Setelah Alisa melihat Dias mengemudikan Jetta tua, Alisa tidak ikut dalam penangkapan selanjutnya. Sebaliknya, dia langsung pergi ke rumah untuk menunggu Dias kembali.
Mengapa Alisa menunggu Dias di depan pintu? Karena Alisa tidak ingin membuat Ajeng khawatir.
Bagi Alisa, dia tidak membenci Dias, tapi lebih ke penasaran. Seorang anak malang dengan ponsel Nokia tua, tapi dengan kemampuan bela diri yang bagus dan skill mobil yang luar biasa, pasti ada rahasia yang tersembunyi pada pria ini.
Ketika Dias berjalan ke gerbang halaman, Alisa berbicara dengan dingin, "Kamu mengemudi dengan sangat baik, jadi kamu pasti bisa bermain akrobat."
Dias menoleh untuk melihat ke arah Alisa di bawah cahaya kuning lampu jalan yang redup di malam hari, sosok polisi cantik muncul. Lebih tegak dan badannya proporsional, berdiri di sana, dengan ekspresi dingin.
"Jika saya tidak bermain akrobat, apakah akan lebih memalukan jika Anda ingin menangkap tuan tanah sendiri?"
Dias mengangkat bahu, tanpa menutupi. Saat Jetta tua terbang melewati mobil polisi, dia sudah menyadari bahwa orang yang bersembunyi di balik mobil polisi adalah Alisa.
Alisa mendengus dan berkata dengan keras, "Aku tidak keberatan menangkap tuan tanahku karena tuan tanah yang buruklah yang telah merusak moral, merusak karakter, dan membahayakan ketertiban umum."
Dias bersandar malas di dekat pintu. Dia tersenyum dan berkata, "Petugas Alisa, Anda tidak bisa bicara omong kosong. Anda ingin menangkap saya, apakah Anda punya bukti?"
"Saya melihat Anda balap mobil dengan mata kepala sendiri, dan ada wanita dengan riasan aneh duduk di atas pangkuan. Anda mengemudi dan bermain dengan wanita, Anda benar-benar menjijikkan." Kata Alisa sambil membuat gerakan muntah.
Dias tidak peduli lalu berjalan menuju halaman, "Apakah Anda melihatnya? Haha, jadi Anda tidak punya bukti? Anda ingin menangkap orang tanpa bukti. Di mana polisi, kau hanya gangster wanita."
Mata indah Alisa melotot, dia hanya bisa menahan amarah. Ketika Dias memasuki ruangan, Alisa mengeluarkan SIM dan menepuk-nepuk SIM itu di tangannya sambil tersenyum penuh kemenangan, "Huh, aku akan menyita SIMmu. Berani-beraninya kau balapan liar."
Begitu Dias memasuki kamarnya, dia memeriksa ada jejak orang-orang yang telah masuk kamarnya. Lalu dia baru sadar bahwa dia kehilangan SIM-nya. Dias segera mengerti apa yang sedang terjadi.
"Gadis kecil ini terlalu naif, dia pikir bahwa jika dia mengambil SIMku, aku tidak bisa mengemudi?"
Dias tertawa. Dia sama sekali tidak peduli dengan SIM yang hilang. Jangankan SIM, bahkan KTP baginya itu semua tidak penting. Mereka yang ada di kelompok itu tahu bahwa Dias telah kembali ke Kota Jogja dan bersikeras melakukan semuanya untuknya.
Keesokan paginya, Dias biasanya bangun pagi dan Perawat Nita belum kembali dari shift malam. Polisi Alisa sedang berlatih tinju di tengah halaman.
Alisa mengenakan T-shirt putih ketat dan celana olahraga hitam, membuatnya terlihat sangat bergairah. Mengikuti gerakan tinju dan tendangannya, dadanya yang montok bergoyang hebat, membuat Dias yang baru saja keluar kamarnya langsung menatap lurus ke arah Alisa.
Yang lebih menggoda lagi adalah Alisa tidak mengenakan pakaian dalam untuk menunjang kenyamanannya. Keringat membasahi sebagian kecil dadanya, hingga membuat bajunya hampir transparan memperlihatkan tubuhnya.
Dias berjalan ke depan Alisa dengan serius, lalu berbicara, "Angkat tanganmu, regangkan tanganmu saat membuat kepalan tangan lurus sehingga kekuatanmu bisa dilepaskan."
Alisa menatap Dias, tidak ingin mendengarkannya. Tapi tetap tanpa sadar melakukannya, dia meninju keluar, membuat suara letusan.
Alisa sangat gembira karena bisa meninju dengan keras, tetapi ketika dia melihat ke atas, Alisa melihat Dias menyeringai sambil menatap kaos lengan pendeknya yang terbuka. Dias daritadi melihat ke dalam kaosnya melalui ketiaknya.
"Brengsek, kau biarkan aku mengangkat tanganku dan meluruskannya agar kau bisa mengintip!"
Alisa sangat marah dan meninju Dias.
Saat itu juga, Ajeng keluar dari dapur, "Alisa, Dias, sarapan."
