Rava menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan luar biasa kaku. Setiap sel di tubuhnya seolah dialiri dengan listrik. Omongan Piv barusan seperti petir yang menyambar kepalanya.
Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi.
"Jangan, Mas," desis Rava pelan, menundukkan kepalanya. "Nanti Mas bakalan menderita setelah kehilangan hal yang paling berharga itu."
Membuka matanya, Janu menelan ludah. Samasekali tak melihat Rava, dia berbicara, "Justru rasa ini yang bikin menderita, Rav. Bahkan sampai sekarang pun, aku masih ngebayangin diri gue bersama Tina. Elu nggak tahu rasanya pengen move on selama bertahun-tahun, tapi nggak bisa-bisa. Udah kayak penyakit yang nggak bisa disembuhin. Gue rasanya mau jadi gila gara-gara itu .... Makanya, ada kesempatan kayak gini, gue nggak bisa menyia-nyiakannya."
"Tapi, bukannya Mas bilang, rasa itu yang bisa membuat diri Mas jadi lebih baik," lanjut Rava, menunduk semakin dalam.