Chereads / Om Rafael Milik Clarissa! / Chapter 3 - 3.Perasaan Aneh

Chapter 3 - 3.Perasaan Aneh

Cahaya matahari mengintip tanpa malu-malu ke jendela kamar bernuansa Minnions yang terlihat seperti anak kecil. Cuaca di luar terlihat sangat cerah, secerah wajah si pemilik kamar.

"Upin dan ipin inilah dia kembar seiras tapi biasa Haha, upin dan ipin ragam aksinya kau di senangi Clarissa cantikk!!" Suara nyanyian yang memekakan telinga berasal dari gadis yang sedang mengikuti sound-track dari film kartun yang sedang di tonton nya.

Minggu adalah hari yang di sukai oleh semua orang, di mana sekolah maupun kantor di liburkan dan bisa bermalas-malasan di rumah. Seperti yang di lakukan Clarissa saat ini.

Jam kuning di tembok kamarnya sudah menunjukan pukul sebelas siang, namun gadis yang masih mengenakan piyama tidur itu masih betah tiduran di karpet tebal bergambar Minnions-nya sambil cekikikan menyaksikan tingkah bocah kembar di televisi.

"Haha di kejer ayam! Kasiann duh duhh."

"Idih mei-mei tuh gak cantik! Yang Cantik itu Lala!"

"Ihhh jangan gitu tuyul. Nanti di amuk Kak Ros yang galaknya ngelebihin Miss Emma!"

"Dasar tuyul gak bisa di bilangin!"

"Kaburr yulll kaburrr!!!"

Teriakan-teriakan penuh kehebohan memenuhi kamar yang sudah seperti kapal pecah itu, begini lah Clarissa jika sudah menjumpai film kartun, dia seperti melupakan dunia dan sibuk tenggelam dengan film animasi anak-anak. Terlihat kekanakan bukan?

"Yaahh, Abiss!" serunya kesal saat film yang di tontonnya telah usai.

Clarissa mengubah posisinya menjadi duduk, memencet tombol berwarna merah dari remot yang di genggamnya sejak 3 jam yang lalu. Mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar, berharap menemukan sesuatu untuk menghilangkan kebosanannya.

"Lala mau ngapain ya hari ini?" tanyanya pada diri sendiri.

Pandangannya jatuh pada tirai bergambar pisang yang belum di bukanya sejak pagi. Clarissa berjalan ke jendela kamarnya, kemudian menyibakan gorden yang tadinya hanya terbuka sedikit.

"Wahh, hari ini cerah banget ya," ucap nya sambil berjalan ke arah balkon. Matanya menatap lurus  rumah mewah yang dua kali lebih besar dari rumahnya.

"Rayen gak bolehin Lala main ke sana, terus Lala ngapain dong?" ucap Clarissa yang hanya di jawab kicauan burung-burung yang terbang kesana-kemari menjalankan aktivitas.

Clarissa mendengus, burung saja bebas berterbangan kesana-kemari dengan teman temannya, sedangkan dirinya? Dia hanya memiliki beberapa teman.

Dan lagi dia tidak bisa berpergian sendiri karna itu akan berbahaya untuk dirinya. Gadis itu mengutuk sifat pelupanya yang sudah akut. Dia sangat susah menghafal jalan, dulu saja saat pindah lagi ke rumah ini dia butuh waktu setengah tahun untuk menghafal jalan dari rumah ke sekolahnya, padahal waktu kecil Clarissa sudah pernah tinggal di sini.

Bahkan untuk mengingat nama dia butuh lebih dari 10 kali bertanya untuk mengingatnya. Beruntungnya untuk masalah pelajaran dia tidak pernah melupakannya, jika tidak, mungkin dia tak akan sekolah. Inilah mengapa hanya sedikit yang mau berteman dengannya. Karna sedikit merepotkan memiliki teman yang pelupa.

Pandangan sendunya berubah menjadi binar ketika matanya menangkap objek yang menggiurkan di bawah sana. Pohon mangga! Sangat menggiurkan menurutnya karna buah mangga adalah favoritnya.

