Kediaman Elyasa...
Rumah gaya tradisional campuran Jepang dan Korea itu terlihat sangat-sangat luas. Rin hanya bisa menganga melihat betapa luasnya rumah milik Kei. Halaman rumah yang juga luas. Bahkan, cukup jauh untuk sampai ke kediaman utama.
Jepang-Korea tempo dulu sangat kental, tak hanya konstruksi bangunannya, tapi juga ornamen, hiasan yang ada juga sangat Jepang-Korea sekali, unik, dan antik.
Yang membuat Rin bergidik ngeri, ada banyak samurai di sana-sini, lukisan seram, dan topeng-topeng seram di dinding. Banyak ruangan, banyak pintu.
Rumah seluas itu juga banyak di jaga oleh orang-orang yang Rin yakini adalah bodyguard super profesional. Wajah mereka seram-seram, ada yang bertato pula.
Yang membuat Rin kagum, rata-rata dari mereka memakai pakaian tradisional Jepang, yaitu Kimono. Ada juga sih yang memakai hanbok, tapi tidak banyak.
Rin bahkan tak melihat wanita yang ada di rumah itu memakai pakaian biasa seperti dirinya. Ah, pasti keluarga Elaysa sangat ketat budayanya pikirnya.
Apa Kei memiliki nenek moyang Jepang-Korea? Bisa jadi.
Tunggu. Saat Rin berjalan bersama Kei, kenapa ia dengan mudahnya melihat senjata api? Dan itu banyak bau mesiu pun bisa ia cium.
Bau mesiu?
Lalu, jantungnya tiba-tiba ingin copot saat melihat gerombolan orang yang saling papah bersimba darah. Mereka ada yang membawa senjata api dengan beragam jenis bentuknya, sudah pasti tidak ia ketahui.
Apa baru saja ada PERANG? Di jaman modern yang damai saat ini?
Ahhh... Mafia Family. Ia harus mengingatnya.
Keluarga Elyasa Kei dilihat dari manapun itu bukan keluarga yang normal! Jadi selama ini Kei lahir dan tumbuh di keluarga seperti ini?
"Jika kau takut, kau boleh memelukku? Aku merasa kasihan dengan nona pincang sepertimu." Goda Kei yang mendapati Rin memucat karena melihat bawahan ayahnya yang terluka karena baru saja menyelesaikan misi.
Rin sungguh tidak mood menanggapi godaan Kei. Dari kemarin Kei terus saja menggodanya dengan pelukkan jika ia merasa takut. Kei mencuri-curi kesempatan terhadapnya dan itu tidak bisa dibiarkan.
Enak saja!
Seperti biasa, Rin hanya memegang pucuk seragam sekolah milik Kei. Setidaknya ia merasa sedikit agak tenang. Lucu sih, selalu seperti itu, mengekor Kei saat mereka sedang bersama.
"Hei, apa tiap hari yang terjadi di rumahmu selalu seperti ini?" Tanya Rin.
"Ya begitulah."
"Ka-Kau tidak takut?"
"Tidak."
"Pantas saja."
"Kenapa?"
"Ti-tidak."
"Oh."
"..."
"..."
Bosan. Paling asik memang adu argumen.
Gerombolan bawahan ayah Kei itupun mendekat. Rin semakin memegang kencang baju seragam miliki Kei. Ia bahkan mendekatkan tubuhnya ke tubuh Kei. Banyak orang normal saja sudah membuatnya ketakutan, apalagi sekarang, orang sangar dengan bersimba darah dan senjata api. Sungguh, ia hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan ketakutannya yang bukan main itu.
"Tuan Muda Kei, selamat datang." Juugo namanya.
"Hn.. Sepertinya kalian terluka cukup parah."
"Seperti yang Anda lihat, sebagian dari kami memang terluka cukup parah tapi kami memenangkan misinya."
"Begitu ya?... Kerja bagus."
"Loh, apa Nona ini adalah calon istrimu, Tuan Muda Kei? Sangat manis." Shoyo menyapa.
Rin melirik cowok kurus berambut silver yang menyapanya. Giginya membuat Rin seram. "Ha-Halo, salam kenal, Aerin Tann."
Ibunya bilang, ketika ada orang yang menyapa, maka ia harus membalas menyapanya dengan benar dan sopan. Ya, walau ia sedang ketakutan sekalipun.
"Hoho, Rin ya? Nama yang indah... Aku adalah Shoyo, pengawal Tuan Muda Kei... Dan yang jabrik itu adalah Juugo, ketua divisi satu keluarga ini." Kata Shoyo.
