Chereads / A Song of the Angels' Souls / Chapter 21 - Pindah

Chapter 21 - Pindah

Beberapa hari berlalu, luka-luka di tubuh Lyra sudah hampir tak terlihat, hanya menyisakan bekas samar, yang kata Piv nantinya akan benar-benar lenyap.

"Mas Stefan yakin mau tinggal di rumah ini?" tanya Herman, tengah membantu pindahan Stefan dan keluarga Rava ke sebuah rumah bercat putih yang cukup besar, tetapi bentuknya sederhana.

"Di rumah saya, Rava ngga bisa tidur, Pak. Barangkali dia lebih terbiasa dengan suasana yang sederhana," jawab Stefan, menurunkan salah satu kardus dari mobil bak terbuka. "Saya ingin tinggal sama dia dan Lyra, jadi kalau ada apa-apa bisa berangkat bareng. Makanya, saya beli rumah ini."

Sementara itu, di dalam rumah, ibu Rava sedang menata perabot dengan putranya.

"Ibu nggak menyangka kalau orangtua Lyra itu jahat banget," desah sang ibunda, membenarkan posisi meja tamu.

Rava yang sedang mendorong sofa ke sudut ruang tamu langsung menghentikan kegiatannya. "Memangnya, mas Stefan bilang apa, Bu?"

"Masa kamu nggak tahu? Kata mas Stefan, Lyra sangat dikekang sama keluarganya. Dia bahkan sampai dijodohkan dengan orang yang nggak dicintainya. Makanya, Lyra kabur dan bersembunyi di rumah kita. Tapi, mas Stefan dapat kabar kalau suruhan orangtua Lyra sudah tahu rumah kita itu," tutur sang ibunda, menyeka keringat di keningnya. "Kalau Lyra bersembunyi sendirian, Ibu yang bakal ditanyain macam-macam. Makanya, Ibu disuruh sembunyi sekalian. Mas Stefan memang hebat, bisa berpikir sampai sejauh itu."

"Ooh," timpal Rava pendek.

Kening sang ibunda sedikit mengerut. "Kamu beneran nggak tahu?"

"Iya .... Aku tahu, tapi kurang detail, sih."

Rava jadi penasaran. Bisa-bisanya Stefan membuat alasan yang jitu seperti itu? Topik tentang broken home adalah hal yang jelas akan menyentuh hati ibu Rava.

Orang kaya memang mengerikan. Rava bersyukur Stefan ada di pihaknya.

"Saya sudah tidak sabar membuka lapak jualannya, Bu," ujar Ione ceria, masuk ke dalam rumah sembari membawa setumpuk kardus. "Kalau Lyra juga ikut jualan, saya yakin kue-kue buatan Ibu Sinta bakal laris manis. Dia itu sudah terbukti bisa menarik pembeli."

Lyra melengos begitu saja sambil mengangkat meja marmer dengan sebelah pundaknya.

Rava berpikir, seharusnya dua bidadari itu lebih berhati-hati dalam memperlihatkan kemampuan fisik mereka. Kalau tetangga curiga kan bakal repot.

Kegiatan pindahan itu terus berlanjut. Walau tanpa tenaga suruhan, semuanya berjalan sangat efisien. Itu semua disebabkan karena keberadaan para bidadari yang punya kekuatan jauh di atas normal. Ibu Rava sampai keheranan sekali. Ketika ditanya oleh beliau, Rava cuma menjawab, "Orang luar kalau fitness emang begitu."

Ibu Rava jelas tak percaya. Rava tahu beliau bukan orang bodoh. Namun, Rava tak punya jawaban lain yang lebih masuk akal.

Sore mulai menjelang, Rava terkantuk-kantuk saat menata kamar barunya. Ia mengeluarkan tablet menggambarnya dari salah satu dus. Ia langsung tercenung, dan beberapa saat kemudian memasukannya lagi ke dus. Alat itu sekarang bagai seonggok kayu baginya. Sama sekali tidak ada gunanya.

"Lebih baik kamu tidur dulu aja, Rav. Kamu jangan sampai kecapean. Kita udah dapat kepastian dari Piv kalau nanti malam kita bakal dipertemukan sama Kacia dan tuannya," ujar Stefan, berdiri di depan pintu kamar Rava sambil membawa kardus berisi banyak action figure yang dibungkus kotak karton.

Rava yang bagian bawah matanya memang sudah dihias kehitaman pun menggeleng-gelengkan kepala. Bukan untuk membantah Stefan, tetapi demi mengusir sensasi berkunang. "Aku udah berkali-kali rebahan, tapi tetap nggak bisa tidur, Mas."

Itu terjadi setelah Rava mendengar kabar kalau kemungkinan Kacia disiksa oleh tuannya sendiri. Rava tak bisa berhenti memikirkan hal itu.

Stefan menarik napas, lalu masuk ke kamar Rava. "Aku tahu, kejadian yang menimpa Kacia ini ngebuat kamu emosional, tapi ...."

"Kayaknya, Mas ini tahu banyak tentang masa lalu keluargaku, ya?" sela Rava dengan nada dingin.