****

Rafa meneguk kopinya yang tinggal setengah, matanya sibuk meneliti kata demi kata yang tertulis di berkas-berkas yang di berikan Irene, sekertaris barunya. Rafa sekarang telah resmi mengurus 'Greyszon Group' menggantikan Ayahnya yang sudah ingin pensiun dan menikmati hidup bersama istri tercintanya. Angga sudah mengurus semuanya seminggu sebelum kepulangannya.

Angin sepoi-sepoi  yang menyapu wajah tampannya, membuatnya rileks dan lebih fokus. Rafa meletakan berkas yang sudah selesai di bacanya ke meja di depannya.

Pria berbulu mata lentik itu memejamkan matanya, menikmati hembusan angin, menurutnya suara angin sangat menenangkan untuk merilekskan fikiran.

Rafa membuka matanya menatap sekeliling dari balkon kamarnya, tidak ada yang berubah setelah kepergiannya lima tahun lalu, semua masih terasa sama. Kecuali rumah di depan sana yang tadinya tidak berpenghuni sekarang sepertinya ada yang menempati terlihat dari beberapa mobil yang ada di sana.

Mungkin Rafa akan berkunjung ke sana untuk sekedar berkenalan dengan tetangga barunya, Rafa memang ramah walaupun dia jarang berbicara. Pria tampan itu bertanya dalam hati siapa yang menempati rumah itu setelah sekian lama kosong.

"HAYY OM CALON SUAMINYA LALA!" teriakan nyaring dari gadis di atas pohon itu menjawab pertanyaan Rafa. Tunggu, di atas pohon?

Rafa menajamkan penglihatannya memastikan apa yang di lihatnya. Gila! Bar-bar! Tidak waras! Maki Rafa dalam hati melihat Clarissa yang nangkring di dahan pohon mangga depan rumahnya sedang melambaikan tangan kearahnya dan gadis itu masih menggunakan piyama pendek bergambar pisang. Sangat kekanakan, tidak masuk ke dalam kriteria seorang Rafael.

"OM LAGI NGAPAIN?" teriak gadis itu lagi.

"LAGI NGUNTITIN LALA DARI SITU YA?" lanjutnya geer.

"OM KANGEN KAN SAMA LALA? MANGKANYA DIAM DI SITU NUNGGUIN LALA KELUAR RUMAH! IHH OM CALON SUAMI LALA PALING THE BEST!"

Rafa menggeram, sial dirinya baru berumur 22 tahun dan gadis kecil itu memanggil nya om? Luar biasa. Rafa beralih menatap ponselnya memeriksa pesan-pesan yang belum di bacanya sejak semalam. Ini lebih baik dari pada meladeni gadis gila itu.

Clarissa semakin melambai-lambaikan tangannya dengan semangat meskipun tak ada tanggapan dari Rafa.

Bagai tertimpa durian montong. Niatnya ingin memakan mangga untuk memanjakan lidahnya malah menemukan Rafa yang terlihat sangat tampan dengan baju santainya. Uh sangat memanjakan matanya.

Gadis itu bersiap untuk berteriak lagi. "OM KAL-"

"CLARISSA!"

Gadis itu menelan lagi suaranya, kala teriakan yang sangat di kenalnya menyapa telinga. Clarissa membalikan badan, melihat sosok tampan dengan setelan kantor sedang berkacak pinggang. Lalu menampilkan cengiran lebarnya.

"Eh kakek!" Clarissa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lupa jika sedang memegang pisau kecil jadilah gagang pisau yang mengenai kepalanya. Untunglah hanya gagangnya. Pergilah sifat pelupa!

"TURUN!"

"SIAPA YANG NGAJARIN KAMU MANJAT POHON KAYAK MONYET GITU CLA! TURUN CEPAT!"

Astaga suara lelaki itu besar sekali, mungkin sampai komplek sebelah akan terdengar. Clarissa bahkan menutup kupingnya saat orang yang di panggil nya kakek itu berteriak.

