"Mantanku di rumah Desy, dan aku gak mau kalau dia jemput aku. Jadi—bisa kan kamu pura-pura jadi pacarku?"
Raga menoleh ke arah Savira. Sementara Savira menatap bingung pada Raga. Sepertinya hanya dia sendiri yang tidak tahu.
"Gimana, Ga?" desak Dina membuat Raga akhirnya mengiyakan karena dia dulu sudah berjanji pada Dina untuk membantunya.
"Ya udah," jawab Raga.
Dina tersenyum kemudian dia menarik tangan Raga dan mengajaknya keluar dari rumah Savira.
"Ga!Jangan berantem, OK?!" seru Savira.
Raga menangguk tanda mengerti. Meskipun Raga menjawab seperti itu, tetapi di hati Savira masih mencemaskan lelaki tersebut. Karena seperti yang dikatakan oleh Desy dulu jika mantan Dina suka main kekerasan bahkan tidak segan-segan untuk memukul jika ada hal yang tidak sesuai dengan kemauannya.
Savira menghela napasnya, kemudian mengitari pandangannya ke seluruh ruangan. Rumahnya ternyata sepi tanpa dua orang yang sudah tinggal di rumahnya beberapa waktu ini.
Ia sadar jika ternyata memiliki seorang teman di dalam rumah penting juga. Bahkan dia sudah melupakan rasa sakit hatinya pada Doni.
Mungkin—jika dia berada di rumah itu sendirian, ia akan menangis setiap hari karena putus dengan Doni.
"Enaknya ngapain ya?" tanya Savira pada dirinya sendiri.
**
Di perjalanannya menuju rumah Desy, Dina menggunakan kesempatan untuk memeluk pinggang Raga. Ia bahkan menempelkan kepalanya pada punggung lelaki itu.
Raga sebenarnya agak risih, karena mereka berdua tidak memiliki hubungan sedekat itu sampai harus Dina memeluknya seperti saat ini.
Dalam perjalanan. Raga tidak mengatakan apa-apa pada Dina. Ia pikir dia akan mendapatkan masalah lagi karena sudah ikut campur dengan masalah orang lain.
Melihat Savira tadi, sepertinya dia mencemaskan dirinya kalau sampai membuat masalah lagi.
"Masih jauh rumahnya?" tanya Raga.
Dina melihat ke arah sekitarnya. Dia lupa-lupa ingat karena dulu baru pertama kali tiba di rumah Desy dan langsung pindah ke rumah Savira.
"Aku lupa, Ga," jawab Dina.
Raga langsung mengerem mendadak motornya. Padahal Dina sendiri yang mengajaknya dengan terburu-buru seperti tadi. Tetapi mengapa sekarang dia malah mengatakan tidak tahu padanya?
"Jadi gimana? Kamu coba hubungi sepupu kamu itu," ucap Raga mencoba untuk bersabar.
Dina mengeluarkan ponselnya, kemudian dia mengirimkan pesan untuk Desy.
Namun balasan yang ia dapatkan adalah mantan kekasihnya itu sudah pergi dari rumah Desy.
"Dia udah pergi katanya, Ga. Tapi pasti dia lagi nyari aku," ucap Dina. Tapi sama sekali tidak ada kekhawatiran dari raut wajah Dina.
Raga menghela napasnya, kemudian dia memutar arah dan hendak kembali ke rumah.
"Ga, tunggu dulu!" seru Dina.
"Kenapa?" tanya Raga.
"Aku belum makan, makan yuk di luar, aku yang traktir."
Raga diam, dia ingin menolak tapi tak enak pada Dina. Namun dia sendiri saja sudah makan tadi ketika bersama dengan Savira.
"Aku udah makan."
"Tapi aku belum, temenin aja. Tapi kalau nanti kamu pengen, kamu bisa pesen kok. Aku yang bayarin."
Raga masih diam, tapi motornya melacu dengan kecepatan rendah.
Ia sedang melihat-lihat ke sekitarnya apakah ada warung makan di sekitar sana. Dia malas kalau harus pergi lebih jauh lagi karena saat ini yang ingin dia lakukan adalah tidur.
Motor akhirnya berhenti di sebuah warung makan pecel ayam. Dina tidak mempermasalahkannya asal dia bisa makan dengan Raga.
