Chereads / GUSAR KEHIDUPAN / Chapter 4 - Bab 3

Chapter 4 - Bab 3

Pagi yang cerah, kemilau lampu jalan yang masih menyala mulai samar karena terkalahkan sinar mentari. Aroma pagi hari memang sangat khas, belum tercemar oleh polutan apapun.

Rasanya nyaman sekali berdiam diri duduk di balkon kamarku ini. Tidak ada niatan untukku beranjak apalagi pergi mandi, aku terbuai dengan zona nyaman ini.

"Mami?" ucapku seketika saat membuka mata yang tadi sempat terpejam.

"Kenapa? Mandi dulu gih, habis itu sarapan" ucap Mami

Aku menggeleng, kini aku meraih pinggang Mami untuk kupeluk.

"Ihh, kenapa jadi pemalas begini sih?" ucap Mami yang kemudian mengelus rambutku

"Mami dan Papi akan pergi ke luar kota besok" ucap Mami lagi

"Ya sudah, tidak apa Mi" ucapku,

"Makanya mandi dulu, habis itu kita harus ke rumah Tante Dila" ucap Mami.

"Diara nggak mau ikut deh, hari ini Diara mau di rumah aja" ucapku,

"Kan Mami sama Papi mau pergi, sayang. Jadi selama Mami dan Papi nggak ada, kamu di rumah Tante Dila" ucap Mami. Memang dari dulu, aku sering di titipkan oleh kedua orangtuaku di rumah adik Papi, Tante Dila.

"Nggak usah ya Mi, Diara udah gede. Diara di rumah aja sama Bi Ani, Mami Papi juga nggak lama kan perginya?" ucapku,

"Bukan lama atau tidaknya, sayang. Cuma Mami ingin menjamin keselamatan kamu saja" ucap Mami,

"Sudah sekarang, Diara mandi dulu. Lalu kebawah, oke?" ucap Mami lagi.

Rasanya, untukku menolak setiap permintaan kedua orangtuaku itu sangat sulit. Aku tidak pernah menolaknya, aku mengerti dan aku merasakan sendiri setiap apapun yang orangtuaku berikan, semua yang terbaik untukku. Jadi, aku takkan mungkin menolak.

Selepas mandi dan berpakaian rapi, aku turun ke bawah. Menuju meja makan, karena memang perutku sudah berdemo. Ku lihat di sana ada Papi yang sedang duduk dan sibuk dengan ponselnya.

Saat kursi kutarik, Papi baru menyadari kedatanganku. Beliau tersenyum padaku, aku sangat menyukai senyumannya. Papi memang pria tertulus dalam hidupku, tak pernah ku jumpai pria tulus setulus Papi selama hidupku. Sebelumnya, memang aku tidak pernah berpacaran. Jadi, hanya Papi yakni pria termanis dan selalu membahagiakanku.

"Sarapan, sayang" ucap Papi. Kini beliau menyimpan ponselnya.

"Bi, siapkan sarapan untuk putriku ini!" Ucap papi setengah berteriak memanggil pelayan di rumah ini, Bi Ani.

"Ini, Non. Sarapannya" Bi Ani menyuguhkan sepiring nasi liwet kemudian disusul dengan beraneka lauk. Nasi liwet buatan Bi Ani memang enak, ini masakan andalannya.

"Habis ini, siap-siap ya ke rumah tante" ucap Papi,

"Bagaimana kalau Diara di rumah saja Pi? Ada Bi Ani juga. Papi tidak perlu khawatir" ucapku.

"Bi Ani juga ikut kok. Kalau di rumah Tante Dila, Papi mudah menghubunginya untuk memastikan keadaanmu" ujar Papi.

Kalau Papi sudah berkata seperti itu, artinya tidak ada alasan apapun lagi untukku menolaknya. Ya, aku hanya bisa menurut. Kembali lagi, semua yang keputusan orangtuaku adalah yang terbaik untukku.

Pukul sebelas siang, koper kecil dan tas ransel berisi buku-buku sekolah sudah masuk dalam bagasi mobil Papi. Kini, mereka sudah siap untuk menitipkanku ke rumah tante Dila.

Sesampainya di rumah Tante Dila, beliau dan suaminya sedang berada di teras rumah, halaman rumah tante memang cukup luas. Dan yang paling kusukai dari rumah tante adalah adanya kebun anggrek berwarna-warni di halaman rumahnya yang tetap ada sampai saat ini.

"Hei, Mas sudah datang? Mari masuk" Tante Dila beserta suaminya menyambut kami dengan suka cita.

"Bi, tolong buatkan jus dan cemilannya!" Ucap tante Dila.

