Chereads / Legenda Mawar Biru / Chapter 1 - 1. Anak yang Bertahan Hidup

Legenda Mawar Biru

🇮🇩CirraRei
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 28.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Anak yang Bertahan Hidup

Kesunyian malam yang mencekam itu dipecahkan oleh dentuman langkah yang menggelegar.

BAM! BAM! BAM!

Ellaine melesat menembus lebatnya pepohonan hutan. Di dadanya menggelayut buah hatinya dengan mata tertutup lelap. Uniknya, dengan kecepatan lari Ellaine yang bahkan akan sulit dipantau oleh mata manusia biasa, anak tersebut tidak sedikitpun menggerakkan tubuhnya dan terus terbuai dalam mimpi kecilnya.

Kontras dengan kedamaian yang sedang dirasakan si kecil, Ellaine justru dilanda kecemasan yang amat sangat. Jantungnya tak henti berderu, khawatir akan keselamatan buah hatinya. Sembari terus berusaha menjaga agar anaknya tidak terbangun, Ellaine terus menambah kecepatan berlari, menjauh dari langkah kaki yang meskipun pelan namun mampu menebar teror bagi seluruh penghuni hutan di malam itu.

Hati Ellaine teriris. Langkah kaki yang berdentum itu adalah milik monster hutan yang telah menjadi sahabatnya, Andalene. Andalene telah berada disampingnya sejak dia kecil, dan mereka tumbuh bersama, mengarungi segala rintangan dan masalah yang ada didepannya. Melihat sahabat terdekatnya berubah menjadi musuh dalam semalam, Ellaine pun meneteskan air mata, pedih.

Namun Ellaine segera mengusap mata dan pipinya yang mulai basah. Apapun perasaan melankoli yang akan dia alami akibat pengkhianatan ini, kesampingkan itu semua. Yang terpenting saat ini adalah keselamatan anak satu-satunya, buah hati yang saat ini tertidur pulas dalam pelukannya. Hanya itu yang harus dia pikirkan, untuk saat ini.

Hampir satu jam lamanya Ellaine melintasi hutan, dan suara langkah kaki yang mengejarnya pun mulai sayup. Sepasang ibu anak ini tiba di pantai, menjejak pasir putih yang terlihat gelap dibawah temaram cahaya bulan. Dengan langkah cepat Ellaine bergegas mendekati satu susunan batu karang yang terjal. Dari balik batu karang tersebut dia menemukan sebuah perahu kayu. Dengan tangan kiri, sembari tangan kanannya menopang tubuh si kecil di dadanya, dia mengangkat perahu itu keluar dari deretan batu karang dan meletakkannya diatas pasir pantai. Tanpa membuang waktu, Ellaine membaringkan bayinya diatas perahu, selembut dan sepelan mungkin agar tidak membangunkan tidur indahnya.

Namun seolah merasakan kegundahan ibunya yang mencapai puncaknya, mata si kecil yang terus tertutup di perjalanan menembus hutan itu justru malah terbuka.

"Emmmh, Mama? Az dingin..." Gumamnya sembari mendekap dada dengan kedua tangan, sedikit menggigil oleh angin pantai yang memang menghembuskan hawa dingin dibandingkan dengan kehangatan selimut di rumahnya.

"Iya sayang, " Ellaine membelai rambut Az dengan penuh kasih. "Mama akan membawa Az bertemu dengan teman Mama, tapi Az akan berangkat dulu naik perahu, ya. Nanti Mama akan menyusul Az di belakang," Ellaine berusaha menenangkan Az dengan kebohongannya.

"Teman Mama? Kok malam-malam? Az nggak mau, dingin, besok aja," Az merajuk. Dia berusaha merangkak kembali ke pelukan ibunya namun tak menyangka tangan ibunya akan menahannya dengan kuat.

"Mama?" Az menatap Ellaine dengan pandangan bingung.

"Az..." Ellaine berusaha keras untuk tidak meneteskan air mata, "Mama harus mengurus sesuatu terlebih dahulu di pulau. Az berangkat dulu ya, Mama janji nanti akan menyusul."

"Benar?" Az masih terlihat ragu. "Tapi Andalene mana? Apa Andalene tidak akan ikut?"

"Tentu saja Andalene akan menyusul bareng Mama nanti." Suara Ellaine mulai bergetar. Dia tidak akan bisa menjelaskan situasi yang dihadapinya saat ini pada anak berumur 4 tahun.

Bagaimana dia akan menjelaskan bahwa sahabat ibunya, yang telah merawat dan bermain dengannya semenjak ia lahir, sekarang malah ingin membunuhnya?

Ellaine mengeraskan rahangnya dan berusaha tersenyum, "Az berangkat dulu ya, Mama dan Andalene akan langsung menyusul di belakang Az. Nanti kita balapan berlayar pakai perahu," Ellaine menambahkan bujukan lain agar Az tidak merengek lagi.

Sayangnya, suara langkah kaki Andalene kembali terdengar. Az, yang sudah mulai terbujuk pun kembali menatap ibunya dengan tatapan bingung.

