Khaibar saat ini hanya menatapi wajah ibunya dengan nanar. Tangan kanannya mengulur dan menggenggam tangan Khazanah dengan erat. Dia hanya mengangguk lalu menggeleng dengan sempurna, bingung dengan jawaban yang cocok diberikan kepada ibunya. Tapi Khazanah tau kalau jawabannya adalah calon menantunya itu keberatan dan menolak Khaibar mentah-mentah.
Khazanah hanya tersenyum. Dia membalas genggaman Khaibar seraya mengelus-elusnya. "Nak, jadi dia tidak mau? Iya kan dia tidak mau datang kan?" tanya Khazanah dengan tak sabarnya. Khaibar hanya menghembuskan nafas dengan kasar dan mengangguk pelan.
"Lalu apa yang dia bilang kepadamu, Nak? Bagaimana penolakannya?" tanya Khazanah lagi. Ia ingin kejelasan secara menyeluruh bagaimana watak dan karakter calon istri anaknya itu.
Khaibar menggenggam ponselnya dengan tangan yang sebelah kiri hingga ototnya terlihat jelas karena geram. Dia masih hafal dengan jelas bentakan Kimberly yang tidak ada habisnya sewaktu di telepon tadi, dia berfikir apakah pantas semua ini diceritakan kepada ibunya, takutnya Khazanah syok dan kesehatannya akan menurun.
Kata-kata Kimberly sungguh terngiang di telinganya hingga menembus ke dalam relung hatinya, tergores dan tersayat. Khaibar awalnya terima dirinya dihina, tapi kalau menyangkut ibunya yang dihina hati dia sangat hancur, tapi dia bisa apa hanya bisa menahan dengan sekuat hati, kehancuran hatinya mendengar itu semua.
"Apa kamu bilang? Menikah? Sekarang? Apa kamu sudah gila! Gembel beraninya menyuruhku! Aku lagi sibuk minicur pidicur, di peraturan kan seminggu lagi bodoh! Kamu mau menikah cepat karena ibumu itu yang penyakitan dan mau mati! Dasar Miskin! Merepotkan saja! Sudah aku sibuk! Jangan ganggu aku lagi!" Itulah ucapan Kimberly yang terngiang terus sampai kapanpun oleh Khaibar. Bahkan kata penyakitan, mati, bodoh, gembel terus berputar di otaknya. Apakah sehina itu dia di mata semua orang kaya? Bahkan Khaibar rela menahan hinaan itu demi ibunya.
Khazanah yang mendengar cerita Khaibar dia hanya mampu menangis sesenggukan. Dia tak menyangka anaknya akan se tragis itu gara-gara kemiskinan.
"Jadi dia bilang begitu, Nak? Maafkan Ibu, Nak, maafkan Ibu! Semua ini salah Ibu, Nak, hingga kamu ikut miskin, maafkan Ibu yang tak becus ini." Khazanah terus menangis dan berfikir, dalam hatinya terus melantunkan doa untuk Khaibar, dia sungguh tak rela anaknya menikah karena kepura-puraan dan dengan orang seperti itu. Namun, Khazanah bisa apa semua karenanya, Khazanah terus menyalahkan dirinya.
Hingga yang terjadi dia drop dan pingsan. Alat monitornya pun mengalami penurunan drastis. Khaibar yang sungguh panik langsung memencet alat pemanggil dokter. Dokter pun langsung tiba di tempat itu dengan cepat.
"Dok, lakukanlah yang terbaik, Dok, lakukanlah! Jangan biarkan Ibu meninggalkanku!" bentak Khaibar yang sungguh sangat khawatir. Dokter hanya mengangguk dan menyuruh suster agar Khaibar menunggu di luar saja, setelah itu dia beraksi memerika Khazanah saat Khaibar sudah berada di ruang tunggu.
Yang dilakukan Khaibar saat ini hanya mondar-mandir tak menentu dan mencengkram tangannya hingga membentuk kepalan sempurna. Dia melihati jam tangan, setelah itu dia melepaskan kepalan tangannya dan merogoh ponsel kembali, mencoba menghubungi Kimberly lagi.
"Kali ini aku akan mencobanya, semoga saja permintaanku dipenuhi, meskipun aku mengemis dan berlutut sekalipun aku tak perduli," celoteh Khaibar menatapi ponselnya yang sudah menelepon Kimberly, dia menunggu, menunggu sangat lama hingga Kimberly akhirnya mengangkatnya.
"Halo! Ada apa lagi!" bentak Kimberly yang geram di ujung teleponnya.
"Nona, bisakah datang ke sini sekarang? Ibuku sekarat, Nona, permintaannya hanya melihat aku menikah sekarang, ayolah, Nona, akun mohon ... apapun keinginan, Nona pasti aku turuti," mohon Khaibar dengan nada yang mendayu-dayu. Kimberly tak perduli dia tetap diam mendengar ucapan Khaibar, bahkan di ujung teleponnya dia malah asyik bernyanyi dan berbincang dengan seseorang.
