2 tahun telah berlalu.
Kini, Irene sendiri tanpa ada sosok orang tua di sampingnya. Meskipun kejadian itu telah berlalu, nyatanya kenangan pahit itu masih membekas di memorinya. Matanya yang selalu berbinar cerah, kini terganti oleh kehampaan yang tiada tara, semua itu karena ulah adiknya sendiri. Bocah kecil itu membantai seluruh anggota keluarganya dengan tangannya sendiri. Irene masih ingat jelas senyuman itu, begitu mengerikan hingga membuat sekujur tubuh Irene merinding.
Irene tersentak kaget kala sebuah benda kenyal nan lembut menyentuh bibir merahnya, Ken menatapnya instens.
"Apa yang kau fikirkan, Irene? Wajahmu tampak menyembunyikan sesuatu dariku. " Ucapnya beruntun dengan tatapan masih enggan untuk berpaling. Nyatanya sekeras apapun Irene menyembunyikannya, adiknya itu akan segera mengetahuinya.
"Tidak ada, Ken. " Irene tersenyum lembut. Mencoba bersikap tenang meskipun dalam hati terlihat takut lantaran tatapan tajam sang adik. " Aku tidak lagi memikirkan apapun. "
"Apa benar? Apa mungkin kau tengah memikirkan sesuatu? Wajahmu terlihat ketakutan. "
Irene menelan ludah gugup. Jantungnya dua kali berdetak cepat. Ia meringis pelan ketika sebuah cengkeraman kecil di pinggangnya terasa menyakitkan. Ken curiga.
"Kau berbohong padaku, Irene. Kau sama sekali tak pandai berbohong. " Cengkeramannya semakin kuat, hingga Irene tak menyadari jika Ken telah melukainya.
"Aku tidak berbohong, percayalah padaku. "
"Masih bertahan sama perkataan palsumu itu? Sejauh mana kau menyembunyikannya dariku setelah aku melakukan hal yang tak terduga padamu, Irene. "
Detik berikutnya Irene menjerit keras, namun telapak tangan kecil itu membungkam mulutnya. Ken menggigit lehernya hingga berdarah. Irene memejamkan matanya rapat, Irene tak kuasa menahan air matanya yang kini luruh menjatuhi pipinya.
"Katakan padaku, sweety. " Ujarnya lirih. Terpaan hangat dari bibir mungil itu terasa di lehernya. " Katakan padaku yang sebenarnya. "
Irene terisak pelan, matanya tak berani untuk melihat manik tajam bak elang milik sang adik. Ken mengerang marah. Di cengkeramnya pipi tirus itu lalu menghadapkannya ke depan.
"AKU BILANG KATAKAN PADAKU, IRENE!! " Ken berteriak kencang. Tubuh Irene bergetar kencang, teriakan Ken mampun membuat dirinya ketakutan setengah mati.
"A-aku-" Nafas Irene tersendat. Tenggorokkannya tiba-tiba terasa kering. Saat ini jam menunjukkan pukul 12 malam, meskipun matanya mulai mengantuk, nyatanya sosok di depannya itu selalu saja menghantuinya.
"A-aku, ingin kau melepaskanku. Aku tidak ingin tinggal bersamamu. " Ken masih diam. " Aku-"
Ucapan Irene berhenti ketika Ken tiba-tiba mencium bibirnya beringas, Ciumannya begitu brutal, Irene mengerang tertahan mencoba tidak mengeluarkan suara aneh di dalam dirinya. Tubuh sekecil ini tapi kenapa beratnya menyaingi besi? Kekuatan Ken benar-benar tidak bisa di remehkan.
Irene mendesis pelan, bibirnya terbuka lebar ketika Ken menggigit bibir bawahnya. Rasa asin dan gurih terecap jelas di lidah Ken. Aroma rongga mulut Irene sungguh memabukkan.
Pandangan Irene buram, matanya terpejam rapat dan suasana mulai gelap.
Ken terkesiap.
Terkekeh pelan lalu mengecup lembut bibir sang kakak.
Ah... rasanya Ken ingin sekali mengurung sang kakak di tempat terpencil yang hanya ada dirinya dan juga Irene. Egois memang, tapi jika itu menyangkut tentang sang pujaan hati, apa boleh buat?
Semua yang ia lakukan sudah benar. Ken telah melakukan sebuah kesalahan dosa besar yang tidak dapat di ampuni. Tangan mungilnya memegang erat telapak tangan lembut itu, matanya menyorot sendu Irene.
"Apapun, akan aku lakukan hanya untuk memilikimu, Irene. Tak peduli itu kerabat ataupun orang tua kita, karena yang aku mau hanyalah dirimu. "