"Em, aku ... aku mabuk karena sedang banyak pikiran saja, Dean," jelas Bryana dengan gugup. 'Dean tidak boleh tahu kalau aku mabuk karena tidak bisa melihatnya bersama gadis lain,' lanjutnya dalam hati sembadi meminum jua jeruk nipis dengan menggunakan senďok.
Dean pun mengangguk paham kemudian teringat pada kondisi keuangannya yang menipis, bertepatan dengan hari ulang tahun Sofia yang semakin dekat. Dia melirik Bryana dengan gusar dan ingin meminjam uang, tapi dia ragu, karena belum lama bekerja.
Melihat kegelisahan di wajah Dean, Bryana pun menyadari itu dan bertanya, "kamu kenapa? Ada masalah?"
"Tidak, aku hanya menunggumu untuk kuantar ke kantor," jawab Dean dengan tersenyum hangat, namun Bryana tahu bahwa senyum itu menyimpan arti yang mungkin tidak setara dengan sebuah senyuman. Masalah tentunya, Bryana berpikir bahwa Dean menyembunyikan masalah darinya.
"Ceritakan saja, siapa tahu aku bisa membantu. Bukankah teman harus saling jujur dan saling membantu?" Bryana mendesak sembari mengaduk-aduk jus nya dengan sendok panjang itu.
"Eh, aku ... aku ingin meminjam uang," ucap Dean dengan gugup dan tertunduk malu sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.
"Pinjam uang?" Bryana tampak kurang percaya dengan apa yang baru dikatakan oleh Dean.
"Hanya untuk keperluan biaya ulangtahun putriku saja. Kamu bisa memotong gajiku bulan ini, yang terpenting aku bisa merayakan ulangtahun putriku," ucap Dean dengan cepat, takut Bryana salah menilai dirinya akan meminjam uang untuk hal lain yang mungkin kurang penting.
Bryana bergeming sejenak mengingat dirinya juga membutuhkan Dean untuk menjadi pasangannya saat menghadiri pesta pernikahan Soraya dan Johnny. Daripada menyewa pria lain yang belum tentu dapat dipercaya,
"Ah, itu bukan masalah, Dean. Aku akan meminjamkan uang untukmu, bahkan kamu tidak perlu mendapat potongan gaji," ucap Bryana dengan tersenyum simpul.
"Benarkah?" Dean tampak tidak percaya.
"Hem, tapi aku juga membutuhkan bantuanmu," seru Bryana sembari tersenyum malu-malu.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Jill?" tanya Dean dengan menatap intens pada Bryana.
Bryana jadi malu untuk mengatakannya. Entah harus memulainya dari mana, tatapan mata biru Dean yang hangat itu sungguh membuatnya salah tingkah, bahkan dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaiamana jika Dean mengira dia punya kutu? Ah, tidak! Jangan garuk kepalamu Bryana!
"Jill," Panggil Dean, karena Bryana terus diam sambil mengaduk jus nya yang mungkin hampir berbuih.
"Eh, besok ... besok ... am, aku bingung harus menyebutnya apa," ucap Bryana dengan gugup dengan tersenyum tidak nyaman.
"Memangnya apa?" tanya Dean dengan tersenyum gemas.
"Anu, eh... ikutlah kondangan bersamaku," jawab Bryana dengan gugup. Ya Tuhan, dia malu sekali, gengsi nya sebagai majikan luntur seketika.
"Kondangan?"
"Iya, temanku yang kemarin pagi ke sini akan menikah besok. Dan dia akan mengadakan pesta. Aku ... aku harus datang membawa pasangan," jelas Bryana dengan salah tingkah, tangannya bahkan sudah berkeringat, suasana pagi ini jadi terasa panas dan bahkan rasa pusing efek mabuk tiba-tiba lenyap.
Dean terdiam sejenak. Tiba-tiba dia teringat pada Carlos yang hampir menodai Bryana. Jika bukan dia yang menjadi pasangan Bryana, maka pria lain yang akan jadi pasangan dan bisa saja pria itu bertindak seperti Carlos lagi.
'Tidak, itu tidak boleh terjadi lagi. Aku akan menjadi pasangan sekaligus melindunginya dari mata pria-pria berhidung belang yang bisa saja melecehkannya,' batin Dean dengan tatapan dingin pada Bryana.