"Maaf, kalau ini ngebuat kamu nggak nyaman."

"Asal yang lain jangan sampai ada yang tahu, Mas," tukas Rava, memunggungi Stefan.

"Aku janji nggak bakal bocorin masalah ini." Stefan terdiam sejenak, memandangi Rava yang masih berkutat dengan barang-barang. "Bapak kamu sehat, kok."

Setelah mengatakan hal itu, Stefan melenggang begitu saja. Sementara itu, Rava langsung mematung. Bibirnya sedikit bergetar. Setiap sendi tubuhnya menegang.

***

Cahaya temaram menyirami kulit Eloisia yang lembut dan berwarna cerah. Di restoran mewah dengan dinding tinggi dan interior elegan itu, ia mencecap wine-nya. Ia tahu, wajahnya yang sudah mendapat dandanan terbaik serta tubuhnya yang dibalut gaun merah itu menjadi perhatian para lelaki di sana. Barangkali pasangan-pasangan mereka sudah merasa kesal. Lois tidak risih samasekali. Ia berpura-pura tak peduli, padahal hatinya menikmati semua itu.

Barangkali, hanya satu lelaki yang tidak punya minat padanya.

"Padahal, suasananya sudah romantis sekali," decak Lois, menoleh kepada sang pianis solo di sudut restoran yang melantunkan rangkaian nada mendayu-dayu. "Tapi, sepertinya kamu tidak menikmatinya, ya?"

Marcel, tuan Lois yang kini mengenakan pakaian formal dan rambut gondrongnya sudah ditata rapi itu, menghentikan kegiatannya menyantap seonggok steak. Tersenyum tipis, ia lalu berkata. "Tentu saja aku menikmatinya, apalagi ditemani kamu, Lois."

"Bohong." Lois memain-mainkan gelas wine-nya, mengamati cairan merah di dalamnya. Bibirnya sedikit memberengut. "Kamu lebih murung dari biasanya. Ada apa? Tunanganmu tidak mengangkat teleponmu lagi?"

Marcel melebarkan senyumnya. "Apa kamu lupa lagi dengan janjimu? Kamu ...."

"Iya, iya. Aku tidak akan membahas Anggun lagi." Lois mengangkat bahu. "Yah, salahku juga sih memintamu membawaku ke sini, tanpa memperhatikan suasana hatimu."

Marcel kembali memotong steaknya. "Jangan pikirkan suasana hatiku. Nikmati saja apa yang ada."

Lois ingin mendengus, tetapi dia tak mau kesempurnaannya di mata para lelaki di restoran itu berkurang. "Yah, aku tetap senang sih dengan suasana ini. Hanya saja, akan lebih baik kalau aku tidak melihatmu sedih sepanjang waktu."

Marcel cuma menggeleng-gelengkan kepala. Selanjutnya, yang terdengar hanyalah denting peralatan makan, obrolan pelan dari sekitar mereka, dan alunan piano.

"Halo, Lois."

Merasakan sesuatu mendarat di pahanya, Lois menengok ke bawah. "Oh, halo Piv kecil."

Makhluk berbulu putih itu melompat ke dalam belahan dada sang bidadari, kemudian menyembulkan mukanya di antara kedua payudara Lois yang indah. Lois sedikit berjengit dan tertawa, tetapi tampak tak terganggu,

"Akan ada pesta sebentar lagi," ujar makhluk berbulu itu. "Ada beberapa bidadari yang akan berkumpul. Barangkali kalian mau ikut?"

Serta-merta, Marcel meraih serbet dan membersihkan tangannya. "Ayo."

"Hei, aku belum selesai makan." Lois memasukkan potongan steaknya yang terakhir ke mulut, kemudian mengunyahnya dengan begitu pelan. Dari ekspresinya, dia tampak sedang menikmati makanan itu dengan sangat khidmat. Dia seperti sedang memakan hidangan terlezat di muka bumi.

Marcel menghela napas panjang, menunggu sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Begitu Lois menelan makanannya, ia bertanya dengan nada sedikit tinggi. "Sudah?"

"Makanan penutupnya saja belum datang." Lois menyecap wine-nya. Melihat tuannya mengusap muka, ia tersenyum lagi. "Malam masih panjang, Marcel. Aku kan disuruh olehmu untuk menikmati semua ini. Tenang saja, aku pasti akan datang ke pesta itu, kok."

Senyum Lois smakin mengembang begitu makanan penutupnya tiba: sekilas terlihat seperti puding dengan dominan warna merah jambu, ditata sedemikian rupa di atas piring, terlihat begitu cantik.

"Aku ke belakang dulu." Marcel sedikit mendengus, bangkit dari kursi dan pergi dengan langkah cepat.

Lois mengangkat bahu, menyendok makanan penutupnya. Rasa stroberi yang manis seolah meleleh di mulut Lois, bahkan sebelum dia mengunyahnya. Bidadari itu sangat menyukainya.

"Kamu mau?" tawar Lois, menengok kepada Piv yang masih bertengger di dadanya. Mata Piv pun mengerjap-ngerjap.