"Huh!"
Alisa tidak ingin bermain dengan Dias di depan Ajeng. Alisa hanya bisa mendengus dingin, lalu kembali ke kamar untuk mandi dan mengganti pakaian.
Ajeng berjalan ke arah Dias dan bertanya, "Ada apa, apakah kamu marah lagi pada Alisa?"
"Tidak tahu, aku hanya menyuruhnya berlatih tinju, tapi dia tampak sedikit tidak senang." Dias tersenyum lalu menoleh untuk melihat Ajeng. Dia saat ini mengenakan kebaya yang berbeda dari kemarin. Meskipun dia mengenakan celemek, itu tidak menghilangkan keanggunannya sehingga dia seperti memiliki gaya yang unik.
"Dia bergelar sabuk hitam taekwondo, apakah dia ingin kamu memberi petunjuk untuk berlatih tinju?" Ajeng tersenyum dan menarik Dias ke ruang makan.
Setelah sarapan, Dias mengendarai sebuah bar besar klasik Phoenix 28 tahun 1968 peninggalan kakeknya. Sepeda ini sudah lama tidak dipakai. Meski bersih, tapi berkarat. Perjalanan dengan sepedal itu berderit, hampir seperti rusak.
Tetapi Dias sama sekali tidak membencinya. Ketika dia masih muda, dia duduk di bar besar itu, dan kakeknya membawanya keluar dengan sepeda.
"Jika Anda tidak dapat menemukan SIM, Anda tidak perlu mengendarai mobil rusak ini."
Alisa memperhatikan Dias keluar dari halaman dengan mengendarai dua-delapan bar, dan bergumam sambil makan bubur.
Ajeng tersenyum, dan kenangan melintas di matanya, "Ini adalah sepeda Pak Sastro. Dias selalu ingin mengendarainya ketika dia masih kecil, tetapi dia tidak bisa mencapai pedalnya."
Alisa membeku, ada satu tambahan lagi informasi tentang Dias di dalam hatinya. Label "Nostalgia" membuat pikirannya tentang Dias semakin bingung.
Menunggangi bar besar 28 untuk masuk ke Universitas Gajah Mada, Dias memandangi para mahasiswa yang memegang buku dan berkeliling kampus. Dia tidak bisa menahan nafas. Jika taman kanak-kanak dianggap sebagai sekolah, dia baru bersekolah selama tiga tahun.
Melihat gadis-gadis muda pada saat ini, Dias langsung penuh dengan gairah, bahkan dia mengayuh kecepatan sepedanya jauh lebih cepat.
Dua Puluh Delapan Bar yang dikayuh dengan cepat menarik perhatian para mahasiswa.
Memang mobil ini terlalu berangin. Seluruh badan sepeda penuh karat, berderak, dan rodanya lonjong. Saat menggelinding, Dias duduk di atas sepeda naik turun. Tidak mencolok tapi terlalu sulit.
Setelah berkeliling kampus, Dias teringat bahwa dia tidak tahu di mana letak Fakultas Teknik itu.
Dia memutuskan untuk bertanya dengan seseorang, pandangan matanya menyapu kerumunan kemudian matanya berbinar.
Ke arah yang dia melihat, ada seorang gadis dengan memakai rok putih seputih salju. Rambut gadis itu diikat dengan kuncir kuda, tampak seperti batu giok merah muda, dan wajahnya putih merona merah seperti boneka porselen. Dia memegang buku dengan tangan di dadanya. Pesonanya penuh dengan kesucian mahasiswa.
Sepertinya, sosok itu. Perasaan Dias mengatakan bahwa itulah gadis yang dia cari, tidak ada orang lain.
Dias mengerem sepedanya hingga mencicit, dua puluh delapan jeruji besi sepeda tua itu berhenti di samping gadis yang lugu itu. Dias memandang gadis yang menoleh dan bertanya dengan serius, "Gadis, apakah kamu peri?"
Gadis itu terkejut lalu langsung mundur dua langkah. Dengan hati-hati dia berkata, "Aku… aku tidak."
"Ah, kenapa? Penampilan dan sikapmu persis sama dengan peri dalam dongeng." Kata Dias serius.
Ketika gadis itu mendengar perkataan Dias, wajahnya yang cantik langsung memerah. Dia menganggap Dias sebagai murid yang bermulut buruk, dia berjalan ke depan lebih cepat.
"Peri tunggu."
Dias berteriak, tapi dia melihat seekor dinosaurus dari sekitar dua ratus meter di sebelah gadis itu menoleh ke arahnya lalu menggelengkan tinjunya, "Peri bicara, kau bukan orang baik pada pandangan pertama, cepat pergi."
"Benar saja, ini adalah tempat yang bagus. Bahkan jika Ririn yang ingin aku lindungi adalah seorang gadis jelek, aku akan tetap datang ke kampus. "
Dias melihat ke arah belakang gadis murni itu yang mulai menghilang. Dengan senyum di wajahnya, dia menaiki dua puluh delapan jeruji lagi untuk menanyakan arah ke orang lain.