"Tuh Andalene sudah mulai menyusul," Ellaine tak habis akal dan menjadikannya sebagai alasan lain untuk menguatkan kebihongannya.

Az akhirnya mengangguk, meski masih sedikit ragu. Dia duduk diam diatas perahu dan tidak melepaskan tatapannya dari wajah ibunya.

"Tapi benar Mama langsung menyusul Az?" Tanyanya lagi.

"Iya sayang, Mama akan ada dibelakang Az." Ellaine memeluk Az, erat. Namun sadar situasi mereka saat ini, Ellaine segera melepaskan pelukannya dan meraih sebilah pisau dari sabuknya. Pisau itu memantulkan cahaya bulan dan memiliki sinar abu-abu yang kelam dan tajam.

"Pisau Rambart?" Mata Az seketika berkilauan.

Bagaimana tidak, Pisau Rambart adalah senjata legendaris yang dimiliki oleh ibunya. Dari penuturan beberapa pengelana teman ibunya yang terkadang singgah di pulau, Pisau Legendaris Rambart itu telah merenggut banyak nyawa orang-orang jahat. Ellaine tidak akan sembarangan mengeluarkan pisau itu. Bahkan sejujurnya, Az pun baru kali ini melihat Pisau Legendaris Rambart sedekat ini. Biasanya dia hanya mencuri pandang saat pisau itu masih terpasang di sarungnya yang menggantung di sabuk kulit Ellaine.

"Dengan pisau ini nanti Mama akan bisa mengikutimu," Ellaine tersenyum melihat Az akhirnya melepaskan keraguannya setelah melihat Pisau Rambart untuk pertama kalinya. Dia pun segera memasang Pisau Rambart di bagian belakang perahu, sedemikian rupa sehingga posisinya menyerupai baling-baling perahu. Dengan menyisipkan sedikit aura pada pisaunya, Pisau Rambart pun mulai berputar dan mendorong perahu berlayar kedepan, membawa Az menjauh darinya.

"Baik-baik Az, kasihku," Ellaine mencondongkan tubuhnya kedepan dan mencium Az di keningnya untuk terakhir kali sebelum perahunya membawa Az keluar dari jangkauan tangannya. Az mendekati bibir perahu bagian belakang dan berkata dengan sedikit khawatir.

"Mama benar-benar akan menyusul Az kan?"

"Iya, Az, segera, Mama akan segera menyusul," Ellaine menganggukkan kepalanya. Air mata mulai mengalir turun di pipinya, memantulkan kilau indah dari rembulan. Tangis yang mampu dia tahan sebelumnya, pecah.

Kali ini kekhawatiran Az muncul sepenuhnya. Dia tidak pernah sekalipun melihat ibunya menangis. Dan dalam situasi seperti ini, pula. Az langsung merasakan ada sesuatu yang aneh. Namun ketika dia hendak memanggil ibunya lagi, dia melihat Andalene muncul di kejauhan.

"Mama, Andalene datang! Ayo Mama buruan nyusul Az!" Teriak Az sambil menunjuk kearah hutan.

Ellaine memutar badannya. Air matanya seolah membeku melihat Andalene, yang kemunculannya diiringi dengan dentuman konstan langkah kaki yang menghancurkan pepohonan. Hati Ellaine bergetar. Sama sekali, seumur hidupnya, tidak pernah dia membayangkan hal seperti ini akan terjadi.

Andalene, monster hutan sahabatnya, hanya setinggi anjing hutan sata pertama kali dia menemukannya. Dengan tubuh yang sepenuhnya terdiri dari tanah yang mengeras, Andalene dapat menghancurkan tumpukan batu bata setinggi pinggang manusia dengan sekali pukul. Dan itu baru kekuatan fisiknya. Kemampuannya mengendalikan aura jauh lebih hebat lagi.

Sebagai monster hutan, Andalene memiliki dua aura, coklat dan hijau. Dua aura ini melipatgandakan kemampuan fisiknya saat dia bertarung di hutan. Namun meski dua kekuatan itu, fisik dan aura, sudah dapat membuat satu pasukan berkuda tak berdaya melawannya, kekuatan utama Andalene bukanlah keduanya.

Adalah elemen, yang membuat Andalene begitu digdaya. Berbeda dari ras manusia yang hanya bisa mengendalikan satu elemen per orang, ras Andalene adalah monster, yang tidak memiliki batasan berapa jumlah elemen yang dapat mereka kendalikan. Andalene sendiri menguasai empat elemen, yaitu tanah, kayu, batu, dan daun. Empat elemen ini juga direpresentasikan dalam tubuh Andalene. Meski tubuhnya terdiri dari tanah yang mengeras, tubuh Andalene dipenuhi dengan bebatuan dan tanaman yang menonjol di sekujur tubuhnya. Pada bagian dimana sendi manusia terletak, disana terdapat batu besar yang tertanam di tubuh Andalene. Disamping itu tanaman yang tumbuh mengelilingi Andalene terlihat bagaikan pakaiannya.

Meski memiliki postur serupa manusia, Andalene sama sekali tidak memiliki kemiripan lain dengan manusia. Bahkan, siapapun yang pertama kali melihatnya akan segera mengerti, bahwa Andalene adalah definisi dari hutan itu sendiri.

