Chereads / Dandelion. / Chapter 18 - Bab 18. Anna, Keluarlah!

Chapter 18 - Bab 18. Anna, Keluarlah!

"Dev, ada apa dengannya? Jangan bilang ka..."

"Dia hanya ke toilet," potong Devan segera.

....

Sementara Anna, gadis itu terus berjalan entah sedang menuju kemana, perasaannya kali ini benar-benar kacau, tidak ada gambaran yang mewakilinya kecuali hancur.

Anna sudah melupakan pria itu sejenak, tiba-tiba sosoknya kembali muncul di hadapannya. Dan saat ini dia sedang bersama wanita itu. Wanita yang telah ia saksikan dicumbu oleh Brian, kekasihnya.

Melihat orang yang sangat disayangi sedang bersama dengan wanita lain, hati wanita siapa yang tidak sakit?

Berbelok di ujung koridor, Anna bertemu dengan seorang cleaning service.

"Bu... boleh tahu toilet di bagian mana?" tanya Anna, manik matanya sudah sedikit berkaca-kaca.

Ingatan tentang hal manisnya selama ini bersama Brian, dan kejadian malam itu, terus berputar seperti kaset rusak di kepalanya.

Mendengar suara Anna, wanita itu mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya.

"Oh, Nona terus berjalan saja, nanti di ujung sana belok ke kanan. Nah, disitu toiletnya," balas wanita itu sembari memberi petunjuk padanya.

"Baik Bu, terima kasih," ujar Anna. Bahkan nada suaranya terdengar sedikit berat dan serak

Dengan langkah gontai dan perasaan yang bercampur aduk, Anna melangkah menuju tempat yang dimaksud oleh Ibu cleaning service itu.

Anna berajalan beberapa detik dan akhirnya menemukan tempat yang ia cari.

Segera gadis itu memasuki salah satu ruangan berukuran kecil di sana.

Mendaratkan tubuhnya di atas closet duduk, dan akhirnya tangisnya pecah.

Suara tangis teredam terdengar lolos dari bibir gadis itu, hatinya sakit. Bagai ditikam ribuan benda tajam, Anna menangis sesenggukan.

Bagaimana bisa pria itu juga ada di sana? Anna benar-benar tidak habis pikir.

Tiba-tiba suara yang sepertinya berasal dari beberapa wanita memasuki indra pendengaran gadis itu. Dan hal itu membuat Anna menutup mulutnya rapat-rapat, menyalakan air agar para wanita itu tidak mendengar suaranya.

"Astaga, aku tidak mengira bahwa Devan akan datang ke pesta ini."

"Melihatnya secara langsung ternyata lebih tampan dari fotonya yang beredar."

"Pria yang sangat tampan dan begitu sempurna," percakapan para wanita itu tidak luput dari pendengaran Anna.

"Benar-benar pria idaman. Wanita siapa yang tidak mau memilikinya. Bahkan jika aku hanya mendapat kesempatan satu malam bersama dengannya, mungkin aku akan menjadi salah satu wanita paling beruntung," timpal wanita lain kemudian tertawa.

"Sepertinya kamu sangat tergila-gila padanya, Len. Sampai ingin merelakan tubuhmu hanya untuknya."

"Hei tentu saja. Siapa wanita yang bisa bertahan dengan pesona pria muda itu. Selain kaya raya, tampan, tubuh atlestisnya dan.... Agnnghhh hanya membicarakannya saja sudah membuatku basah di bawah," balas wanita lain sedikit mendesah kemudian tertawa.

Semua itu memasuki indera pendengaran Anna dengan sangat jelas.

Ternyata pria yang menolongnya dan membawanya ke pesta ini adalah seseorang yang begitu populer di kalangan wanita. Hanya saja apa yang di katakan para wanita itu sedikit berlebihan.

Sebab ia sendiri merasa biasa saja dengan pria bernama Devan itu.

"Eh tapi sepertinya kau harus membuang jauh-jauh kenginanmu itu."

"Kamu tidak lihat wanita yang sedang bersamanya? Aku perhatikan, sepertinya Devan sedikit possessive padanya."

Mendengar pembahasan para wanita selanjutnya, Anna langsung mengetahui bahwa wanita yang mereka maksud adalah dirinya.