"Lala gak bisa turun!"

"Kenapa?" pria itu mulai tidak berteriak.

"Lala belom dapet mangga Kek!" rengeknya.

"Astaga Clarissa! Turun sekarang! Masalah mangga gampang gua beliin nanti sama toko-tokonya sekalian!" saut pria itu kesal.

"Beneran?" tanya Clarissa polos.

Pria itu menggeletukan giginya menahan kesal. "Iyaa Claa."

Dengan berat hati Clarissa melompat dari pohon yang lumayan tinggi itu, sempat melirik ke balkon Rafa, tapi pria itu terlihat fokus pada ponselnya. Lala mau jadi hapenya!

Pria yang di panggil kakek tadi sedikit memekik melihat cara turun Clarissa yang antimainstrem. Dengan kesal pria itu menjewer telinga gadis nakal itu.

"Aduh ampun Kek ampun!" Clarissa memegangi telinganya yang tarik.

"Kakek kakek! Panggil gua 'kakak' bego! Umur kita cuma beda 4 tahun! Gua gak setua itu Clarissa Fradella!" geram pria itu.

"Tapi Kakek Ardhan kan adiknya Nenek Lala!" saut Clarissa tak mau kalah.

"Gua masih muda Claa belum ada ketiput nya, stop panggil gua kakek!" Clarissa mendengus pasrah mengiyakan saja. Kalau tidak bisa bertambah panjang wejangan yang akan di terimanya.

Ardhan adalah adik angkat Neneknya. Saat neneknya berumur 36 tahun. Ibu dari neneknya menemukan bayi tergeletak di depan rumahnya yang sedang menangis. Karna tak tega melihatnya, Buyut dari Clarissa yang saat itu berumur 60 tahun mengangkat bayi itu menjadi anaknya dan di beri nama Ardhan.

Karna tak ada keterangan atau petunjuk apapun dari bayi itu. Kecuali kain yang membungkus tubuh ringkihnya. Lalu Ardhan di urus oleh sepasang paruh baya itu dengan penuh kasih sayang.

"Lo kapan berubahnya Clarissa! Gua bilang apa nanti sama Kak Marko dan Kak Licia? Anaknya transformasi jadi monyet gitu?" Ardhan memanggil orang tua Clarissa dengan sebutan kakak karna menurutnya lebih pantas seperti itu. Walaupun dalam pandangan masyarakat dirinya lebih tua, tetapi tetap saja umur mereka berbeda jauh.

Mata Clarissa melebar seketika, enak saja wajah cantiknya di samakan dengan monyet. "Ih kakek kok jahat sih! Lala tuh bukan monyet!"

"Terus apa? Jelmaan tarzan?"

"Kakek!"

"Kakak Cla!"

"Suka-suka Lala dong!"

"Gue Kakek jauh lo jadi lo harus nuruut sama gue!" Ardhan mengencangkan jewerannya membuat gadis itu mengaduh.

"Tuhkan Kakek ngaku kalo Kakek itu udah Kakek-Kakek!" jawaban Clarissa membuat Ardhan bungkam seketika. Gadis ini memang pandai membalikan kata.

"I-iya sih," ucapnya lalu melepas telinga gadis tengil itu.

Clarissa mengelus-elus telinganya yang sedikit sakit. Kakeknya ini memang tidak berperasaan.

"Kakek ngapain sih di sini?" tanya Clarissa yang terdengar seperti usiran. "Mending kakek sana deh ke kantor cari uang yang banyak biar ada cewek yang kecantol sama kakek terus Lala punya nenek baru, yang bisa jinakin kakek." lanjutnya mendumal.

"Oh lo ngusir gua?" tanya Ardhan datar. Clarissa begidik agak ngeri. Pasalnya kakeknya ini kalau marah menyeramkan apapun bisa jadi pelampiasan marahnya. Dan Clarissa tidak mau itu terjadi.

