Chereads / GUSAR KEHIDUPAN / Chapter 3 - Bab 2

Chapter 3 - Bab 2

Secepat mungkin, aku melajukan mobilku membelah jalanan kota.

Drrt.. drrrtt... ponselku kembali berdering.

"Iya Pi? Diara lagi di jalan, Pi" ucapku. Seketika sambungan telepon langsung terputus.

"Papi ada apa sih?" gumamku.

Memarkirkan mobilku di garasi rumah. Hatiku terus berdoa, semoga saja tidak terjadi apa-apa walaupun hatiku mengatakan bahwa ada yang tak beres di rumah.

Melangkahkan kaki secepat mungkin agar cepat memasuki rumah ini.

"Pi, Papi, Papi?" panggilku berulang kali. Benar saja, perasaanku sudah tidak karuan. Papi tak menyahut, segala penjuru ruangan di rumah ini gelap gulita.

"Papi, Mami. Kalian dimana? Pi!! Mi!!" kini aku mulai berteriak, menelusuri segala tempat. Di taman, kolam, dapur, ruang makan, kamar tamu, kamar mandi. Segala tempat di lantai bawah, tak satupun manusia kujumpai.

Kini kakiku melangkah menaiki tangga menuju lantai atas. Hatiku berkecamuk, pikiranku kemana-mana. Sebab tadi Papi menelponku dengan suara yang begitu tegang dan khawatir. Aku takut Papi dan Mami di culik atau ada hal buruk lainnya.

Perlahan sampai juga di tangga terakhir, aku memutuskan mengunjungi kamar Papi dan Mami.

"Pi.. Mi?" Panggilku seraya mengetuk pintu di depanku berulang-ulang. Namun, tak ada tanggapan. Dengan cepat aku memutar engsel pintu kamar ini dan memasuki kamar Papi dan Mami yang ternyata tidak ada orang di dalamnya.

"Papi... Mami!! Dimana kalian, Diara takut. Papi!!! Mami!!! Kalian dimana? Jangan tinggalin Diara sendirian begini. Pi!! Mi!!" Teriakku putus asa sambil menangis.

Di ruangan gelap ini, aku tak mampu menopang tubuhku hingga akhirnya menjatuhkan diriku untuk duduk tersungkur di sembarang tempat. Sungguh aku takut dengan kegelapan, Papi dan Mami entah kemana.

Aku benamkan kepalaku di antara lutut yang ku tekuk, aku menangis sejadi-jadinya.

"Dimana kalian?" Gumamku lirih.

Tuk.. tuk..tukk... Terdengar langkah kaki mendekatiku, tamatlah riwayatku. Aku pasrah!

"PAPI!!!" Teriakku spontan saat ada seseorang memegang bahuku.

"Ssst.. Ini Papi" Ucapnya,

"Hahh!!! Papi!" Melihat sosoknya, segera aku memeluknya,

"Papi kemana saja sedari tadi? Papi nggak lucu kalau bersembunyi seperti itu! Mengapa rumahnya begitu gelap? Dimana Mami? Papi nggak apa-apa kan" Tanyaku beruntun.

Papi memelukku, kemudian beliau merapikan rambutku yang tergerai menutupi sebagian wajahku.

"Hei, kenapa sampai sekhawatir itu? Papi tadi di ruang kerja" Jawabnya dengan nada yang begitu tenang.

"Tapi Papi tak menyahutku saat aku berteriak?" Tanyaku menuntut, aku rasa Papi sedang berbohong.

"Papi dengar" Jawabnya,

"Papi bohong kan? Dimana Mami? Kenapa rumah ini begitu gelap?" tanyaku ,

"Mami sedang pergi. Ada pemadaman listrik, jadi gelap" jawabnya,

"jangan menangis, lain kali jangan berteriak seperti tadi. Papi mendengarmu bahkan langkah kaki Diara pun Papi dengar" ucap Papi yang kini mengelap wajahku yang basah karena keringat dan air mata, kemudian Papi menciumi pipi dan dahiku.

"Ayo, ikut Papi" ajak Papi

"Kemana?"

"Ikut saja" Titahnya seraya menuntunku untuk berdiri.

Kini kami berjalan, menuju ke mobil Papi yang terparkir di garasi. Sejenak aku mengingat, tadinya mobil Papi tidak ada di sana saat aku pulang tadi. Namun, Papi bilang tadi dirinya sedang di ruang kerja. Apakah aku yang lupa dan tidak memerhatikan mobil Papi terparkir di samping mobilku?

"Mau kemana sih, Pi?" tanyaku pada Papi,

"Jemput Mami" jawab Papi dengan senyumannya, aku hanya mengangguk.

Tak sampai setengah jam, mobil telah berhenti di depan gedung tinggi.

"Ayo, turun" ajak Papi saat mobil berhenti di depan sebuah hotel. Aku menurut, Papi menggenggam jemariku, melangkahkan kaki bersama.

"Mari Tuan saya antar" ucap Sang wanita. Karyawan hotel ini mungkin~Pikirku.

Saat aku dan Papi berjalan, sepanjang jalan itu pula semua orang seakan menunduk. Memberi hormat, saat aku menoleh ke wajah Papi. Papi hanya berjalan lurus dengan pandangan yang lurus pula. Tampak tampan sekali Papiku ini, aku bangga mempunyai Papi seperti dirinya.

"Pi?"

"Ya?" papi menoleh padaku. Sedangkan jemariku masih terpaut dengannya. Sesekali Papi mencium punggung tanganku.

"Kenapa semua orang tampaknya menunduk, Pi?" tanyaku,

"Memangnya kenapa?" Papi berbalik tanya,

"Diara merasa tidak nyaman saja" ucapku. Bukannya Papi menjawab, tetapi Papi hanya tersenyum dan kembali mengecup punggung tanganku.

"Papi aneh" ucapku,

"Heh? Mengapa begitu?" tanya Papi,

"Tiap kali aku tanya malah bertanya balik, uhh" ucapku kesal.

"Suka-suka Papi dong" jawabnya.

Sekilas aku ingin menghempaskan genggaman Papi, tapi Papi terlalu kencang menggenggam tangaku.

"Rasain, nggak bisa di lepas" Ucap Papi dengan senyum ledeknya.

"Papi, menyebelin" ucapku, Papi hanya menggelengkan kepala.

"Dasar Papi ngeselin" ucapku pelan.

"Apa?" Papi seakan mendengar ucapanku, aku hanya menggeleng sebagai jawabanku.