Chereads / THE LITTLE DEVIL / Chapter 4 - TLD-02.

Chapter 4 - TLD-02.

Ingatanku sedikit terlempar pada kejadian semalam, yang dimana aku secara tak kasat mata meminta Ken untuk melepaskanku. Ken marah, dan hal itu dapat aku lihat dari kedua matanya yang tajam. Memangnya... apa yang salah dari ucapanku? Aku hanya memintanya untuk membebaskanku dan berhenti mencintaiku. Namun apalah daya, aku hanyalah seorang wanita biasa. Jika di bandingkan dengan Ken, bocah kecil itu lebih berkuasa atas diriku. Aku menghela nafas lelah, ku lihat diriku di pantulan.

Ku tatap diriku lamat-lamat.

Cantik.

Itulah yang aku lihat dalam diriku. Mungkin hal itu yang membuat Ken tertarik padaku dari pada teman sepermainannya. Terkadang aku berfikir, apa yang ada di dalam otaknya adikku itu? Tidak sadarkah dia bahwa aku adalah kakaknya? Kakak dari ibu dan ayah yang sama.

Aku berjalan keluar dengan pakaian semalam yang belum aku ganti. Terlalu malas untuk membersihkan diri karena cuaca di pagi hari yang begitu dingin. Aku menghirup dalam-dalam udara di pagi hari, terasa begitu menyejukkan.

Akhirnya setelah sekian lama tidak keluar aku pun menginjakkan kakiku di luar pintu, yang entah sejak kapan pantai sudah ada di depan mataku. Mataku menatap ke sekelilingku, semuanya masih sama dengan suatu kegiatan yang tak pernah berubah.

Aku menghela nafas lelah.

Aku mengedikkan bahu acuh, memangnya hal apa yang tidak bisa di lakukan oleh bocah laki-laki berusia 9 tahun itu? Kakiku mulai melangkah lagi. Menyusuri lorong layaknya sebuah Istana Kerajaan.

Langkahku begitu pelan, tak ingin melewati sedikit pun suasana yang nampak begitu sepi. Mataku tak sengaja melihat Erdo yang kini tengah bercengkerama dengan Ken. Aku berjalan ke arah mereka.

"Terlalu pagi bagi anda hanya sekedar untuk jalan-jalan, Nona. " Ujarnya terkesan santai dan berwibawa.

"Aku hanya ingin mencari udara segar, Erdo. Apakah itu salah? " Aku bertanya skeptis, menaikkan sebelah alisku heran. Erdo menggeleng pelan lalu tersenyum.

"Tidak salah, Nona. Hanya saja akan lebih baik jika Nona bergelung selimut sambil menikmati dinginnya di pagi hari. " Dia mencoba untuk menghiburku. Ya aku akui kepekaannya.

Aku tertawa ringan. " Aku terlalu bosan untuk berdiam diri di kamar, Er. Lagipula cuaca di pagi hari sangatlah bagus untuk kesehatan bukan? "

"Hm, anda benar Nona. "

"He'em. " Suara deheman kecil terdengar.

Aku menelan ludah gugup.

Aku... bahkan melupakan Ken yang sedari tadi berdiri di antara kami, saking asyiknya berbicara.

"Kau ingin ikut denganku, Ken? Mencari udara segar akan lebih menyenangkan bagimu. " Aku menawarkan Ken untuk menemaniku, hal itu hanya untuk mengalihkan pandangan buruknya terhadap Erdo. Lagipula Erdo termasuk pelayan yang sangat setia pada Tuannya. Aku tersenyum ketika Ken mengangguk. Telapak mungilnya mengenggam lembut jemariku.

Aku terkesiap.

Genggamannya masih sama, terasa lembut namun sedikit erat. Aku memakluminya dan tersenyum tipis.

"Aku akan menghukumnya jika kau berani mengabaikanku, Irene. " Desisnya pelan. Amarahnya kian tertahan.

"Hm, maaf.. aku tak akan mengulanginya lagi.Maafkan aku. "

Aku meminta maaf dengan mimik wajah sedikit menyesal.

"Apa aku kurang tampan hingga kau mengabaikan keberadaanku? " Aku tergelak mendengarnya. Astaga!! Apakah setakut itu dia sampai-sampai memasang wajah seperti itu?

