Chereads / A Song of the Angels' Souls / Chapter 22 - Penyelamatan

Chapter 22 - Penyelamatan

Di sebuah bangunan sekolah yang terbengkalai dan kotor, Rava dan Stefan turun dari punggung bidadarinya masing-masing. Ione dan Lyra mengangguk satu sama lain, kemudian berpencar ke tengah lapangan upacara, yang lantai betonnya sudah pecah di sana-sini dan dihiasi hamparan-hamparan lumut. Sementara itu, para tuan menjauh ke depan salah satu ruangan kelas yang dindingnya penuh coretan.

"Mereka multi fungsi sekali, ya? Aku jadi ingin punya satu," celetuk Ione, merujuk kepada para sosok Piv yang berdiri di beberapa tempat, dari sekitaran lapangan sampai ke atap kelas yang reyot. Tubuh mereka memancarkan cahaya kuning temaram, menggantikan kegunaan lampu di sana. Tempat itu sudah lama tak terpakai, sehingga tak dialiri listrik.

Untuk kesekian kalinya, Rava menguap lebar. Kantuknya sudah terlalu parah sampai membuatnya sedikit sempoyongan. Ia merapatkan jaketnya. Angin malam yang dingin semakin meningkatkan hasratnya untuk bergelung di kasur.

"Apa kamu benar-benar siap melakukan ini, Rav?" tanya Stefan, terdengar begitu cemas.

Rava mengusap mukanya, meminum kopi botolannya sampai habis, lalu duduk di undakan kelas. "Kondisiku bukan masalah, Mas. Aku seratus persen siap. Ini sudah nggak bisa ditunda lagi."

"Tapi, kamu ....."

"Aku siap, Mas," tegas Rava.

Stefan sudah akan membantah lagi, tetapi menahan ucapannya saat melihat tatapan Rava, yang walaupun sayu, tetapi terlihat cukup tajam.

Ya, Rava memang tak mengenal Kacia. Bahkan dia belum pernah bertemu dengan bidadari itu sama sekali. Dia bisa saja memilih untuk tak peduli. Akan tetapi, Rava merasa dirinya tak akan bisa lega kalau semua ini tak kunjung selesai. Bidadari itu akan terus menderita bila masih bersama Fino.

Masalah ini terasa begitu personal bagi Rava, padahal Kacia jelas-jelas orang asing baginya.

Beberapa menit berlalu, para bidadari masih mengawasi keadaan sekitar dengan begitu waspada. Sesekali, mereka melangkah ke suatu titik untuk memeriksa dengan lebih saksama. Namun, mereka belum juga menemukan tanda-tanda Kacia maupun tuannya. Suasana sekolah itu benar-benar sepi, hanya diiringi bunyi jangkrik di kejauhan.

"Ooi, keluarlah!" seru Ione akhirnya. "Kita duduk bersama sambil makan mie di warung ...."

Syut!

Ione bergeser menghindari satu anak panah yang melesat kepadanya. Dirinya dan Lyra langsung mengaktifkan senjata masih-masing, kembali fokus ke keadaan sekitar, sementara Rava dan Stefan bersiap memencet tanda di lengan.

"Hei, kamu! Namamu Kacia, kan!? Kacia, keluarlah!" panggil Ione dengan suara keras. "Kami tidak ingin melawan kamu! Seperti kubilang tadi, lebih baik kita duduk-duduk di warung sambil makan mie. Dingin-dingin begini, makan mie rebus pasti ...."

Ucapan Ione terpotong oleh anak panah yang kembali datang ke arahnya. Kali ini, panah itu berubah menjadi rangkaian pita. Tak sempat menghindar lebih jauh, Ione pun tumbang dengan tubuh terjerat rangkaian pita tersebut.

Syut!

Lyra berputar dan menangkis anak panah yang menerjangnya dari belakang. Karena sekarang Rava ada di dekatnya, ia tak perlu bertahan lagi, Ia memilih langsung berlari ke arah datangnya anak panah.

Rava memencet tanda di lengannya. Kecepatan Lyra meningkat drastis. Kacia tak sempat melakukan apa pun saat Lyra menubruknya sampai terhempas keras. Ia dipaksa menelungkup di lantai beton dan tangannya dipelintir ke belakang. Busurnya otomatis terlepas.

"Kamu mendengar kata Ione, kan? Kami cuma ingin bicara denganmu. Jadi, diamlah ...." Lyra menahan napas saat menyadari luka sabetan Kacia sudah hampir menutupi seluruh tubuh. Wajah bidadari bertubuh mungil itu—selain bengkaknya makin jelas terlihat—kini juga lebam-lebam. Bahkan mata kirinya nyaris tertutup saking besarnya salah satu lebam itu.