"Dean," panggil Bryana, membuyarkan lamunan Dean.
"Aku akan menemanimu," ucap Dean dengan lugas tanpa mengingat nasehat ibunya untuk menjauhi Bryana.
"Seriously?"
"Of Course. Em, karena kamu juga sudah akan meminjamkan uang kepadaku, maka aku harus menuruti permintaan mu," jelas Dean dengan tersenyum dan menunduk. Duh, sekarang Dean yang malu-malu.
Bryana menghela napas lega, kemudian segera menghabiskan rotinya yang sejak tadi masih termakan separuhnya saja, sedangkan Dean masih diam menatapi.
"Setelah jam makan siang, aku akan membeli tuxedo yang mewah dan keren untukmu," ucap Bryana dengan mulut yang masih penuh dengan roti.
Uhukk ... uhukk ..!
Akhirnya Bryana tersedak.
Dean terkekeh dan segera menuangkan air putih ke dalam sebuah gelas cantik dan memberikannya pada Bryana.
"Jangan makan sambil bicara," seru Dean.
Bryana segera menenggak air putih itu hingga habis dengan mata yang terus menatap Dean yang tak pernah absen dari kata tampan. Dia harus bersyukur karena kakaknya menyewa bodyguard sangat tampan untuknya.
"Lain kali aku tidak akan makan sambil bicara," ucap Bryana dengan tersenyum simpul.
Dean pun terpesona pada senyum itu, kemudian dia beranjak dari kursi dan pamit untuk menunggu Bryana di mobil yang harus dipanaskan terlebih dahulu.
____
Saat baru tiba di kantor, Bryana memasuki ruangannya diikuti oleh Dean. Namun wanita karir itu berhenti saat melihat ada seorang gadis sedang menunggunya bersama Monica.
"Selamat pagi, Bu," sapa Monica diikuti oleh gadis di sampingnya.
'Kareen,' batin Dean sembari melirik gadis itu ternyata adalah Kareen, sahabat yang saat ini tinggal bersama ibunya.
"Pagi," balas Bryana sembari melirik Kareen dengan tatapan aneh, seolah sedang mengingat sesuatu saat melihat gadis itu. 'Dia yang bersama Dean kemarin, untuk apa dia ke sini?'
Bryana segera duduk di kursi kebesarannya sedangkan Dean berdiri di dekat pintu seperti biasanya. Mungkin Bryana harus menyeretnya ke sofa untuk memaksanya duduk.
"Bu, ini Kareen, dia yang beberapa hari lalu saya rekomendasikan untuk membantu anda," ucap Monica dengan sopan.
"Oh," balas Bryana dengan mengangguk paham. Entah kenapa, melihat Kareen membuat Bryana merasa nyeri di hatinya, karena gadis itu lumayan dekat dengan Dean. Dia jadi ragu untuk menjadikannya orang kepercayaan.
"Apa hari ini saya ada meeting?" tanya Bryana sembari menatap Monica, sedangkan Kareen hanya diam menunggu diajak bicara.
"Tidak, Bu," jawab Monica.
"Kamu yang interview dia, karena ada banyak file yang harus saya cek," seru Bryana sembari melirik Kareen dengan tatapan datarnya.
"Tapi, Bu ...," sergah Monica yang kurang percaya diri.
"Berikan data hasil interview itu nanti kepada saya, saya yang akan memutuskan diterima atau tidaknya dia," seru Bryana dengan tegas.
"Baik, Bu," balas Monica dengan mengangguk patuh, begitu pula Kareen.
Bryana pun tersenyum menanggapi sekretaris dan sahabat Dean itu, kemudian mempersilahkan mereka untuk keluar dan melakukan interview di ruang sekretaris.
Kareen dan Monica berjalan keluar dari ruangan Bryana dan melewati Dean yang sedang berdiri di dekat pintu. Dari kejauhan, Bryana melirik Dean yang tersenyum menyapa Kareen, dia langsung membanting pulpen nya ke lantai tanpa ada seorang pun yang melihat.
'Sempit sekali dunia ini, kenapa harus dia yang akan bekerja di kantorku? Lebih baik aku yang menjadikan Monica sebagai orang kepercayaan ku dan dia yang akan jadi sekretaris, atau bila perlu menjadi karyawan biasa saja,' batin Bryana sembari melirik ke arah pintu di mana Dean sedang berdiri.