Chereads / Guruku Cinta Pertamaku / Chapter 11 - Pura-Pura Miskin

Chapter 11 - Pura-Pura Miskin

Tanpa melihat ke arah James, Felicia langsung masuk ke dalam mobil sahabatnya. Sebuah perasaan begitu dalam menderu hatinya. Dadanya seolah menjadi sesak dengan nafas tak beraturan. Dia tak mengerti, perasaan apa yang baru saja menyerang dirinya. Tanpa sadar, butiran air mengalir dari sudut matanya. Secepat kilat, Felicia langsung mengusap air matanya sendiri sebelum Maya dan James menyadarinya. "Apakah aku sedang cemburu melihat kedekatan Pak James dan Maya?" gumam Felicia pada dirinya sendiri. Seolah hatinya akan meledak saat wali kelasnya itu terlihat tersenyum pada sahabatnya, Maya.

Di luar mobil, Maya masih berdiri bersandar di mobilnya. Sedangkan James berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia sudah sangat tidak sabar untuk menanyakan sesuatu yang cukup penting pada sosok guru yang menjadi idola di sekolahnya. "Apa Pak James sangat menyukai sahabat saya?" tanyanya pada sang wali kelas tanpa basa-basi sedikit pun. Perempuan itu bisa melihat jika James selalu memandang Felicia dengan tatapan berbeda.

"Jangan salah paham kamu, Maya. Felicia adalah seorang murid baru, saya harus membimbingnya sebagai wali kelas yang bertanggung jawab atas dirinya," jelas James dengan wajah serius dan tutur kata yang cukup sopan terhadap muridnya sendiri.

"Jika Anda tak menyukai Felicia, saya akan menjodohkannya dengan sepupuku saja." Maya sengaja mengatakan hal itu untuk melihat respon yang akan ditunjukan oleh lelaki yang bersikap dingin dan seolah tak akan pernah jatuh cinta pada perempuan mana pun.

Tanpa berpikir panjang, James langsung mendekati Maya dan menatapnya penuh harap. "Jangan jodohkan dia dengan siapapun!" sahutnya dengan wajah malu-malu. "Felicia harus fokus pada sekolahnya dulu baru memikirkan pasangannya," kilahnya agar tak terlihat jelas jika dirinya sudah jatuh hati pada wali kelasnya sendiri.

"Yayaya ... Anda sudah jatuh cinta pada sahabat saya. Coba Pak James melihat ke kaca." Maya menutup senyuman di wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Seketika itu juga, James langsung melihat wajahnya ke kaca mobil Maya. Dia sedikit tersenyum karena harus menahan malu atas dirinya sendiri. Sebagai lelaki yang lebih dewasa, James sangat tahu arah pembicaraan Maya. Dia hanya tak ingin menambahkan minyak pada api yang mulai membakar kayu. "Tolong ... Jangan katakan apapun pada Felicia. Biar aku yang mengatakannya sendiri," pinta James pada anak didiknya.

"Siap, Pak! Jika terlalu lama, aku akan tetap menjodohkan sahabatku itu," ancam Maya sambil senyum-senyum memandang wali kelasnya. James hanya memberikan balasan dengan sebuah senyuman tanpa mengatakan apapun padanya.

Felicia yang melihat James berulang kali tersenyum pada sahabatnya, mendadak berubah kesal. Dia pun membuka pintu mobil dan memandang ke arah mereka berdua. "Apa kalian hanya ingin memamerkan kemesraan kepadaku?" tanyanya dengan nada sinis. Perempuan itu kembali duduk di dalam mobil lalu sedikit membanting pintunya.

Maya langsung terkekeh sambil memandangi lelaki tampan yang berstatus sebagai wali kelasnya itu. Dia tak bisa menahan tawanya saat melihat dan mendengar kecemburuan Felicia yang sudah sangat jelas. "Saya harus masuk ke dalam mobil sebelum ada yang mengamuk dan menghancurkan seisi sekolah. Saya permisi, Pak," pamit Maya pada guru biologi yang merangkap menjadi wali kelasnya.

"Kalian berhati-hatilah di jalan," balas James dengan sedikit senyuman yang mampu menyihir setiap murid yang melihatnya.