"Biasa ya Dil, selama aku dan istriku pergi. Aku titipkan putriku padamu"

"Maaf merepotkan, Dek Dila" sambung Mami

"Heh, nggak kok. Aku sama mas Reno malah seneng kok. Beneran mbak, mas" ucap Tante Dila yang diangguki oleh Om Reno

"Iyaa, kita berangkat besok. Jadi sekalian habis ini kita cek in hotel" ucap Papi lagi

"Oh besok? Loh, kenapa ngga nginep di sini aja sih, Mas-Mbak?" ucap Tante Dila

"Iya, Mas. Disini aja, kenapa sih harus pesan hotel segala. Dari sini ke bandara nggak makan waktu banyak kok" ucap Om Reno

"Nggak ngrepotin nih?" tanya Papi

"Lah, kayak orang lain aja. Adik sendiri juga" Timpal Tante Dila

"Ini Nya, minumnya" ucap pelayan paruh baya itu,

"Oh iya bi, terima kasih. Mas Mbak diminum gih, Diara juga dong" Seperti inilah tante Dila, memang cerewet.

"Diara udah besar aja nih? Kemarin masih segini loh?" ucap Tante Dila mengira-ngira tinggiku sebelumnya.

"Namanya aja masih masa pertumbuhan, sayang. Gitu aja heran" timpal suaminya.

"Hahahaha" semua orang tertawa termasuk aku. Aku pikir, Om Reno mulai jengah mendengarkan istrinya itu berceloteh tak henti sedari tadi.

Tak terasa hari kian malam, matahari tergantikan bulan. Aku melangkahkan kaki ke kamar yang di tempati Mami dan Papi.

"Pi.. Mi.." ucapku di depan pintu kamar, Mami membukakan pintunya.

"Ayo masuk" ajak Mami

Aku mendudukkan diri di sofa kamar ini, Papi masih berkutik dengan laptopnya.

"Selama Mami Papi pergi, Diara yang nurut ya. Habis sekolah langsung pulang, Oke?" ucap Mami. Aku mengangguk dan tersenyum,

"Jangan lama-lama perginya, Mi" ucapku

"Nggak lama, cuma sebulan. Nggak sampai setahun kok" ujar Mami,

"Ih itu lama, Mi" ucapku sambil memeluk Mami.

"Diara mau tidur di sini?" Kini suara Papi terdengar,

"Mau Pi, boleh?" Jawabku,

"Dasar, puteri Papi ini" Papi mengacak rambutku hingga berantakan,

"Ah, Papi!" ucapku kesal.

Iya, benar saja. Kini aku tidur di antara orangtuaku. Papi dan Mami sama-sama memelukku. Nyaman, itulah yang aku rasakan sekarang ini. Mami tak hentinya menciumi puncak kepalaku sedari tadi, padahal kepergian mereka le luar kota dan meninggalkanku ini bukan untuk yang pertama kalinya. Tapi, ini selalu terjadi. Aku benar-benar merasa di sayang oleh mereka.

"Bangun, sayang. Papi mau berangkat" bisik Papi seakan terdengar begitu lembut di telingaku. Seketika aku membuka mata dan benar adanya, Papi sedang merapikan selimutku.

"Papi sama Mami berangkat ya, Nak" ucap Papi. Mami dan Papi sudah terlihat begitu rapi.

"Pi, jangan lama-lama" ucapku dengan suara parau khas bangun tidur. Papi tak menjawab, beliau hanya mengelus rambutku kemudian mengecup dahiku.

"Janji sama Papi, Diara harus jaga diri baik-baik. Oke?" ucap Papi, aku mengangguk,

"Ayo bangun, mandi" ucap Papi,

"Sudah ya, Papi dan Mami harus berangkat sekarang" tambahnya.

Aku mencium tangan mereka berdua, rasanya ingin menagis. Kenapa aku merasa begitu sedih hari ini. Sungguh, ini bukan seperti yanga biasanya. Ada sisi lain di dalam hatiku, perasaan khawatir, takut, atau apa aku tak tau.

Papi dan Mami sudah keluar dari kamar ini, hatiku terasa kosong. Mungkin aku sudah mengerti sekarang, bahwa sosok mereka sangat aku butuhkan di setiap napasku.

Setelah mandi dan memakai pakaian, aku keluar dari kamar ini. Sekilas tampak kosong di ruang tengah.

"Diara, sarapan" ucap Om Reno dari pintu depan.

"Iya, Om" jawabku,

"Ayo, Om temani" ujarnya lagi.

Om Reno dan Tante Dila memang orang yang baik dan penuh perhatian, mereka menyanyangiku seperti anak mereka sendiri. Mungkin dengan begitu, mereka bisa merasakan mempunyai anak. Secara tidak langsung, mereka turut serta dalam membesarkanku, mereka menjaga dan merawatku sejak kecil, saat Mami Papi pergi.

"Biar Om yang ambilkan. Segini cukup?" ucap Om Reno sambil menunjukkan setumpuk nasi di piring,

"jangan Om, itu terlalu banyak" ucapku,

"segini?" tanya Om Reno setelah mengurangi nasinya,

"iya, baiklah" jawabku. Tanpa bertanya lagi, kini nasi dengan lauk semur ayam sudah terhidang di depanku. Kemudian dengan hikmat aku menikmati makanan yang tersaji.

Paman Reno masih terus saja menemani kegiatan sarapanku, rasanya memang tidak nyaman. Namun, tak kupedulikan.

"Selepas makan, ikut Om ya?" Ucap Om Reno di sela acara makanku.

"Hemm.. Kemana Om?" Tanyaku, dia hanya mengangkat kedua alisnya.

~Memangnya mau diajak kemana ya?