Aku menggeleng pelan, tanganku menyentuh lembut kedua pipinya. Ku pandangi manik mata hijau itu.

" Kau begitu tampan, Ken.. sedikit pun aku tak ada niatan untuk mengabaikanmu. "

"Hm, memang jawaban itulah yang seharusnya aku dengar dari bibirmu, Irene, di mana kau mengakui ketampanan dan juga kelebihanku. " Ken tersenyum puas, dan aku membiarkannya. Lagi, Ken mengenggam jemariku, kali ini lebih lembut. Jika aku berkata bahwa aku tengah berjalan dengan adikku, maka dengan lantang Ken akan menjawab, bahwa dirinya adalah calon sumainya.

Tapi setidaknya.. orang-orang tidak menganggap diriku pedofil.

*****

Saat ini aku tengah berada di sebuah taman berlapisi rerumputan hijau yang sedikit basah, Ken tidur di pahaku menjadikannya bantal. Ku lihat Ken tengah memejamkan kedua matanya, sesekali mengecup lembut jemariku yang ia genggam.

Aku.. lagi-lagi terkesiap.

Salivaku mendadak tercekat. Fenomena ini begitu langkah, tapi kenapa harus dirinya?

"Usapanmu masih terasa lembut dan membuatku nyaman, Irene. " Ucapnya begitu lirih, suaranya berubah serak seolah sedang menahan perasaan gejolak di dadanya. Aku tersenyum tipis, ku usap lagi surai coklat itu.

"Akhir-akhir ini tugasku begitu menumpuk. Aku sampai jarang untuk menemanimu, maafkan aku. "

"Hm, tak apa, Ken. " Aku tersenyum maklum. Terkadang aku berfikir bahwa Ken itu masih terlalu dini untuk menjalankan semua tugas itu. Tapi ketika aku menyuruhnya untuk berhenti dan memindah tugaskan pada Erdo, Ken menolak dan menjawab, "Aku bekerja untuk masa depan kita, Irene! "

Yang entah kenapa justru membuatku berfikiran aneh.

"Kau, terlalu memforsir tenaga dan juga otakmu, Ken. Kau masih terlalu dini untuk mengerjakan semua tugas itu. " Aku mencoba untuk menasehatinya, lagipula meskipun otaknya cerdas, tapi tubuhnya masih sekecil itu, dan Irene tidak tega melihatnya.

"Jika aku tidak melakukannya, bagaimana bisa aku menikahimu? " Kali ini mata Ken terbuka lebar, yang entah sejak kapan wajah Ken kini sudah berada di depanku. " Bagaimana bisa aku membiarkan anak dan istriku kelaparan karena ayahnya hanya diam saja? " Ken bertanya beruntun, aku kewalahan untuk menjawabnya.

Mendengar itu, membuatku merasa geli sendiri. Aku menggeleng pelan.

"Kau, berfikir terlalu jauh, Ken... tenangkan dirimu, masalah pernikahan bukannya masih lama? Kau masih berusia 9 tahun, masalah pekerjaan biarlah Erdo yang melakukannya. "

Ken masih diam, aku menghela nafas panjang.

"Di usiamu seperti ini, seharusnya kau Sekolah dan menikmati hari mainmu, Ken, itu akan membuatmj terasa senang. "

"Dan membiarkanmu bersama pria lain, begitu?! " Kedua alisnya menukik tajam. Astaga!! Bukan itu yang aku maksud.

"Bukan seperti itu, Ken... " Aku berucap lirih. Melihat kemarahan di mata itu sungguh membuatku takut. " Aku harap kau megerti maksudku. "

"Seharusnya disini yang harus mengerti itu kau, Irene! " Aku tersentak kaget. Ken berteriak tepat di depanku. Aku berdiri di saat Ken berdiri. Nafasnya naik turun. " Aku tidak membutuhkan semua itu! Yang aku butuhkan hanya kau, Irene! HANYA KAU!! "

Aku merengkuh tubuh mungil itu erat, mencoba menenangkannya.

"Iya.. aku mengerti, aku minta maaf, ok? Tenanglah Ken, tenangkan dirimu.. "

" Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Irene, selamanya kau milikku.. "