Chapter 14 - Aura Pembunuh

Paviliun Aldebaran dibangun dengan konstruksi bangunan yang megah dan desain interior dan eksterior yang mewah. Paviliun ini memiliki reputasi yang bagus di Kota Yogyakarta.

Alasan mengapa paviliun ini begitu terkenal adalah karena paviliun ini digunakan khusus untuk kelompok konsumen kelas atas dengan kualitas layanan seperti hotel bintang lima. Tempat ini memang sesuai dengan latar belakang geng serigala hitam yang sering dibicarakan.

Saat mendekati paviliun, Dias memandang dua pria besar berpakaian hitam yang berdiri tegap di pintu. Masing-masing memiliki mata yang tegas dan tatapan yang dingin, tatapan mata itu tidak sama dengan anggota gangster biasa.

"Tampaknya geng serigala hitam benar-benar memiliki kekuasaan. Anjing gila yang memungut biaya keamanan di kampus sebenarnya hanyalah anggota yang tidak penting."

Dias diam-diam berkata kemudian menghentikan sepedanya tepat di pintu masuk Paviliun Aldebaran. Dias turun dari sepedanya kemudian berkata kepada Retno, ��Bu Retno, paviliun ini pasti berbahaya. Anda tidak perlu ikut saya ke dalam. Jika ada hal buruk yang terjadi, bagaimana kita berdua bisa selamat di dalam? Jadi saya pikir lebih baik Anda menunggu di luar. Saya akan masuk sendiri dan berbicara dengan mereka."

Retno awalnya tidak bisa meninggalkan Dias menghadapi gangster itu sendirian. Retno tersenyum pahit, bagaimana jika mereka tidak mau menjelaskan alasan Dias?

Tapi kemudian Retno berubah pikiran dan merasa Dias benar. Dia tetap di luar, jika sesuatu benar-benar terjadi, Retno bisa memanggil polisi untuk menyelamatkan Dias. Tetapi jika keduanya terjebak, mereka tidak akan bisa melarikan diri.

"Baiklah, aku akan menunggumu di sini. Jika kamu tidak keluar selama setengah jam, aku akan memanggil polisi." Retno mengangguk dan berkata dengan sungguh-sungguh.

"Jangan khawatir, Bu Retno, saya hanya akan meminta maaf kepada mereka, dan memberi tahu mereka dengan baik. Mereka seharusnya tidak mempermalukan saya."

Dias tampak percaya diri, kemudian dia berjalan menuju Paviliun Aldebaran dengan kepala terangkat tinggi.

Tapi saat Dias berbalik, ekspresi baiknya berubah. Hanya ada jejak dingin yang muncul drastis di matanya.

Lelucon macam apa ini, geng di Kota Yogyakarta ingin membuat "Tuhan" yang ditakuti meminta maaf kepada mereka. Apakah ini mungkin?

Mengenai apa yang dikatakan Dias, dia harus berbicara dengan baik, tentu saja, tetapi dia selalu suka mengalahkan orang lain terlebih dahulu dan kemudian berbicara dengan baik.

"Dias, hati-hati!"

Melihat punggung tinggi Dias, Retno mengejar ke depan dua langkah sebelum berteriak lalu berhenti.

Saat ini, Retno merasa bahwa meskipun Dias adalah mahasiswa yang miskin, dia memiliki rasa keadilan yang tinggi dan menghadapi bahaya sendirian. Sikap Dias membuat Retno merasa kagum sekaligus tertekan.

Tiba-tiba, Retno merasa ujung hidungnya sedikit sakit dan dia hanya bisa berdoa dalam hati, "Dias, semoga tidak terjadi apa-apa terhadapmu. Jika tidak, sebagai seorang dosen aku tidak akan pernah merasa tenang dalam hidup ini. "

Di bawah perhatian berderet pria kulit hitam, Dias berjalan menuju Paviliun Aldebaran tanpa ditemani siapa pun dengan ekspresi tenang, seolah-olah dia tidak melihat orang-orang ini sama sekali.

Orang-orang besar berbaju hitam ini telah lama memperhatikan Dias. Mereka melihatnya mengendarai sepeda rusak, tetapi membawa seorang wanita cantik yang menawan. Mereka iri dan cemburu, saat ini mereka benar-benar ingin mengalahkan Dias.

Melihat Dias mengabaikan mereka saat ini, membuat mereka semakin tidak senang.

Jika Paviliun Aldebaran tidak membebaskan membuka pintu untuk menyambut tamu, mereka sudah dari tadi mengalahkan Dias. Tetapi meskipun mereka terikat peraturan, bukan berarti mereka tidak bisa mengalahkan Dias.

Tidak berapa lama, dua orang berpakaian hitam berjalan cepat menuju Dias. Para pria itu mengelilingi Dias, menjauh darinya, menatapnya dengan tatapan bengis seolah-olah ada roh jahat yang akan memakan Dias di dalam tubuh mereka.

Dias mencibir dengan jijik tapi dia tidak takut sama sekali. Dias telah mengalami saat-saat antara hidup dan mati yang tak terhitung jumlahnya. Dia juga telah bertemu seorang ahli yang paling tidak tertandingi di dunia ini. Beberapa bajingan di depannya ingin menakut-nakuti dan menghalangi jalannya, itu hanya hal remeh bagi Dias.