Maya langsung masuk ke dalam mobilnya dan duduk tepat di sebelah perempuan yang terlihat sangat tidak bahagia dengan pemandangan di depannya. Sekuat hati ia menahan tawa di dalam hati. Tak disangka olehnya jika Felicia bisa sekesal itu. Maya curiga jika sahabatnya itu benar-benar telah jatuh ke dalam pesona James Sebastian. "Ada apa dengan wajahmu? Apa kamu sengaja memperlihatkan kecemburuanmu karena aku cukup dekat dengan Pak James?" Lagi-lagi Maya menanyakan sesuatu yang cukup pribadi dan tersembunyi di dalam relung hati Felicia. Dia tak mungkin bisa menahan diri melihat kekesalan sahabatnya sejak melihatnya mengobrol dengan sang guru biologi.

"Jangan mengatakan omong kosong! Cepat jalankan mobilnya atau aku akan memanggil taksi untuk pulang," ancam Felicia pada seorang perempuan yang lebih banyak tersenyum melihat ekspresi wajahnya. Dia langsung memalingkan wajahnya dan memandang ke arah kaca mobil. Gadis itu tak ingin jika Maya mengetahui keresahan di dalam hatinya.

"Baiklah, Tuan putri." Maya langsung menyalakan mesin dan melajukan mobilnya ke arah rumah Felicia. Sepanjang perjalanan, Maya sengaja tak mengajak sahabatnya mengobrol. Dia yakin jika gadis cantik di sampingnya itu masih sangat kesal dengan kejadian di sekolah tadi. Hal itu juga yang membuat dia harus menahan diri untuk tidak bertanya ataupun mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. "Yang mana rumahmu?" tanyanya sambil memperlambat laju mobilnya.

Felicia tersadar dari lamunan, dia tak menyangka jika sahabatnya itu sudah berada di kompleks rumahnya. "Turunkan aku di rumah berpagar cokelat," jawabnya sambil memandang ke sebuah rumah yang terlihat sederhana dan jauh dari kata mewah. Pagar itu sebenarnya adalah sebuah pintu belakang rumahnya. Jika diperhatikan sekilas memang seperti sebuah rumah biasa yang sederhana.

"Jadi rumahmu di sini," gumam Maya sambil menghentikan mobil tepat di depan rumah yang dimaksud oleh sahabatnya. Dia pun keluar dari mobil dan memandang ke sekeliling kompleks. Maya merasa ada sesuatu yang aneh di sana. "Tuan putri!" panggilnya sebelum Felicia membuka pintu pagar belakang rumahnya.

Felicia langsung membalikkan badannya dan menatap perempuan muda di depannya. "Ada apa?" tanyanya singkat.

"Sebelumnya ... aku minta maaf dulu. Ini tak ada maksud apapun. Di antara beberapa rumah di sini, rumahmu terlihat yang paling sederhana. Padahal ini adalah kompleks perumahan mewah," terang Maya dengan wajah yang tidak enak hati. Dia takut jika ucapannya akan membuat Felicia tersinggung. Namun yang dipikirkan tak pernah terjadi.

Sebuah senyuman terlukis di wajah Felicia, ia sangat tahu arah pembicaraan tersebut. "Tak apa, Maya. Rumah sederhana juga tak masalah bagi keluargaku, kami cukup senang bisa tinggal di rumah kecil ini. Apalagi lokasi di sini sangat strategis," jelas Felicia pada sahabat barunya.

Maya mencoba memahami ucapan sahabatnya itu, meskipun jawaban itu sama sekali tak memuaskan rasa penasaran di dalam hatinya. Dia pun kembali memperhatikan rumah yang sederhana di hadapannya itu. "Apakah kamu sengaja berpura-pura miskin seperti dalam film-film?" tanyanya.

Sebuah pertanyaan yang membuat jantung Felicia seolah telah berhenti berdetak untuk beberapa saat. Dia tak menyangka jika sahabatnya bisa berpikir cukup cerdas dan beresiko membongkar segala penyamaran yang telah dilakukannya. Sekuat hati Felicia mencoba bersikap setenang mungkin, dia tak ingin melakukan sesuatu yang ceroboh dan merugikan dirinya sendiri. Meski di dalam hati, dia merasakan jantungnya seolah sudah siap melompat keluar dari tempatnya.

Happy Reading