Khaibar menatapi ibunya seraya mengusap tangan ibunya. Dia duduk di atas kursi plastik dan tersenyum senang. Hatinya sungguh lega dan siap berbagi cerita kepada ibunya saat sudah terbangun nanti. Khaibar dengan gesit membolak-balikkan ponsel yang dipegangnya sedari tadi. Karena begitulah ia saat menghindari rasa bosan.
Saat masih sibuk memainkan ponselnya. Suara nada dering disertai getaran yang hebat menggetarkan tangannya. Membuat Khaibar mau tidak mau langsung mengangkat ponselnya.
"Ya, halo? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Khaibar sopan. Dia mengernyit karena tak tau siapa yang meneleponnya, hanya ada nomor yang tertera saja. Dia melihat dan mengingat kembali barangkali tau itu nomor siapa, tapi tetap saja tak ingat, malah firasatnya serasa tak enak dan ternyata benar orang yang meneleponnya itu adalah Kodrun, rentenir yang meminjaminya uang itu.
"Sekarang waktumu mencicil hutang." Terdengar suara yang menggelegar hingga memekikkan telinga Khaibar. Khaibar hanya menyahuti dengan deheman keras. Kodrun pun membentaknya karena tak merespon ucapannya.
"Heeey Khaibar! Apa kamu tuli? Cepat jawab! Atau asetmu ini sekarang menjadi milikku!" ancam Kodrun dengan ganasnya. Suaranya semakin menyeramkan dengan sesekali terdengar gigi yang gemerutuk, membuat geli telinga Khaibar.
Khaibar pun mengorek telinganya dengan jari telunjuknya, dia hanya menyengir geli dan siap menjawab Kodrun. "Apa! Secepat inikah, Pak Run? Bukankah satu bulan? Ini baru beberapa hari perasaan, jadi waktuku masih banyak."
Khaibar benar-benar tak terima, dia benar-benar jengkel dan ingin membunuh Kodrun karena seenaknya saja menarik hutangnya di luar kesepakatan, tapi memang salah dia sendiri sih, sudah tau rentenir pasti tak akan sesuai, jadi sudah menjadi resiko yang harus ditanggung, untungnya dia masih punya sedikit uang sembari menunggu transferan setengahnya lagi dari Kimberly.
"Bayar atau tidaknya itu mau tak mau, aku yang menentukan, ingat perjanjian kembali ke pihak pertama, jadi intinya kamu patuh kepada apa yang aku ucapkan, kamu harus bayar 25 juta sekarang! Aku tak punya banyak waktu! Telat 5 menit aku akan menaikkan bunganya, ingat itu!"
Khaibar pun berfikir keras. Dia mengingat-ingat uangnya masih ada berapa yang ada di rekening, akhirnya dia menyetujui dengan cepat dari pada berurusan panjang sama Kodrun dan aset berharga yang ada di tangannya akan diambil, Bisa-bisa nanti dia akan jadi gelandangan kalau Kimberly mengusirnya.
"Oke, Pak Run, tutup teleponnya, setelah ini aku transfer." Tanpa basa-basi Kodrun langsung menutup meneleponnya. Khaibar hanya mendengus. Menatapi ponsel itu dengan tatapan sinis. Sesekali dia mengumpat kesal.
"Dasar, lintah daratan! Dia untung banyak hais! Apa aku segera menikahi Kimberly saja ya, nanti agar hidupku aman dan bisa sedikit mencicipi uangnya." Khaibar tersenyum tipis. Dia langsung memainkan ponsel dengan lincah dan mentransfer Kodrun dalam hitungan menit melalui internet banking.
Khaibar semakin menyunggingkan senyumannya saat melihat ibunya membuka matanya. Dia langsung meletakkan ponsel di atas meja dan memeluk ibunya. Dia sungguh merindukan ibunya. Khazanah membalas pelukan Khaibar dan merasa heran kenapa anaknya jadi manja seperti itu, begitu pikirnya.
"Ada apa, Nak? Ibu baik-baik saja, Nak, kamu tak usah khawatir, kamu seperti ini karena ada sesuatu kan? Ibu tau kamu kalau seperti ini pasti ada maunya."
Khaibar terkekeh. Ia langsung melepaskan pelukannya dan menatapi Khazanah dengan antusias. Khazanah membalas tatapan mata itu dengan memicingkan matanya. Lalu mencubit bahu Khaibar dengan gemas.
"Heeey, ada apa? Apa kamu mau berbicara sesuatu kepada Ibu? Ayo katakan!" Khaibar mengangguk. Ia bergelayut manja di bahu ibunya dengan sesekali memutar kedua bola matanya. Rasanya dia sungguh ragu untuk bercerita, takutnya Khazanah akan curiga kalau Khaibar menikah dadakan seperti itu. Karena dari dulu ditanya menikah dia selalu menjawab ingin merawat Khazanah saja.
