Dengan lemas aku pergi meninggalkan ayah dan Arnaf yang kini masih mengobrol tentangku di taman sana.
Aku berjalan ke rumah dan pergi ke kamar untuk mengunci pintu.
Di sana aku melihat ibu yang sedang memperhatikanku di ruang tamu.
Aku tidak banyak bergeming selain pergi ke sana dan cepat-cepat berdiam diri, menenangkan pikiran seperti apa yang dikatakan oleh Arnaf.
Ketika aku sedang duduk di sebuah bangku, aku melihat ada bolpoin dan kertas kecil yang membuatku tertarik untuk menuliskan suatu hal yang sedang aku rasakan dan masih mengganjal perih di dalam hati.
Aku beranjak dari tempat kemudian segera menuliskan banyak hal di sana.
Melihat kertas dan bolpoin ini, entah kenapa semuanya tiba-tiba mengingatkanku akan seorang Mahesa dulu yang seringkali membawa papan tulis kecil dan sepidol di tangannya. Barang itu adalah barang yang benar-benar tidak bisa lepas dari tangannya.