Hal itu berhasil membuat Anna teperanjat. Tiba-tiba mendapat perlakuan seperti itu membuatnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Brian memeluknya, pria itu merangkul tubuh mungilnya erat. Membuat Anna merasa sedikit sesak.
"Lepaskan!!" pinta Anna, suaranya terdengar serak.
"Aku sangat merindukanmu, Sayang," ujar Brian semakin mengeratkan pelukannya.
Sekujur tubuh Anna gemetar, mendengar suara pria yang sangat dicintainya membuat rasa rindunya berkurang dan sekaligus menambah kehancuran hatinya. Meski begitu, Anna harus kuat, ia harus membuat keputusan malam ini.
"Lepaskan aku Brian," ucap Anna, nada suaranya sedikit merendah dari yang sebelumnya.
"Tidak. Aku sangat merindukanmu. Sudah dua hari aku mengunjungi tempat tinggalmu, namun aku tidak menemuimu, Sayang."
"Kemana kamu selama dua hari ini? Hmm?" ucap pria itu lagi.
"Kau tahu apa yang aku lakukan? Aku bahkan tidak bisa tidur hanya karena tak mendapat kabar darimu," tambahnya lagi.
"Ini tidak bisa dibiarkan lagi. Besok aku akan membelikanmu Handphone agar aku bisa menghubungimu dan mengetahui kabarmu setiap saat, Sayang."
Sejenak Anna nyaris goyah mendengar semua ucapan pria itu. Terdengar begitu manis di telinganya. Namun ia kembali menguatkan hatinya, ingatan menyakitkan itu terus berulang di benaknya membuat perasaannya campur aduk.
"Maafkan aku," cicit Anna dalam pelukan pria itu.
"Tidak masalah, tidak perlu meminta maaf, Sayang," balas Brian terus mengusap rambut gadis itu. Manik matanya berkilat dengan senyum smirk terpatri samar di bibirnya. Ia tentunya masih mengingat siapa pria yang bersama Anna di pesta ulang tahun itu. Sebelumnya ia juga bertemu dengan pria itu pagi hari tadi, ketika ia mengunjungi restoran kecil.
"Brian...." panggil Anna.
"Ada apa?" tanya pria itu masih dengan posisi memeluk tubuh Anna. Ia tak perlu khawatir akan ada orang yang tiba-tiba masuk, sebab sebelum memasuki ruangan kecil itu ia sudah meletakkan papan pemberitahuan tepat di depan tolet, bahwa toiletnya sedang dalam perbaikan dan tidak dapat digunakan.
"Aku ingin fokus bekerja," ucap Anna.
"Bukankah setiap hari kamu melakukan itu?"
"Bukan, bukan itu maksudku."
"Lalu?"
Anna yang ingin menjawab pertanyaan pria itu tiba-tiba merasakan lidahnya berat untuk digerakkan, dan detik kemudian bulir bening kembali lolos dari kelopak matanya, hingga suara isak tangis mendesak keluar dari bibirnya tanpa seizin empunya.
"Kenapa?"
"Sayang, kamu kenapa menangis?" ujar Brian melonggarkan pelukannya, menyeka bulir bening yang sudah membasahi pipi gadis itu, kemudian menangkupnya dengan kedua tangan.
Mendapat perlakuan seperti itu, Anna menundukkan pandangannya saat itu juga. Takut jika melihat wajah Brian dengan jarak lebih dekat, maka ia akan goyah.
"Aku..." ucap Anna menggantung.
"Aku ingin fokus bekerja."
"Mu-mungkin....."
"Sebaiknya hu-hubungan kita sampai di sini saja," ucap Anna sesenggukan.
Anna bisa merasakan tubuh Brian mematung. Tak mendapat respon apapun dari pria itu setelah beberapa menit, akhirnya
ia memberanikan diri dan mendongak.
Dan saat itu juga, sebuah benda kenyal menyentuh bibirnya. Brian menciumnya.
Pria itu menciuminya rakus sembari mendorong tubuh Anna hingga membentur tembok. Mengurung gadis itu.
Tentu saja Anna terkejut, gadis itu berusaha berontak namun gagal, kedua lututnya dikunci oleh Brian begitu pula kedua tangannya yang sudah digenggam erat oleh pria itu tepat di atas kepalanya.
Pria itu terus memperlakukan tubuhnya seenaknya tanpa seizin Anna.
Bahkan Brian tidak memperdulikan buliran bening yang terus mengucur dari kelopak mata gadis itu.
Anna hanya bisa pasrah, ia tidak bisa bergerak, apalagi berteriak meminta pertolongan.
Bibirnya sudah dipenuhi oleh pria itu.
Hingga beberapa menit berada dalam posisi seperti itu, Anna tanpa sadar membalas ciuman Brian. Membuat pria itu tersenyum samar di sela-sela ciumannya.
Hanya berselang satu menit, dan Brian menarik wajahnya menjauhi bibir Anna.
"Kamu membalasku, Sayang."
"Itu bararti kamu masih menginginkanku."