"Makan di sini aja ya," kata Raga ia membuka helmnya.
Dina mengangguk kemudian masuk duluan ke dalam warung tenda. Namun sedetik kemudian dia keluar lagi dan mengajak Raga untuk masuk ke dalam juga.
Raga pun menuruti kemauan Dina. Dia masuk ke dalam warung tenda, di mana ada beberapa meja dan bangku untuk pelanggan yang hendak datang untuk makan.
Raga duduk di depan Dina setelah gadis itu selesai memesan makanan pada penjual tersebut.
"Aku pesen dua, kamu pasti laper lagi."
"Aku udah makan tadi."
"Udah gak apa-apa, sebagai tanda permintaan maaf karena udah buat kamu kayak gini," sahut Dina.
Lalu mereka berdua pun diam sampai menunggu makanan mereka datang.
Raga merogoh sakunya ketika merasakan ponselnya bergetar. Dia melihat ibunya sedang memanggil saat ini dan mau tak mau dia mengangkatnya.
"Kenapa, Bu?" tanya Raga.
'Ibu udah di apartemen, kamu mau datang gak ke sini?'
"Apartemen?"
'Iya, ibu kayaknya udah gak ada hak buat tinggal di sana. Karena perceraian ibu udah mau diproses sama pengacara ayah kamu.'
"Kasih aja alamatnya, nanti Raga ke sana," ucap Raga.
"Udah makan, Bu?"
'Udah, kamu datang aja gak usah bawa apa-apa.'
"Iya."
Raga menutup teleponnya. Dia menatap gamang ponselnya. Jika ibunya memutuskan untuk tinggal sendiri, maka pasti nantinya dia akan menyuruh Raga untuk tinggal di apartemennya.
Padahal Raga sudah nyaman tinggal di rumah Savira. Dia bisa mencoba untuk hidup mandiri di dalam rumah itu. Dan saat ini saja dia masih belum cukup untuk kembali dan membawa banyak uang untuk ibunya.
"Kamu lagi mikirin apa?" tanya Dina penasaran karena melihat lelaki itu terus melamun di depannya.
"Bukan apa-apa," jawab Raga.
"Tadi ibu kamu?"
"Iya. Oh ya, aku harus ke apartemen ibuku, kamu aku antar duluan ke rumah ya."
"Aku ikut aja, Ga. Lagian kan kalau pulang ke rumah dulu pasti kemalaman."
Raga diam sambil berpikir, tapi jika nanti dia membawa Dina pasti ibunya menyangka kalau Dina adalah kekasih barunya.
"Tapi nanti jangan bilang apa-apa sama ibuku."
"Termasuk bilang tinggal di rumah mbak Vira?"
Raga mengangguk.
**
Setelah bel berbunyi beberapa kali, sebuah bayangan muncul dari balik pintu dengan senyum yang lebar.
"Ibu udah masak buat kamu," kata ibunya.
Hidung Raga berjengit, dia sudah makan dua kali. Dan kali ini ibunya juga menawarkan makanannya untuknya?
"Raga udah makan Bu," jawabnya.
Rosma melirik ke arah samping Raga. Kedua alisnya naik dan menunggu Raga mengenalkan siapa gadis yang ada di samping Raga.
"Dia Dina, teman Raga."
"Teman satu kos?"
"Iya."
"Perkenalkan nama saya Dina, tante," ucap Dina dengan ramah dan ceria.
"Kamu pacarnya Raga?"
Dina hendak mengiyakan tapi untung saja Raga keburu menyangkalnya.
"Cuma temen, Bu."
Rosma tersenyum kemudian membawa masuk anaknya ke dalam. Kamar yang tidak terlalu besar karena hanya ada satu kamar di dalam ruangan itu.
Dapur dan ruang tamu berdekatan dan tidak ada sekat seperti rumah Savira.
Raga tahu ibunya pasti memilih apartemen dari uang kompensasi yang diberikan oleh ayahnya.
"Ibu betah tinggal di sini?" tanya Raga.
"Baru juga satu hari, nanti kalau semuanya udah beres. Kamu pindah ke sini ya."
Benar dugaan Raga jika dia pasti disuruh pindah ke sana.