Rin hanya mengangguk-angguk.
Shoyo tersenyum lalu ia merangkul pundak Kei. Ia masih memegang pistol di tangan kanannya. Saat ia merangkul Kei, pistol itu bergesekkan dengan pundak Rin yang berdiri tepat di kanan Kei. Rin langsung kaget setengah mati. Seumur-umur ia belum pernah melihat senjata api asli live seperti ini. Dan itu menakutkan.
"Tuan Muda Kei, apa kau berencana menghabisi Nona Rin hari ini?" Bisik Shoyo pelan.
Rin mendengarnya. "Me-menghabisiku?" Ia semakin ketakutan. Wajahnya memucat. Apa hari ini hari terakhirnya melihat dunia?
"Mungkin..." Kei tersenyum penuh seringai setelah ia melirik Rin.
Shoyo melepaskan rangkulannya pada Kei.. ia lalu tertawa. "Nona Rin... Jaga dirimu baik-baik. Tuan Muda Kei adalah orang yang sangat berbahaya... ketampanannya hanyalah kamuflase... Dadaaaa..." Ia meninggalkan Kei dan Rin diikuti para bawahan yang lain.
"Jangan didengarkan omongan dia, Nona Tann. Di memang suka bercanda seperti itu... Tapi, Semangat ya..." Pamit Juugo.
"Semangat ya?" Gumam Rin saat melihat gerombolan itu pergi. Ia lalu menatap lekat Kei yang ada di sampingnya. "Hei, kau mau membunuhku?" Tanya Rin dengan polosnya.
"Mungkin." Jawab Kei.
Rin langsung menjauhkan dirinya dari Kei. Memasang mode waspada. "..."
"Kau ingin dibunuh dengan cara seperti apa?" Kei menunjukkan pistolnya.
Bukankah itu pistol yang dibawa Shoyo? Kapan Shoyo memberikannya pada Kei? Kenapa bisa Rin tak melihatnya?
"Haa? Apa-apaan kau ini? Jangan bercanda, Kei!"
Kei memainkan pistol di tangannya dengan memutar pada bagian ruang tempat pelatuknya. "Dengan cara halus atau kasar, hm?"
"Haah?"
"Atau..." Kei menarik tubuh Rin agar mendekat dengannya. Ia lalu membelai pipi Rin dengan pistol yang ada di tangannya. Rin semakin memucat ketika Kei mendekatkan bibirnya di telinga milik Rin. "... dengan sangat kasar?" Bisik Kei.
Menyeramkan.
Rin merasakan ketakutan dari intimidasi kata-kata penuh godaan milik Kei. Apa Kei itu tipe sadistic? Sungguh, ia ingin segera lari.
Sentuhan dingin dari pistol itu menyapa permukaan kulitnya. Kei memang sudah gila! Anak SMA tak seharusnya bermain dengan pistol. Dan lagi, sungguhkah Kei ingin membunuhnya saat ini?
"Sifatmu yang penuh berontak itu sepertinya cocok dengan perlakuan yang sa-ngat ka-sar. Butuh penyiksaan terlebih dahulu agar semuanya terasa lebih menyenangkan?" Suara Kei terdengar horor tapi dengan nada penuh godaan.
Rin mendorong menjauh tubuh Kei. "Jangan bercanda! Itu tidak lucu sama sekali!" Mati-matian ia bersifat sok tidak takut.
Rin melakukan dorongan, Kei menariknya kembali mendekat. Seperti itu selama beberapa kali. Dorong menjauh, tarik mendekat lagi.
"Lepaskan aku, Kei!" Rin mencoba melepaskan diri.
"Bersikaplah layaknya anjing yang penurut, Rin! Kau itu peliharaanku."
"Berhenti bercanda, Kei! Jauhkan pistol itu!"
"Ini?" Kei menunjukkan pistolnya.
"..."
"Aku hanya ingin tahu seberapa takutnya dirimu dengan pistol ini, Rin... Apa ini jauh lebih menakutkan ketimbang di tempat rame atau tidak.." Kei ingin tahu itu. Sekalian main-main juga.
Rin yang ada di pelukkan Kei terlihat mengeluarkan keringat dingin. Kei menyukai ekspresi Rin saat ia kembali mengelus wajah Rin dengan pistolnya.
Rin menjadi sangat manis.
Loh?
Manis apanya coba?
Apakah ini masuk ciri-ciri sadistic?
"Bukan masalah takut atau tidak, tapi berbahaya!" Sungut Rin di antara keberaniannya yang terancam.