"Ibu ... misal aku menikah bolehkah?" tanya Khaibar. Suaranya sungguh sendu dan hampir tak terdengar oleh Khazanah. Beruntung Khazanah mendengar kalimat terakhir yaitu menikah, jadinya Khazanah bisa menebaknya.
"Kamu beneran mau menikah?" tanya Khazanah untuk memperjelas.
Khaibar hanya mengangguk dan menunduk. Dia berfikir, seandainya Kimberly dan dirinya saling mencintai mungkin akan menjadi orang yang kebahagiaannya lengkap, tapi ternyata hanya sebatas kertas dan pena, entahlah akan menjadi kehidupan macam apa nantinya, semoga saja akan menjadi yang terbaik dan normal.
"Heyyy malah bengong, kamu beneran, Nak?" tanya ulang Khazanah karena dia melihat anaknya sedikit terbengong dan tak bersemangat untuk bercerita.
"Eeeeeh iya beneran, Ibu, aku akan menikah dengan Kimberly anak Mama Keysa yang kaya raya itu," terang Khaibar.
Khazanah lidahnya terasa kelu. Matanya membelalak dengan sempurna, dia menarik bahu Khaibar dengan kencangnya, terkejut banget dengan ucapan Khaibar, Khazanah tau kalau Keysa adalah orang terpandang dan sangat kaya dalam kompleks sebelah, ketenarannya sungguh terdengar ke mana-mana.
"Ke—Keysa? Apa kamu tak salah? Bagaimana mungkin dia mau dengan keluarga macam kita yang tak sejajar dengannya, Nak, Ibu sungguh tak percaya, pasti kamu melakukan sesuatu kan? Cepat jujur sama Ibu, Nak, cepat!"
Khaibar semakin menundukkan kepalanya. Dia sungguh terpojok kan, dari dulu dia tak pernah menutupi apapun dari ibunya, jadi pasti Khazanah akan tau kalau anaknya menutupi sesuatu. Akhirnya mau tak mau Khaibar pun bercerita kepada ibunya.
Hembusan nafasnya sungguh kasar untuk memulai cerita yang berat itu. 'Semoga saja Ibu tak syok mendengar ini semua, aku takut kalau Ibu kenapa-kenapa.' Batin Khaibar.
Khaibar semakin tersentak saat ibunya menggoyangkan bahunya semakin kencang. "Hehe maafkan Khaibar yang sedikit melamun Ibu."
"Begini, Bu, iya aku mau menikahi anak Mama Keysa yang sungguh kaya itu, dia bersedia membiayai semua pengobatan Ibu asalkan aku mau menikahi anaknya yang hamil itu, aku rela melakukan apapun buat Ibu, asalkan Ibu sembuh dan tak meninggalkanku, aku sayang sama Ibu," jelas Khaibar dengan air mata yang menetes dengan sendirinya.
Khazanah pun ikut menangis. Tangannya mengulur dan berusaha mengusap air mata Khaibar, tapi tiba-tiba dadanya terasa sesak dan tenggorokannya tercekat. Dia berusaha bersusah payah untuk mengobrol kepada anaknya dan ditahan semua rasa itu.
"Jadi, kamu mau menikahi wanita hamil? Apa keputusanmu sudah bulat, Nak? Apa akan menjamin kamu bahagia?" tanya Khazanah lirih. Dia sungguh tak tega terhadap anaknya, dalam hati dia merutuki dirinya yang selalu menyusahkan anaknya, mungkin dengan kepergiannya membuat Khaibar tak akan kesulitan lagi. Dia sudah berfirasat kalau dia tak bisa hidup lama lagi.
"Iya, Ibu, semua ini aku lakukan demi Ibu, intinya Khaibar sayang Ibu, apapun itu semua demi Ibu."
"Kalau kamu sayang Ibu, bisakah menikah sekarang di hadapan Ibu? Ibu ingin melihat kamu menikah sekarang, Ibu sudah tak kuat, rasanya sudah tak bisa menunggu waktu lama lagi," balas Khazanah dengan menangis. Khaibar menggeleng, pikirannya sungguh kacau, kalut menjadi satu. Mau tidak mau dia akan memohon sangat kepada keluarga Kimberly agar menerima permintaan ibunya itu.
'Semoga calon istrimu mau, Nak, dengan permintaan Ibu yang tak sulit ini, kalau dia mau Ibu berharap kalian bahagia, kalau tidak mau berarti dia bukan yang terbaik, jangan diteruskan, Ibu akan selalu melihatmu di atas sana.'