"Enggak Kakekku sayang," Clarissa mendekat mengecup kilas pipi Ardhan, agar pria itu tidak marah.

Ardhan selalu luluh jika seperti ini, niatnya ingin mengomeli Clarissa habis-habisan di enyahkannya hanya karna satu kecupan, yang membuat jantung nya berdetak dua kali lipat. Dengan cepat Ardhan mengusir perasaan itu. Ini tidak boleh sampai terjadi. Dia hanya di titipkan untuk menjaga Clarissa layaknya adik sendiri oleh orang tua gadis itu.

Ayah Clarissa saat ini berada di Philiphina mengurus bisnis di sana yang sedang keritis, sedangkan Ibunya tetap tinggal di rumah mereka di Bandung untuk mengurus butik nya yang sedang naik daun juga menggantikan suaminya memastikan bisnis keluarga mereka yang ada di sana berjalan dengan lancar.

"Gua kesini mau bilang sama lo, jangan kemana-mana malem ini. Gua minep di sini."

Mata Clarissa membulat sempurna. Jika Ardhan menginap pasti dia tidak akan tenang. Harus makan malam, tidur di bawah pukul 9, belajar, dan yang paling mengesalkan Wi-fi rumahnya pasti di patikan oleh Ardhan.

"Emang apartemen Kakek kenapa? Bocor?" tanyanya asal.

Ardhan menarik Clarissa ke teras rumah, semut-semut yang berhatuhan dari pohon mangga yang tadi di naiki Clarissa sangat mengganggu, tapi Clarissa Anteng-anteng saja di atas sana sepertinya gadis itu sudah kebal. Pria itu melonggarkan dasi yang mencekiknya. Berbicara dengan Clarissa membutuhkan otak dan otot yang ekstra.

"Gua dengar dari Bi Sum. Lo selalu tidur larut, kaluar malam, selalu telat makan, dan lo dapat surat panggilan orang tua," ucap Ardhan datar. Clarissa meneguk ludah. Ternyata pembantu nya adalah mata-mata yang di kirim Ardhan. Ah sial!

"Mulai saat ini gua bakal nginap seminggu tiga kali di sini," final pria itu.

"WHAT?!"

Suara berfrekuensi tinggi itu membuat sakit telinga Ardhan, jika Clarissa orang lain sudah pasti akan Ardhan buang ke laut selatan. Biar di makan hiu sekalian.

"Berisik!"

"Udah lah pusing gua ngadepin lo terus terusan. Gua mau balik ke kantor! Jangan kemana-mana. Dan gua mau saat gua sampai di sini lagi lo udah mandi dan harum!"

Ardhan menutup hidungnya. "Lo bau kambing!" ledeknya. Sejurus kemudian Ardhan berlari dengan cepat ke mobilnya sambil tertawa terbahak-bahak. Wajah kesal gadis itu sangat menghibur nya.

"KAKEK LAKNATTT!"

Setelah itu Clarissa mengendus-enduskan badannya sendiri. "Iya sih Lala bau."

"TAPI BUKAN BAU KAMBING!" Rengeknya yang terdengar hingga rumah sebelah.

Rafa tersenyum menyaksikan perdebatan dua orang tadi, senyum yang amat tipis yang bisa di lihat jika benar-benar di perhatikan. Sejak tadi pria itu menyaksikan semuanya. Wajah kesal gadis itu, pipinya yang menggembung lucu itu sangat menggemaskan di mata Rafa.

Kecuali saat gadis itu mengecup pipi pria tadi. Rasanya aneh dia tidak suka. Entahlah Rafa tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya.

Pria itu menggeleng-gelelengkan kepalanya mengusir wajah gadis itu. Sudah kedua kalinya dia melihat gadis itu dari balkon kamarnya, dan setelah itu wajah Clarissa tak pernah mau menyingkir dari otaknya.

Rafa melangkahkan kakinya memasuki kamarnya. Berusaha fokus pada kerjaannya. Masih banyak yang mesti di kerjakan.