"Nona, tolonglah aku, Nona ... aku mohon, Nona! Tolong!" Kali ini suara Khaibar berubah menjadi memberat karena ia sudah menangis dan tenggorokannya tercekat.
"Kamu ini selalu menggangguku! Apa yang bisa kamu berikan kepadaku, gak ada! Kamu jangan sok memaksaku ya, menikah itu tak muda, oh iya aku tau, masalah uang kan? Habis ini aku transfer sisanya, begitu saja repot, kalau mati ya mati, gampang kan? Repot sekali! Bye!"
Kimberly menutup teleponnya tanpa mendengar ucapan Khaibar lagi. Khaibar yang sudah tidak bisa menahan lagi emosinya. Dia membanting ponsel yang ada di genggamannya. Untung bantingannya tidak keras sehingga ponselnya hanya tergores. Dia menatapi ponsel itu dengan nanar dan terdengar bunyi notif, sehingga Khaibar pun mengambilnya karena rasa penasaran.
Dia membuka notif itu dan benar ucapan Kimberly atas uang setengahnya itu, kini sudah masuk ke dalam rekening Khaibar. Bukannya Khaibar senang dia malah memasukkan ponselnya dengan menangis.
"Lalu? Apa arti uang ini kalau sudah seperti ini? Kalau terjadi apa-apa sama Ibuku, aku janji akan membuatmu menderita Kimberly, aku janji! Tunggu dan lihat saja nanti!" teriak Khaibar yang sungguh frustasi, hingga rambutnya diacak-acak dan tidak berbentuk lagi, sangat jelak untuk seorang Khaibar yang menawan biasanya. Dia sungguh kacau, kepada siapa dia akan berlabuh.
Akhirnya Khaibar pun menuju masjid yang ada di samping rumah sakit. Dia melakukan sholat dhuhur seraya berdoa memohon kesembuhan untuk ibunya.
Tangannya terangkat dan mengatup bersama deraian air mata. "Ya Allah, apakah begini saja hidupku? Berilah aku kesempatan untuk membahagiakan ibuku, jangan biarkan ibu meninggalkanku, hanya ibu satu-satunya yang aku punya, atau ganti saja dengan nyawaku, aku mohon, berilah kesempatan agar ibuku bisa melihatku menikah Tuhaaan, meskipun wanita itu bukan wanita yang Engkau kirimkan kepadaku, aku mohon!" Kini Tangan Khaibar menutupi mukanya yang sudah memerah dan air mata yang semakin menderas. Dia sesenggukan dan tak kuasa.
Hingga terdengar suara gemuruh memanggil-manggil nama Khaibar di luar masjid, bukan panggilan dari langit, tapi panggilan seseorang yang mencari keberadaannya, seorang perempuan berlarian berbaju putih dengan membawa buku besar yang menemukan Khaibar datang menghampiri.
"Pak Khaibar, untung aku bisa menemukanmu."
"Ada apa, Sus?" tanya Khaibar yang sudah menoleh dan mengusap air matanya dengan cepat.
"I—itu Ibu Khazanah sudah semakin kritis, katanya beliau mencarimu dan ingin berbicara sesuatu," balas suster itu dengan sesekali terbata karena merasa iba kepada Khaibar.
"A—apa!" Khaibar berdiri dengan cepat. Dia berlari, langkahnya sungguh gontai. Berulangkali dia terjatuh hingga lututnya tergores dan celananya robek, dia tak memperdulikan darah yang mengalir di lututnya. Rasanya seperti waktu berhenti berputar dan rumah sakit yang semula ada di samping masjid, serasa sangat jauh berpuluh kilometer.
"Ibuuuu!" teriak Khaibar dengan ngos-ngosan saat sudah berada di depan pintu tempat Khazanah. Khazanah hanya menoleh dan melambai dengan sangat lemah, seluruh tubuhnya memucat membuat Khaibar yang mendekat semakin menangis.
"Nak, kamu jangan menangis! Sudah saatnya Ibu pergi, Ibu tak kuat! Ini barang penting, kamu jaga baik-baik." Khaibar menerima sesuatu yang ada di genggaman Khazanah. Khaibar hanya mengangguk dan terus mengusap air matanya.
"Dengarkan Ibu! Setelah sampai rumah kamu pasti akan tau maksud Ibu, kamu jaga diri baik-baik ya, maafkan Ibu tak bisa menemanimu, pesan Ibu bimbinglah istri kamu agar menjadi istri yang sholihah, dan bawa dia ke makam Ibu kelak, ayahmu sudah menunggu Ibu di sana. Ibu menyayangimu, Nak." Khazanah tersenyum. Khaibar hanya diam tak mampu berkata-kata. Dia semakin menggenggam ibunya erat. Membantu ibunya mengucap kedua kalimat syahadat.
Setelah itu Khazanah pun menghembuskan nafas terakhir dan menutup mata selamanya. "Ibuuuuu! Tidaaaak! Jangan tinggalkan aku Ibuuuu! Ibuuuu! Khaibar kini sebatang kara dan tak punya siapa-siapa lagi, ibuuuuu!"