Aku memiringkan kepalaku ke kanan. Menatap lamat-lamat bayangan diriku di pantulan cermin besar yang ada di depanku. Sorot mataku begitu kosong, apabila Ken melihat pasti dia akan marah. Dan itu selalu saja terjadi jika aku tidak menunjukkan senyumanku padanya.
Aku tidak tahu mengapa di sekian banyak wanita harus aku yang dia cintai? Padahal Ken punya banyak sekali teman sepermainannya yang tak jauh lebih cantik dari diriku. Aku adalah Kakaknya, kakak dari orang tua yang sama. Aku menghela nafas lelah, membiarkan pelayanku menyisir rambut coklatku.
"Ivana?"
"Ya? Ada Apa Nona?" Aku menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah dia tampak bingung menandakan dia sedang menunggu jawaban dariku.
"Mengapa... Ken menyukaiku?" Pertanyaan yang begitu masuk akal itu terlontar jelas dari bibirku. Berharap Ivana memberikan jawaban yang pasti dan aku bisa pergi dari sini.
Dia nampak berfikir, aku menunggunya.
"Karena Nona adalah Nona Irene."
Aku mengangkat sebelah alisku. Jawaban macam apa itu? Benar-benar tidak masuk akal sekali.
"Apa maksud dari jawabanmu itu, Ivana? Karena aku Irene? Memangnya kenapa dengan namaku? Apa yang salah dengan namaku?" Aku memberinya pertanyaan beruntun kepadanya. Pasalnya jawaban darinya sungguh membuatku bingung.
Ivana mengerjap beberapa kali, lalu tersenyum tipis hingga menampakkan lesung pipinya. Ivana memutar kembali tubuhku ke arah cermin. Dia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutku. Aku masih penasaran dari jawaban dia tadi.
"Nona Irene itu cantik, sangat cantik sekali. Bahkan tidak sedikit para pria yang menyukai Nona. Jika pria lainnya menyukai Nona hanya karena kagum dengan kecantikkan yang Nona miliki, Tuan Kendrik berbeda." Aku mengerutkan keningku. Irisku bertemu dengan iris gelap miliknya. "Tuan Ken benar-benar tulus mencintai Nona. Memang sangat aneh dan tidak masuk akal jika seorang adik mencintai Kakaknya sendiri. Tapi melihat ketulusan dan cara Tuan Ken menatap Nona, itu semua dari hati."
"Tapi... bagaimana mungkin?" Gumamku lirih. Aku benar-benar tidak menyangka jika Ken harus mencintaiku. Dan melihat bahwa Ken tidak mengingat jika mereka adalah saudara kandung, Irene merasa hidupnya setengah gelap. Tidak ada cahaya penerangan sedikit pun dalam dirinya. "Bagaimana mungkin?"
Aku menangis. Aku benar-benar menangis dan kedua bahuku terguncang hebat. Aku merasakan Ivana mengusap lembut lenganku. Wajahku menelungkup di atas meja riasku. Aku tidak pernah tahu jika takdir mampu mempermainkanku sampai segininya. Kehilangan sosok orang tua, dan juga sosok adik yang begitu ia sayangi.
Aku tidak ingin jika Ken mencintaiku sampai sejauh ini lagi. Tapi aku tidak bisa menghentikannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan menuruti keinginannya.
"Takdir begitu mempermainkanku, Ivana... aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan di masa lalu hingga Tuhan sekejam ini padaku. Aku telah kehilangan sosok orang tua, dan sekarang adik yang begitu aku sayangi berubah sebelum waktunya. Aku-"
"Sudahlah Nona, tidak usah di fikirkan. Nona cukup percaya pada Tuan, bahwa apa yang di lakukan Tuan itu, semata-mata demi kebaikan Nona."
*****
Kedua mataku memerah, kepalan tanganku semakin kentara ketika mendengar perkataan Irene tentang perasaannya.
Dia tidak ingin aku mencintainya??
Heh???
Apakah aku mengizinkannya? Apakah aku akan mudah di kalahkan begitu saja? Tidak! Aku sampai kapan pun tidak akan pernah berhenti untuk mencintainya. Aku tidak peduli jika Irene berbuat nekat untuk berusaha lati dariku, aku akan dengan mudah menangkapnya.
Aku bukanlah adiknya, melainkan calon suaminya. Sudah cukup jauh aku melihatnya dari kejauhan, namun sekarang setelah aku melihatnya dari dekat, bahkan aku bisa mencium aroma khasnya, dengan mudahnya dia mengatakan hal itu.
Aku tertawa keras dalam hati. Ku buka pelan-pelan pintu kamarnya, lalu menutupnya kembali setelah diriku berhasil masuk. Aku melihatnya tengah tertidur dengan posisi terlentang layaknya bayi. Aku terkekeh geli. Ku langkahkan kakiku pelan, lalu naik ke atas kasur dan menatap penuh puja dan damba pada wanita pujaanku. Ku buka bajuku lalu menampakkan tubuh polosku. Hanya tersisa celana saja.
Aku berbaring dan memeluk erat tubuh itu, menghirup penuh rakus di ceruk lehernya yang begitu indah di lihat.
"Aku mencintaimu, Irene..." Bisikku pelan. Dia menggeliat, sepertinya sedikit terusik akibat terganggu. Namun aku semakin mengeratkan pelukanku. Telapak tangannya ki cium begitu lama, dalam hati aku terus saja memuja kecantikkan pada diri Irene. "Irene, hanya milikku..."