Tiga kekuatan Andalene tersebut, fisik, aura dan elemen, cukup membuat adrenalin Ellaine meningkat pesat. Jantungnya tak henti berdetak kencang. Dan dengan setiap langkah yang diambil Andalene, jantungnya memompa darah ke seluruh tubuhnya dengan tingkat yang lebih cepat.

Dan di tengah itu semua, hasrat lama yang telah dikubur dalam-dalam oleh Ellaine kembali menyeruak. Hasrat yang ingin dia pendam hingga ajal menjemputnya. Hasrat yang dia tidak ingin anak semata wayangnya melihatnya.

Hasrat membunuh!

Bersamaan dengan keluarnya Andalene dari hutan dan menjejakkan kaki tanahnya di pasir pantai, aura abu-abu Ellaine membuncah keluar, dibarengi dengan hasrat membunuh yang tak kalah hebat. Az yang sudah berada cukup jauh di tengah laut pun menggigil, gemetar, merasakan hasrat membunuh yang belum pernah sekalipun dia rasakan keluar dari ibunya. Aura abu-abu yang dikeluarkan ibunya pun berkali-kali lipat lebih banyak dari yang biasa dia lihat saat mereka berlatih. Az melihat sisi baru ibunya yang tidak dia kenal.

"Mama..." Az mencengkeram tepi perahu dengan erat. Matanya tak lepas dari pantai dimana ibunya dan Andalene kini saling berhadapan.

Ellaine tak punya pilihan lain selain mengeluarkan aura dan hasrat membunuhnya sekaligus, karena selain kekuatan alami Andalene, ada satu hal lagi yang membuatnya sangat waspada. Yaitu fakta bahwa Andalene bertransformasi.

Ya, bertransformasi. Andalene yang di hari sebelumnya hanya setinggi lelaki dewasa, kini berubah menjadi monster dengan tinggi tak kurang dari 5 meter. Ellaine curiga ini jugalah yang menyebabkan Andalene menjadi buas, menyerangnya dan Az serta menghancurkan hutan yang sebelumnya dia lindungi. Meski ingin mencari tahu konspirasi dibalik ini semua, Ellaine paham bahwa saat ini, yang harus dia lakukan adalah menghentikan Andalene.

GRWAAA!

Dengan teriakan yang memekakkan telinga, serta merasakan bahaya dari aura yang dikeluarkan Ellaine, Andalene menerjang sosok abu-abu di depannya sepenuh tenaga.

Ellaine telah bersiap. Tangan kanannya menggenggam satu bilah Pisau Rambart, pasangan dari bilah pisau yang dia pasang di perahu Az, sedangkan tangan kirinya telah menyiapkan sebilah aura abu-abu pekat yang menggidik. Begitu Andalene sudah berada dalam jangkauannya, Ellaine melemparkan aura abu-abu pekat di tangan kirinya dan menghilang, untuk kemudian muncul lagi di atas kepala Andalene dan menebaskan Pisau Rambart kearah tengkorak kepalanya.

GWAAAAAAA!

Andalene memekik kesakitan. Aura abu-abu Ellaine menghantam dan menghancurkan sebagian besar kaki kanannya, dan tebasan Pisau Rambart, meski tertahan kerasnya tanah di kepalanya, berhasil menghancurkan dinding luar batu yang melindungi tengkoraknya. Andalene mengayunkan tangan kirinya kebelakang, sembari mengirim tanaman di tubuhnya untuk menghalangi Ellaine melarikan diri.

Terjepit antara ayunan tangan dan dinding tanaman, Ellaine tidak punya pilihan lain selain menumpuk aura abu-abu di bagian depan tubuhnya.

WHAM! Pukulan Andalene sukses menghantam Ellaine. Ellaine terlempar dan berguling di pasir, sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Kalau bukan karena aura pertahanannya, pukulan Andalene sudah akan menghancurkan tubuhnya berkeping-keping.

Saat inilah tak disangka Ellaine tersenyum. Insting pembunuhnya yang tajam kembali muncul. Sudah lama dia tidak merasakan pertarungan hidup dan mati seperti ini.

"Majulah, sahabat hidupku," gumam Ellaine lirih. Seolah bisa mendengar tantangan Ellaine, Andalene kembali menerjang, kali ini dengan lompatan besar karena kaki kanannya praktis telah hancur akibat serangan aura Ellaine.

Az, yang terus menjauh dari garis pantai, melihat dentuman dari benturan aura yang sangat kuat dari dua sosok yang paling disayanginya. Gelombang kejut dari benturan dua aura itu menimbulkan ombak yang menggoyang perahu, membuat Az terpelanting menghantam dinding perahu.

"Mama... Mama..." Az terisak, berusaha bangun dan melihat apa yang terjadi di pantai. Namun kepalanya yang menghantam dinding perahu berdenyut sakit, dan hal terakhir yang dia dengar sebelum semuanya menjadi gelap adalah suara lirih ibunya yang terbawa angin.

"Hiduplah, Azura. Mama selalu menyayangimu..."

---