orang di masa lalunya, Arsyla mendengar suara tawa seorang gadis yang tidak asing.
Ya, dia Ruroh. Salah satu sahabatnya di Pondok.
"Ruroh? Apakah dia bersama mbak Nur?" gumamnya lirih.
Kembali, hati bergejolak kian hebat.
"Tok tok tok!"
Arsyla tersentak kaget saat mendengar ketukan pintu dari kamarnya.
Dia takut apabila yang datang itu adalah ruroh bersama mbak Nur.
Kemarin-kemarin Arsyla memang masih bisa menghadapi Mbak Nur dengan berpura-pura tidak tahu apabila selama ini Mbak Nur menyimpan perasaan mendalam pada suaminya, mas Rayan.
Tapi, bagaimana dengan sekarang? Diam melihat ekspresi wajah sahabatnya yang sembab, tidak bertanya keterlaluan, bertanya jika dijawab jujur, ia harus apa? Membatalkan? Hah, sungguh ini tidak lucu. Tetap lanjut dan terus karena ini pilhan dari kyai yang telah disepakati oleh dua belah pihak keluarga, ditambah lagi, Rayan juga sejak awal melihatnya sudah jatuh cinta.
Tapi, jika dapat meneruskan ini apakah dia tidak dianggap sebagai teman yang bisa berbahagia diatas penderitaan temannya?"
"Mbak Arsyla! Ini aku, Nafis!"
"Masuklah!" seru Arsyla masih dengan suara yang bergetar. Namun, setidaknya dia juga sudah merasa lega begitu tahu, siapa orang dibalik pintu itu.
"Mbak, cuma mempersilahkan masuk saja lama banget? Kenapa? Nervous, ya jadi istrinya masku?" goda gadis berusia delapan belas tahun itu.
"Kan, sebelumnya Mbak sudah ijab siri sama mas mu. Jadi, Kenapa harus merasa nervous, Nafis?" jawab gadis itu. Dia sudah mulai sedikit tenang.
Seringkali Arsyla mendengar, bahwa hubungan seorang dengan ipar itu tidak akan baik. Mungkin, tidak dengan Arsyla. Dia merasa beruntung memiliki adik ipar seperti Nafisah. Meskipun dia suka blak-blakan, tapi dia tidak suka ngambek. Serta mudah sekali memahami orang di sekitarnya. Siapapun, yang kenal dengan gadis itu, pasti akan menyukainya.
"Oh iya aku lupa. Tidak, bukan aku yang lupa. Tapi, Mbak Syla.... " ujarnya lagi, mulai menggoda kakak iparnya.
"Bagaimana bisa?"
"Kan, setelah nikah siri kalian cuma bersama seminggu. Itpun jarang ketemu. Hanya sebatas main, dan jemput kuliah aja. Setelahnya, Mbak ditinggal tugas keluar pulau selana empat bulan. Ya... Sama aja, kalian seperti orang pacaran bentar dan dah mau nikah aja. Tapi, kan pacaran halal."
Aku hanya tersenyum. Memang, gadis ini benar-benar paling bisa saja menghibur seseorang. Dia, juga selalu masuk dalam doaku sebagai jajaran orang terpenting di hidupnya agar kelak mendapatkan jodoh yang benar-benar baik.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumssalam," jawah Arsyla dan Nafisah bersamaan.
Mengetahui bahwa itu adalah bu nyai Aisyah, Arsyla langsung beranjak, menghampiri wanita tersebut untuk bersebah.
"Kamu sangat cantik sekali, Arsyla. Selamat menempuh hidup baru, ya?"
"Terimakasih, Umi," jawab gadis itu.
"Arsyla, ayo Nak! Acara ijab qobul sudah akan dilakukan," ujar umik Halimah. Ibunya.
"Baik, Umik," jawab Arsyla.
dengan dituntun oleh umi Aisyah dan juga uminya sendiri, Arsyla berjalan menuju ke ruang tamu tempat dimana diselenggarakannya acara ijab qobul.
Di sana sudah dihadiri oleh keluarga mempelai laki-laki, yang sebagian memakai seragam tentara, dan juga sebagian adalah saudaranya serta teman-temannya semasa di pondok dulu, untuk ikut menjadi saksi ikrar janji suci antara dia dengan Rayan.
Arsila memang tidak melihat keberadaan Mbak Nur entah dia sendiri tidak tahu dia ikut menghadiri acara tersebut atau tidak.
Sebagai seorang teman pasti dia juga merasa sedih apabila salah satu teman terbaiknya tidak bisa ikut menghadiri hari bersejarah dalam hidupnya.
Meskipun sebenarnya sejarah ini tidaklah sepenuhnya tentang kebahagiaan. Juga ada rasa sakit dan kita dilema.
Meskipun... Jika dipikir-pikir lagi, alangkah lebih baiknya kalau mbak Nur tidak datang saja. Agar, tidak terjadi drama seperti yang viral di media sosial.
Walaupun sebelumnya hubungan diantaranya hanyalah sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan saja. Tapi tetap saja arsila was-was dan ketar ketir.
"Saya nikah dan kawin kan saudara Muhammad Rayan Al Hafidz bin Abdul Hafidz dengan Arysla Putri Wardana binti Abdullah dengan seperangkat alat sholat serta emas seberat serstus gram emas batang dibayar tunai. Sah?"
"Saaaaah!"
"Alhamdulillah."
Penghulu pun membacakan doa untuk kedua mempelai. Kemudian, Rayan memegang kepala Arysla sambil membacakan doa, dan mengecup kening Arsyla. Kemudian, disusul dengan Arsyla yang mencium tangan Rayan.
Sungguh, ini adalah sebuah momen yang sangat mengharukan. Banyak air mata yang tumpah karena ikut berbahagia.
Namun, ada pula, seorang yang karena menangis tak tahu akan perasaannya. Yang jelas, dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa pria yang sudah lama ini telah diam-diam dia kagumi, malah menikah dengan sahabatnya sendiri.
"Nur, kamu yang ikhlas, ya Nak? Sudahlah, doa kan saja yang terbaik pada mereka. Maka, doa itu juga akan kembali padamu, kelak, Nak."
"Iya, Ibu. Iya. Nuraini juga sadar diri. Nur hanyalah anak abdi pondok dari keluarga miskin. Sekolah umum saja, hanya tamatan SD. Lain halnya dengan Arsyla yang juga matang ilmu agamanya, tapi, tinggi pula pendidikan formalnya," jawab gadis itu, beberapa kali menyeka air matanya dan berusaha tegar menghadapi hal ini. Dia juga tak ingin, kalau sahabatnya melihat dirinya dalam keadaan begini.