Kini, Dias mulai melepaskan auranya yang sebenarnya. Aura pembunuh berdarah dingin yang dinginnya hingga ke tulang. Aura kuat itu kini menyelimuti diri Dias.

Pria berpakaian hitam yang masih sombong barusan tiba-tiba mengubah raut wajah dan tanpa sadar mundur beberapa langkah karena ketakutan. Ketika Dias memasuki Paviliun Aldebaran, mereka tidak bisa bertindak selain berkeringat.

Dias memasuki ruangan paviliun khusus, kemudian ada seorang wanita berpakaian pelayan namun terlihat sangat seksi datang ke arahnya. Ketika wanita itu melihat Dias yang berpakaian biasa saja, tatapan wanita itu terlihat meremehkan tapi dia langsung menyunggingkan senyuman seperti biasanya, "Apa yang Anda butuhkan? Jika Anda ingin menggunakan kamar mandi, maaf kami tidak menyediakannya di sini."

"Panggil Wiro Suryo untuk datang menemui saya." Dias langsung megucapkan satu kalimat dan mengabaikan Nona Sekara yang tercengang.

Dias kemudian duduk dengan percaya diri di atas kursi di aula. Dia mengangkat satu kakinya yang ditumpu dengan kaki lainnya, kemudian mengeluarkan sebatang rokok lalu langsung menghisap rokok dengan tenang.

Melihat itu, Nona Sekar mengerutkan kening kemudian melangkah mendekai Dias sambil berkata, "Tuan ini, Anda yakin ingin bertemu dengan Tuan Wiro? Jika Anda ingin bertemu dengannya, Anda perlu membuat janji. Selain itu, jika Anda ingin membuat masalah, saya dengan ramah mengingatkan Anda. Kemarin, ada pelanggan mabuk yang membuat masalah dengan Tuan Wiro dan pemabuk itu sekarang masuk rumah sakit. Kata dokter bahkan dia butuh tiga bulan untuk bangun dari tempat tidur. "

Dias tersenyum ketika mendengar ancaman dari wanita itu. Dia masih merokok dengan tenang sambil mengeluarkan asap berbentuk cincin, " Katakan pada Wiro Suryo, saya dari Universitas Gajah Mada. Dias, saya datang kepadanya secara khusus. "

" Hei, kau hanya seorang mahasiswa. "

Nona Sekar mengipasi asap di udara dengan jijik. Dia kemudian berbalik memutar badannya dengan kesal lalu pergi.

Setelah beberapa saat, keluar seorang pria paruh baya berwajah kurus dengan hidung bengkok memakai setelan biru tua berjalan mendekat.

Dia melirik ke arah Dias, yang sedang duduk diam di atas kursi, dengan ekspresi tidak senang di wajahnya, "Apakah kau mahasiswa yang memukuli anjing gila? Haha, aku tidak tahu apakah dia bisa duduk diam setelah memasuki Paviliun Aldebaran. Kamu masih mengatakan kamu jagoan? "

Dias mengabaikan kata-kata pria tua itu lalu bertanya, " Apakah kau Wiro Suryo? "

"Kau ingin bertemu Tuan Wiro? Apa kau pikir dirimu memenuhi syarat? Berikan aku uang, lalu kau ikuti aku ke atas untuk berlutut dan minta maaf pada anjing gila yang telah kau pukuli. Baru setelah itu kau bisa keluar ... "

Plak.

Sebelum pria itu selesai berbicara, Dias menampar lawan dengan keras dan cepat seperti kilat.

Pria dengan hidung bengkok itu hanya merasakan dunia berputar. Pipinya langsung berubah merah dan bengkak, darah mengucur dari mulutnya karena dua giginya copot.

Saat Dias sedang menampar pria itu, terdengar banyak langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Para penjaga keamanan di Paviliun Aldebaran berkumpul di sekelilingnya. Kini ada lebih dari 30 orang yang mengepung Dias.

Dias bergeming, lalu dengan santai berkata, "Kesempatan terakhir, biarkan Wiro Suryo datang menemuiku,"

"Cepat bunuh dia!" Penjaga keamanan Paviliun Aldebaran itu semuanya merupakan anggota Geng Serigala Hitam. Mereka sudah lama tidak melihat orang sombong seperti Dias di Paviliun Aldebaran, karena itu mereka semua semakin geram.

Melihat penjaga keamanan itu bergegas menuju Dias yang duduk di atas kursi, pria dengan hidung bengkok yang sedang dipapah oleh Nona Sekar itu berteriak, "Hentikan."

Semua penjaga keamanan itu berhenti dan melihat pria dengan hidung bengkok itu. .

Mata pria hidung bengkok itu kini sedang menatap Dias dengan tatapan ketakutan. Saat Dias menamparnya, pria itu langsung merasakan aura pembunuh yang kuat di diri Dias.

Bukannya pria itu tidak pernah membunuh siapapun, pria itu juga pernah bertemu dan melihat seorang pembunuh profesional. Tapi tidak ada pembunuh manapun yang pernah dia temui yang memiliki aura pembunuh sekuat Dias. Aura kuat Dias seolah-olah seperti baru saja berjalan keluar dari lautan darah.

"Cepatlah dan biarkan Tuan Wiro datang."

Pria hidung bengkok itu gemetar sambil berkata kepada Nona Sekar yang ada di sampingnya.