Melihat kondisi Kacia tersebut, Rava membelalakkan matanya. Degup jantungnya kini luar biasa liar. Dengan napas mulai memburu, matanya nyalang memandang berkeliling, mencari tuan Kacia.

"Rava, tenangkan dirimu," pinta Stefan lirih, tetapi Rava tak peduli.

Kacia sedikit terisak. Dengan suara serak, ia berbisik, "Maaf."

"Jangan melawan dan dengarkan aku ...." Lyra menghentikan ucapannya ketika Kacia memunculkan sebuah panah dari tangannya yang bebas. Lyra bisa melihat mata anak panah itu menghadap mukanya.

"Tuan, ledakkan panah ini!!!" pekik Kacia, begitu keras sampai menggema.

Serta-merta Lyra melepaskan tangan Kacia dan melompat mundur. Kacia mengambil busur dan berbalik, langsung menembak anak panah yang barusan dimunculkannya.

Lyra baru saja mendarat dan belum siap untuk mengelak. Meski tahu apa yang akan terjadi, ia refleks menangkis anak panah itu dengan senjatanya.

Duar!

"Lyra!" pekik Rava.

Anak panah itu meledak begitu mengenai senjata Lyra. Tubuh bidadari itu terpelanting dan mendarat keras di lantai beton. Karena kali ini energi pelindungnya sempurna, dia tidak terluka sedikit pun. Meski begitu, dia tetap saja bangkit dengan susah-payah. Ledakan barusan cukup menyarangkan nyeri di sekujur tubuhnya.

Kacia memunculkan anak panahnya lagi. Lyra pun segera memasang kuda-kuda bertarung. Belum juga Kacia menarik busurnya, terdengar bunyi tiupan merdu dari seruling Ione. Kacia langsung berbalik arah dan menembakkan anak panahnya. Tepat di nada terakhir, anak panah itu mengenai seruling Ione, menjatuhkannya ke lantai beton.

"Yang benar saja!" umpat Ione yang tak berhasil membekukan tubuh Kacia. Ione cepat-cepat membungkuk, hendak memungut serulingnya, yang tiba-tiba bergeser karena terkena lesatan anak panah Kacia.

"Sial!" Ione pun berlari untuk mengambil seruling itu.

Memanfaatkan kesempatan, Lyra berlari menghampiri Kacia. Kacia menyadari Lyra sudah begitu dekat di belakangnya. Ia kembali memunculkan satu anak panah, lantas memutar tubuhnya, hendak menusuki tubuh Lyra. Namun, Lyra sudah bisa membaca serangan tersebut. Ia menangkap tangan Kacia dan memelintirnya. Kemudian, Lyra menyapu kaki bidadari bertubuh mungil itu. Begitu Kacia jatuh telentang, Lyra menduduki perutnya. Kacia tak berdaya karena kedua tangannya ditahan ke lantai.

"Aku mohon." Kacia terisak kembali. "Bunuh saja aku. Aku sudah tidak tahan. Aku mohon ...."

"Kaciaaaaa!!!" Tiba-tiba, Fino keluar dari persembunyiannya di balik pintu salah satu kelas. "Kamu ngapain!? Bangun! Lawan mereka! Jangan malah tiduran begitu!!!"

Mendengus keras, Rava langsung mengambil sebongkah batu seukuran kepalan tangan dan berlari mendatangi Fino.

"Rava! Tunggu!" Stefan segera menyusul Rava.

Fino masih mencak-mencak ketika Rava melemparkan batu kepadanya. Buk! Batu itu mengenai pelipis kirinya, menimbulkan luka yang mengucurkan darah segar. Ia pun seketika sempoyongan. Tangannya memegangi bagian yang terkena lemparan.

"B*ngs*t!!!" Fino histeris saat memeriksa darah kental di tangannya. "Anj*ng!!!"

Setelah itu, tinju Rava pun mendarat keras di pipi Fino. Begitu Fino jatuh tersungkur, Rava menendangi perutnya dengan membabi-buta. Saking brutalnya tendangan-tendangan itu, Fino sampai tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mengerang saja tidak bisa.

"Makan, nih!" hardik Rava, terus saja menendangi perut Fino.

Rava baru berhenti ketika Stefan menariknya mundur. "Cukup, Rav! Cukup!"

Rava menjauh dengan napas makin tak terkendali. Masih belum puas, ia kembali mendatangi Fino, hanya untuk ditahan oleh Stefan.

"Aku bilang cukup! DIa bisa mati!"

Akhirnya, Rava cuma memandangi Fino yang kini tergeletak tanpa daya di lantai beton. Dengan pelipis dan ujung bibir yang mengucurkan darah, pemuda bertubuh gempal itu merintih-rintih sambil memegangi perutnya.