"Memangnya ada apa dengan wanita itu? Dia tidak memiliki keistimewaan sama sekali. Tubuhnya pendek dan terlihat biasa saja."

"Mungkin dia hanya akan memiliki nasib yang sama dengan wanita-wanita lain di hadapan Devan." tambahnya lagi.

"Hmm, tapi setidaknya dia sudah merasakan hangatnya jemari pria itu," balas yang lain kemudian tertawa cekikikan.

"Kamu mengetahui hal itu, dan masih ingin menjadi kekasihnya?"

"Tentu saja," balas wanita itu dengan sangat yakin.

"Sudah selesai?" tanya wanita di luar sana bersamaan dengan bunyi derak pintu salah satu kamar kecil yang terbuka.

"Emm."

"Baiklah, ayo kembali. Tapi rapikan dulu penampilanmu," ucap wanita lain.

Seperti itulah pembicaraan yang memasuki indera pendengarann Anna, meski perhatiannya sedikit teralihkan, namun semua itu belum cukup hanya untuk membuatnya melupakan pria brengsek itu.

Beberapa menit berlalu, dan wanita-wanita itu sudah pergi. Keheningan kembali terjadi di dalam toilet itu. Tidak ada suara selain aliran air yang berasal dari ruangan kecil tempat Anna berada.

Tok...tok...tok...

Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Tentu saja Anna terkejut dibuatnya.

'Siapa yang mengetuk pintunya?'

Ketukan kembali terdengar, bukan hanya sekali namun berkali-kali. Dan hal itu tepat pada pintu tempat ia berada.

"Maaf, di sini ada orang," ujar Anna sedikit meninggikan suaranya.

"Anna keluarlah," balas seorang pria di luar sana, dan bersamaan dengan suara itu, tubuh Anna menegang. Suara yang begitu ia rindukan sekaligus ia benci terdengar mengalun dari arah luar. Suara itu milik Brian. Kekasihnya, tidak, bukan kekasih lagi sebab ia sudah memutuskan hubungannya sejak malam itu.

"Anna..."

"Aku ingin bicara padamu. Keluarlah," ucap Brian lagi. Pria itu sudah berhenti mengetuk pintu, hanya ujung bayangannya yang nampak pada lantai di bawah sana menandakan bahwa pria itu masih sedang berdiri tepat di depan pintu.

Anna tidak merespon ucapan pria itu dan juga entah bagaimana sehingga ia tidak berani keluar dari sana.

Padahal dalam situasi ini, Anna tidak memiliki kesalahan apapun, mengapa ia harus takut?

"Anna, keluarlah."

"Jangan berpura-pura tuli, Sayang," ujar Brian lagi.

"Jika tidak keluar, itu berarti kamu memaksaku membuka pintunya," tambah pria itu lagi.

Mendengar ucapan Brian, Anna kelimpungan.

'Bagaimana ini?'

Ia sangat tidak ingin bertemu dengan pria itu, namun sepertinya kali ini adalah pengecualian. Sebab tidak ada jalan lain selain dengan bertemu dengannya.

Setelah bergelut lama dengan pikirannya, Anna akhirnya memutuskan untuk bangkit dari duduknya.

Ya, sepertinya ia memang harus berbicara pada pria itu, tidak peduli bagaimana sakit hatinya ia. Anna harus tetap bertemu dengannya.

Ia harus besikap tegas atas dirinya sendiri, jika tidak. Maka seumur hidup ia akan terus berlari, bersembunyi dari pria itu. Dan Anna tidak menginginkan hal itu terjadi.

Menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan. Anna lalu merapikan gaun yang dikenakannya, dan mencoba untuk serileks mungkin.

Tetapi, sekuat apapun ia berusaha terlihat biasa saja, kedua tangannya masih gemetar. Detak jantungnya berpacu kencang, bahkan darahnya terasa berdesir

Perlahan meraih gagang pintunya. Dan...

Ceklek

Punti terbuka, dan di saat yang bersamaan lengan gadis itu ditarik ke depan membuat tubuh mungilnya menabrak dada bidang pria di sana.

Hal itu berhasil membuat Anna teperanjat. Tiba-tiba mendapat perlakuan seperti itu membuatnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Brian memeluknya, pria itu merangkul tubuh mungilnya erat. Membuat Anna sedikit merasa sesak.